Senin, 24 September 2007

Islam dan Perubahan Sosial

AJARAN ISLAM SEBAGAI RUH PERUBAHAN SOSIAL

Islam bukan agama yang hanya menghasilkan rangkaian pesan moral. Pada level kenegaraan, ajaran-ajaran Islam bisa menjadi Ruh dalam memecahkan persoalan masyarakat.
Setali tiga uang, problem keterpurukan yang kini dihadapi bangsa Indonesia, juga melingkupi umat Islam. Ketika negara belum sepenuhnya mampu memberikan kesejahteraan dan pendidikan yang layak bagi warganya, maka dampak paling besar jelas akan dirasakan oleh umat Muslim, sebagai umat mayoritas di Indonesia.
Problem konkret yang tengah menghadang umat itu coba dielaborasikan dalam acara seminar dua hari bertajuk "Tantangan dan Agenda Civil Society di Indonesia: Merespon Persoalan Umat" pada 9-10 Agustus lalu bertempat di Jakarta Media Center. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Forum Pengembangan Islam Dalam Perubahan Sosial (Forpis).
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Sri Mulyani Indrawati, selaku pembicara, mengatakan salah satu tujuan pemerintah saat ini adalah pengurangan kemiskinan dari 16,7 persen pada tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada akhir tahun 2009. Di samping itu perhatian juga diarahkan dalam upaya mengurangi jumlah pengangguran terbuka dari sekitar 9,4 persen tahun 2004 menjadi 5,1 persen pada akhir 2009.
Oleh sebab itu, lanjut Sri Mulyani, penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja menjadi kunci dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) pemerintah. Di dalamnya yang mencakup penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, penciptaan lapangan kerja, investasi dan ekspor adalah prioritas.
Senada dengan pernyataan tersebut, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, H Ismail Yusanto menegaskan bahwa problem kemiskinan merupakan masalah utama umat dewasa ini. Dan masalah itu pada akhirnya telah menimbulkan problem rentetan yang lain di semua sektor kehidupan.
Menurutnya, kemiskinan tadi disebabkan dua hal. Pertama, kemiskinan kultural berupa etos kerja yang rendah dan kedua, kemiskinan struktural yang bersumber dari tidak meratanya distribusi kekayaan negara."Bicara distribusi, maka hal itu merupakan produk dari sistem dan kebijakan negara. Oleh karenanya, agar distribusi merata ke seluruh masyarakat, sistem serta kebijakan inilah yang harus dibenahi," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Forpis, Drs S Yunanto MSi menyatakan dalam sebuah sistem pemerintahan yang sehat, diperlukan mekanisme kontrol berlapis. Masyarakat sebagai pemilik negara tidak boleh melepaskan pengawasan terhadap pemerintah dan wakil rakyat. Hubungan sinergis antara pemerintah (eksekutif), politisi (legislatif) dan civil society adalah hakekat dari partisipasi politik.
Dengan kata lain, imbuh dia, partisipasi politik dalam pemilu harus diikuti dengan partisipasi pada tingkat proses pembuatan kebijakan dan pengawasan agar seluruh proses politik menghasilkan kebaikan yang menjadi tujuan bersama.
Terkait persoalan ini, Islam bukanlah agama yang hanya menghasilkan rangkaian pesan-pesan moral yang menyerukan kebajikan dan menjauhi kemungkaran. Ajaran amar ma'ruf nahi munkar, dakwah, jihad, dan ijtihad, lanjut Yunanto, menyiratkan bahwa pesan moral, Alquran, hadis dan perilaku Rasulullah harus menjadi ruh perubahan sosial.
"Pada level kenegaraan, ajaran-ajaran tersebut harus menjadi Ruh penyelenggaraan negara dan masyarakat dalam memecahkan seluruh permasalahan itu," tukas dia. Sedangkan pada perspektif politik, diversitas civil society Islam baik yang memiliki karakteristik moderat, militan, mainstream atau pun sempalan sudah selayaknya mempunyai acuan dalam upaya penanganan persoalan riil yang dihadapi bangsa ini.
Adapun pembicara lainnya, Fahmy Alaydroes, Ketua Departemen Pendidikan Partai Keadilan dan Sejahtera, menekankan bahwa pendidikan Islam yang seharusnya terlibat pada proses pemberdayaan manusia untuk membangun peradaban yang lebih baik, juga tengah mengalami krisis."Krisis tersebut bermula sejak memudarnya kecemerlangan intelektual dan redupnya kebudayaan Islam," tegasnya.
Saat ini dalam amatannya, dunia pendidikan Islam terjebak dalam gejala dikotomik yang parah, yakni 'sekularisasi' dan 'sakralisasi' pendidikan. Lebih jauh, krisis itu juga berlaku pada konteks visi dan misi pendidikannya. Rangkaian krisis ini juga diakibatkan dari manajemen dan arah pengembangannya, sehingga pendidikan Islam di Indonesia seolah jalan di tempat.

Tidak ada komentar: