Senin, 24 September 2007

INDONESIA HARUS BERHIJRAH

Indonesia Harus Berhijrah

Meskipun bentuk material bahasa hijrah berbeda-beda, ada yang menyebut renaissance, reformasi, transformasi, modernisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, migrasi, pembaruan, keluar dari status quo, atau boyongan, tetapi yang menjadi substansi hijrah adalah adanya perubahan. Secara normatif, hijrah merupakan simbol yang memberi motivasi kuat bagi manusia dalam upaya mencapai kehidupan dan kemakmuran yang lebih baik. Seperti yang telah dijanjikan Allah, “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak”. (QS. 4: 100 dan QS. 16: 41)
Penduduk Amerika dan Australia awal, adalah orang-orang yang melakukan 'hijrah' dari tanah asalnya ke dunia baru untuk menemukan kehidupan yang lebih baik. Zaman modern adalah wujud 'hijrah' manusia pada masa pramodern. Demokrasi merupakan 'hijrah' manusia dari sistem pemerintahan yang hegemonik dan otoriter. Begitu pula migrasi Rasulullah Muhammad saw dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) merupakan 'hijrah' dari peradaban jahiliah ke peradaban nabawi. (Khalil Abdul Karim: 2002)
Semua peristiwa hijrah itu merupakan bukti betapa perubahan memang harus dilakukan. Ketika kita tidak mampu merubah keadaan, maka diri kitalah yang harus berubah. Said Ramdhan dalam Fiqh Sirah (1987) mencatat bahwa dengan berhijrah, di samping kita akan mendapatkan suasana baru, hijrah juga dapat dijadikan sebagai momentum untuk menggalang ukhuwah Islamiyah, melakukan transformasi sosial dan budaya menuju masyarakat yang bertauhid dan beradab, serta melakukan strategi perjuangan.
Untuk itulah Snouck Hurgronje dalam Le Voile des Musulmanes (1995) memberikan pengertian bahwa melakukan hijrah berarti melepaskan diri dari apa yang disenangi dan dikasihi di masa lampau, sanak keluarga, harta milik, tanah kelahiran dan lainnya, untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan bahaya dan tidak menentu. Ini berarti bahwa dengan hijrah kita harus berani memutus atau memotong hal yang tidak dapat diperbaiki meskipun jalan menuju hal itu membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit dan tidak ringan.
Ada tiga visi transformatif yang menjadi prinsip hijrah. Pertama, prinsip masjid. Masjid adalah bangunan pertama yang didirikan Rasulullah Muhammad saw setelah meninggalkan Makkah. Oleh Rasulullah masjid ini dibangun bukan sekedar menjadi tempat berkumpul dalam menjalankan ritual keagamaan, sebagai simbol belaka. Tapi, bagaimana konsep masjid yang innahu masjidun ussisa ala al-taqwa mampu menjiwai setiap pribadi muslim, sebagai tempat untuk mengembangkan hablun min Allah dan hablun min al-nas.
Ini sangat berbeda dengan fenomena yang terjadi sekarang, orang berlomba-lomba membangun masjid, tetapi tidak bisa menjadi masjid sebagai satu pola untuk membangun hubungan, baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia.
Kedua, prinsip 'ukhuwah', persaudaraan. Ini terlihat ketika kaum Muhajirin (orang-orang yang berhijrah) datang ke Madinah dan disambut oleh kaum Anshar (penduduk setempat), yang terlihat pada waktu itu adalah suatu jembatan persaudaraan yang mengikat antara dua golongan ini.
Ketiga, prinsip membangun hubungan dengan orang-orang asing, bi al-ajanib, termasuk dengan orang-orang Nasrani dan Yahudi atau orang-orang musyrik. Jika kita telusuri komposisi masyarakat Madinah pada waktu itu, akan kita dapati bahwa di Madinah kira-kira ada sepuluh ribu penduduk, enam ribu lima ratus orang Yahudi, dua ribu orang Nasrani, dan seribu lima ratus orang Islam. Karena itu, kemudian Rasulullah Muhammad saw di tengah-tengah masyarakat yang plural itu membuat undang-undang kesepakatan yang kemudian dikenal dengan 'Piagam Madinah'.
Dalam piagam yang terdiri dari 39 pasal itu diatur bagaimana pola hubungan yang sejajar antarberbagai perbedaan dan kepentingan yang ada. Dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa Yahudi Bani Aus itu adalah ummatun min al-mukminin (orang Yahudi Bani Aus itu adalah umat orang-orang mukmin). Dan mereka layak untuk mendapatkan nafkah sebagaimana orang-orang muslim.
Kalau seandainya ada orang atau kelompok yang ingin memerangi, orang mukmin atau orang Yahudi, maka menjadi kewajiban bersama untuk memerangi orang atau kelompok yang menindas itu. Ini merupakan prinsip dan pola pikir yang sangat egalitarian, adil, merata, menghargai keragaman, dan mengesampingkan perbedaan.
Dengan visinya tersebut, sesungguhnya konsep hijrah dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi yang luar biasa terhadap perjalanan kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Delapan tahun reformasi berjalan di negeri ini belum menampakkan tanda yang jelas ke mana sesungguhnya arah reformasi itu. Padahal, negeri ini telah 'berhijrah' dari model pemerintahan yang otoriter ke sistem demokrasi. Juga sentralisasi pembangunan dan ekonomi telah 'dihijrahkan' ke sistem desentralisasi. Tetapi, mengapa bangsa ini masih saja berkutat dengan keterpurukan, ketimpangan terjadi dimana-mana.?
Ada beberapa hal menarik jika kita berpegang pada konsep hijrah di atas. Pertama, belum menghunjamnya prinsip masjid dalam diri setiap muslim di negeri ini. Orang hanya bertaqwa ketika berada dalam masjid saja, sementara di luar tidak. Pemberantasan KKN yang telah dicanangkan Presiden SBY sebagai 'musuh bersama', parlemen korup, birokrasi bobrok, dan jual beli hukum adalah bukti betapa para penentu kebijakan di negeri ini justru menjadikan bahasa tersebut sebagai alibi untuk menghindar dari tanggung jawab, dan semua dikemas dalam bingkai politik. Padahal, politik tidak bisa dilepaskan dari retorika. Politik adalah seni membujuk rakyat, yang sudah barang tentu akan terjadi banyak manipulasi.
Kedua, memudarnya semangat egalitarianisme dan persaudaraan di antara sesama anak bangsa. Munculnya konflik yang berbau SARA, pertikaian dan saling curiga antar elite, termasuk konflik dalam partai adalah bukti betapa kita tidak pernah menenggang pada orang atau kelompok yang berbeda dengan kita. Tidak peduli apakah konflik tersebut akan berimbas pada kehidupan masyarakat luas atau tidak.
Jika para penentu kebijakan di negeri ini tidak segera melaksanakan hijrah, bangsa ini akan terus bergulat dengan keterpurukan meskipun telah berganti orang. Untuk itulah kita –sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim– layak untuk mengedepankan pertanyaan, apakah visi transformatif hijrah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw ini dapat dijadikan momentum dalam membangun negeri ini dari keterpurukan.
Apakah para pemimpin yang ada di negeri ini berani berkorban dengan cara memotong kepentingan segelintir orang demi kepenitngan rakyat banyak.? Ini penting karena pada saat ini masyarakat sedang kehilangan orientasi hidup, dan kenestapaan akibat krisis yang tak kunjung usai. Tiadakah niatan untuk menghijrahkan negeri ini dari ambang kehancuran menuju negera yang berkeadilan dan berkesejahteraan.? Wallahu a'lam. [ ]

Tidak ada komentar: