Senin, 24 September 2007

IDUL FITRI DAN PERBAIKAN BANGSA

Idul Fitri dan Perbaikan Bangsa

Idul Fitri dirayakan umat Islam sebagai hari kembali pada fitrah (sifat asali manusia). Dalam sistem kepercayaan Islam, manusia dilahirkan tidak membawa atribut apapun kecuali kesucian diri. Kesucian ini tidak berdiri sendiri, tapi dipertautkan dengan dua komitmen yang terjadi di alam ruh. Pertama, komitmen kesadaran transendental yaitu pengakuan bahwa Allah adalah Maha Wujud (Rabb) yang mengatasi segala makhluk (QS Al A'raf ayat 172-173). Kedua, komitmen untuk mengemban amanat penegakan nilai-nilai kebenaran (QS Al Ahzab ayat 72-73).
Selama manusia semata-mata mengikatkan diri pada Yang Maha Wujud dan konsisten menegakkan nilai-nilai kebenaran maka kesucian manusia akan terus terjaga. Ini berarti fitrah manusia adalah kesadaran transendental dan pemihakan pada nilai-nilai kebenaran itu sendiri, sementara kesucian adalah buah dari keduanya.
Tetapi, realitas kehidupan dunia memunculkan berbagai daya tarik yang potensial menjatuhkan manusia (ruh, fikiran, dan jasad) ke alam materi dan melalaikan mereka dari amanah. Saat itu, kesucian manusia mengalami degradasi dan berbagai noda menjadi atribut dirinya. Ketika itu menjadi penyakit sosial, maka dulu para Nabi dan Rasul hadir dengan misi utama mengingatkan manusia pada komitmennya dan mengembalikan pada kesuciannya.
Setelah ditutupnya kenabian manusia dapat menjaga dan memelihara komitmennya melalui ibadah-ibadah dalam arti luas (ritual dan sosial) yang dilaksanakan sepanjang hidup. Dalam pengertian ini maka bulan Ramadhan adalah simbol intensifikasi ibadah dan Ied Al Fitri adalah tonggak-tonggak pengulangan pulihnya komitmen manusia.
Tindakan moralKesadaran transendental merupakan kesadaran tertinggi manusia. Di dalamnya terkandung makna kebebasan manusia dari subordinasi sesama makhluk dan segala produk manusia. Dalam kebebasan itu manusia dapat memilih dan menentukan jalan yang ditempuhnya. Karena ada kebebasan memilih maka seluruh tindakan manusia menjadi bernilai moral dalam arti harus dipertangungjawabkan, baik di hadapan pengadilan manusia, mahkamah akal dan nurani, maupun kerajaan Allah.
Pertanggungjawaban tidak pernah ada pada makhluk lain, hewan misalnya, karena seluruh tindakan mereka bersifat utiliter dalam arti mereka hadir semata untuk menjadi sarana pemenuhan kebutuhan manusia. Karena itu tindakan moral menentukan posisi manusia apakah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari hewan.
Tindakan moral manusia terkait dengan komitmen penegakan nilai-nilai kebenaran. Manusia dianggap bermoral baik ketika tindakan-tindakannya merefleksikan pemihakan pada nilai-nilai kebenaran. Sebaliknya, dianggap bermoral jahat manakala mencederai atau menghancurkannya.
Ramadhan dan Idul Fitri berulang tiap tahun. Berarti umat Islam secara reguler melakukan revitalisasi komitmennya. Secara idealita normatif, umat Islam dapat menjadi elemen masyarakat terbaik yang tindakan-tindakan moralnya mempromosikan kebenaran dan mendemosikan kejahatan (amar ma'ruf nahyi munkar). Namun, ketika di negeri ini korupsi begitu sulit diberantas dan realitas kehidupan lain carut-marut padahal mayoritas penduduknya Muslim, tentu saja menyisakan pertanyaan: sudahkan umat ini menjadi elemen terbaik bangsa dalam penegakan nilai-nilai kebenaran?
Kondisi umatProblem besar umat Islam bukan terletak pada sumber keyakinan dan ajarannya, sebab siapapun mengakui keunggulan konsep-konsep normatif Islam. Masalah justru terletak pada kekurangmampuan umat sendiri dalam mengimplementasikan nilai-nilai kebenaran pada realitas kehidupan.
Tiap agama dan sistem kepercayaan memiliki klaim kebenaran masing-masing. Di dalamnya ada yang bersifat partikular maupun universal. Dalam Islam, misalnya, kesadaran transendental yang diwujudkan dalam kesaksian keTuhanan (syahadat uluhiyah) dianggap syah manakala disandingkan dengan kesaksian kerasulan Muhammad saw (syahadat risalah).
Demikian juga dengan tata cara ibadah (ritual), batasan aurat, dan larangan minuman keras, merupakan beberapa nilai partikular Islam. Sementara egalitarianisme di hadapan Tuhan dan hukum, keadilan, dan kedermawanan merupakan beberapa nilai universal Islam. Jalinan nilai partikular dan universal menjadikan Islam memiliki nilai orisinal/otentik sekaligus nilai kerahmatan bagi semesta.
Saat ini kita menyaksikan ada sebagian umat yang begitu asyik dengan nilai-nilai partikular Islam dan memperjuangkannya di wilayah publik dengan cara-cara yang kurang elegan sambil abai terhadap perjuangan nilai-nilai universal. Di sisi lain ada pula sebagian umat yang begitu menggebu-gebu mempromosikan nilai-nilai universal sambil mencampakkan nilai-nilai partikular dari ruang publik.
Kelompok pertama telah memberi kesan berkurangnya 'kerahmatan' ajaran Islam, padahal agama kehilangan daya hidup ketika tidak memberi rahmat semesta. Sementara kelompok kedua memberi kesan berkurangnya 'orisinalitas/otentisitas' ajaran Islam, padahal agama hilang daya-tariknya ketika otentisitas/orisinalitasnya terkooptasi sistem nilai lain. Keduanya cenderung parsial dan reduksionis, dan belum berhasil menjadikan nilai-nilai Islam sebagai kekuatan moral bagi perbaikan bangsa.
TantanganNilai partikular, sebagaimana nilai universal, tidak haram ditampilkan di ruang publik. Ruang publik adalah arena kontestasi nilai dan gagasan. Yang menjadi hakim adalah publik itu sendiri. Karena itu kemungkinan diterimanya suatu sistem nilai di ruang publik ditentukan oleh dua hal. Pertama, seberapa besar faedah yang dapat diberikan oleh sistem nilai itu ketika dibawa ke ruang publik. Kedua, seberapa mampu para pembawa sistem nilai itu meyakinkan logika publik.
Asas pertama akan melahirkan semangat berlomba memberi manfaat bagi publik. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling memberi manfaat kepada manusia". Sementara asas kedua akan melahirkan semangat intelektualitas untuk melakukan objektifikasi nilai-nilai subjektif suatu sistem nilai (khususnya yang partikular).
Nabi Muhammad SAW mengajarkan tentang objektifikasi ini dengan sabdanya, "Ajaklah manusia dengan bahasa mereka (sesuai kadar pikiran mereka)". Kedua asas ini harus seiring sejalan. Sebab, bagaimanapun fasihnya kita mengolah logika untuk melakukan objektifikasi, tapi jika gagal memberi manfaat kepada publik maka tidak akan ada gunanya. Sebaliknya, betapapun kita rajin memberi manfaat kepada publik, tapi jika gagal melakukan objektifikasi maka tidak akan menjadi gagasan arus utama.
Kedua semangat tersebut harus menjadi perhatian umat Islam bila ingin menjadi elemen terbaik bangsa. Tunjukkan orisinalitas/otentisitas sekaligus kerahmatsemestaan Islam dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tampilkan keunggulan-keunggulan Islam dalam sistem keilmuan maupun praktik kehidupan sehari-hari. Mulailah dari masing-masing pribadi.
Ikhtisar- Fitrah manusia ditentukan kesadaran transenden dan komitmen mengemban amanat penegakan nilai-nilai kebenaran.- Kehidupan dunia potensial untuk menjatuhkan manusia ke alam materi dan melalaikan amanah.- Ramadhan dan Idul Fitri bisa menjadi sarana reguler untuk merevitalisasi komitmennya.- Problem besar umat Islam terletak pada kekurangmampuan umat dalam mengimplementasikan nilai-nilai kebenaran pada realitas kehidupan.

Tidak ada komentar: