Senin, 24 September 2007

MEMAHAMI ESENSI IMAN

MEMAHAMI ESENSI IMAN

Oleh: Muhsin Hariyanto

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.(QS al-Baqarah, 2: 177) Pada umumnya iman sekadar dipahami sebagai “sikap percaya”, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing rukun iman yang enam. Karena sikap itulah yang akan melandasi tindakan seorang. Namun, bila dipahami lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah dalam tindakan. Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi s.a.w. bahwa iman mempunyai lebih dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan Lâ ilâha illallâh (tiada Tuhan selain Allah) dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (yang ada) di jalan. Nabi s.a.w. pun pernah bersabda, "Demi Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!" Lalu orang bertanya, "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab, "Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya." Lalu orang bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya apa?" Beliau jawab: "sikapnya yang menyakitkan." Dan simak juga sabda Nabi s.a.w. yang lain: "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salâm (perdamaian) di antara sesamamu!" Keterpaduan antara iman dan perbuatan yang baik juga dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi s.a.w., “orang yang berzina, tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman." Berdasarkan itu, maka sesungguhnya makna iman dapat berarti sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik dalam dimensi vertikal (hablun minallâh) dan horisontal (hablun minannâs). Seperti penjelasan Allah tentang makna al-birr dalam QS al-Baqarah, 2:177 di atas. Oleh karena itu dapat dipahami: “tiada iman tanpa “taqwa”, kepatuhan pada Tuhan di mana pun dan kapan pun. Dan “taqwa” itulah, bukti esensial keimanan kita.”

Tidak ada komentar: