Senin, 24 September 2007

MENJADI YANG TERBAIK

MENJADI YANG TERBAIK

Oleh: Muhsin Hariyanto

“Sesungguhnya kami Telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”. (QS al-Kahfi, 18: 7)

Banyak sudah Allah memberi nikmat kepada diri kita, tetapi tidak banyak di antara kita yang pandai bersyukur. Bahkan banyak di antara umat manusia yang semakin kufur atas nikmat Allah, dan akhirnya harus gagal dalam menempuh ujian demi ujian yang dirancang secara sistemik dan sistematik oleh Allah untuk setiap manusia di belahan bumi yang sama

Kita, umat manusia ini, semakin lama bukan menjadi lebih baik, bahkan di antara kita banyak yang terpuruk oleh segudang nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, umat manusia, menjadi semakin terpuruk dalam lembah kehinaan, karena ketidakpiawaian kita dalam bersyukur. Tidak terkecuali untuk bangsa kita tercinta, bangsa Indonesia.

Musibah demi musibah telah menimpa bangsa kita, dari yang berskala makro hingga mikro. Dan kita pun merasakan akibatnya. Bertumpuk-tumpuk permasalahan kita hadapi, dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Dan imbasnya sampai pada hal-hal yang semula bukan merupakan permasalahan serius menjadi sesuatu permasalahan yang amat serius. Salah satunya adalah: “permasalahan pendidikan kita”. Meskipun mungkin masih ada di antara kita yang bertanya-tanya: “ada apa dengan pendidikan kita?”

Bagi setiap orang yang kurang cermat mengamati permasalahan pendidikan, memang seringkali tidak melihat permasalahan serius dalam dunia pendidikan kita (di) Indonesia kita tercinta ini, di ketika pendidikan dikotak-kotakan dalam ruang pengap yang namanya “sekolah”. Sebuah institusi yang diasumsikan akan dapat – secara efektif dan efisien – mencerdaskan para peserta didiknya, karena campur tangan para pendidik yang secara formal mengantongi simbol-simbol formalitas hingga sampai level tertinggi, S-3 dengan gelar tambahan: “profesor!”, sebuah gerar akademik yang diasumsikan mengisyaratkan kesemaptaan intelektual, emosional dan spiritual.

Namun, bagi siapa saja yang agak cermat mengamati, dengan pengamatan utuh yang diiringi dengan kejujuran akademik, segera akan dapat menangkap sinyal-sinyal kedunguan yang tersimpul dalam kenyataan empiris dunia pendidikan kita. Apa yang disebut pendidikan, selama ini banyak diwarnai oleh ketidak-jujuran intelektual, moral hazard, manipulasi, praktik-praktik kolutif, dan pada akhirnya berujung pada tindalkan-tindakan a moral yang dilakukan, baik oleh orang-orang yang selama ini mendakwakan diri sebagai “para pendidik” dengan seluruh perangkat unit pendukung teknisnya, dan bahkan “diamini” (baca: seolah-olah disepakati) oleh para peserta didik yang semula datang dengan sejumlah idealisme, yang karena terkooptasi oleh sistem yang korup, tiba-tiba menjadi sangat “permissive”, tidak jauh berbeda dengan para pengelola bisnis pendidikan yang saat ini sedemikian menjamur negeri kita (Indonesia) tercinta ini. Mâsyâallâh.

Kita, yang masih punya nurani, dipaksa harus menggelengkan kepala kita berkali-kali melihat kenyataan ini. Sebuah ironi yang tentu saja tidak boleh dibiarkan oleh siapa saja yang masih memiliki kepedulian untuk beramar ma’ruf nahi munkar, untuk menciptakan diri kita, masyarakat kita dan tentu saja lingkungan pendidikan kita menjadi semakin baik, dan diharapkan menjadi “yang terbaik”.

Dan untuk itu, hanya ada satu kata yang boleh dan harus selalu kita katakan di mana pun, kapan pun dan untuk siapa pun, selaras dengan pesan Allah subhânahu wa ta’âla di atas: “Qulil haqqa wa lau kâna murran” (katakanlah setiap kebenaran itu [adalah benar], meskipun pahit rasanya). Jangan pernah berbohong atas nama Tuhan, Allah Yang Maha Benar dan paling mengerti “siapa pun yang benar dan salah”.

Betapa pun kita harus sadar, bahwa dari waktu ke waktu kita sudah terlalu banyak lupa kepada Allah, Dzat yang seharusnya selalu kita ingat, di mana pun dan kapan pun kita berada. Na’ûdzu billâh min dzâlik.

Tidak ada komentar: