Minggu, 30 September 2007

ANTARA SIBOL DAN SUBSTANSI

ANTARA SIMBOL DAN SUBSTANSI:
Mencari Moralitas-Intelektual yang Hilang
AHMAD TOHARI (Senin, 14 Maret 2005) menulis dalam “Resonansi”, kolom khusus Harian Republika, dengan judul yang mengisyaratkan keprihatinan: “KORUPSI DALAM GELAR SARJANA ASPAL”. Tidak ada yang luar biasa dari tulisan itu, kecuali satu hal, penulisnya mencermati bahwa di negeri kita tercinta ini telah terjadi kebohongan yang dibungkus rapi secara kosmetikal, dengan topeng serba indah yang bernama “gelar akademik” dan pada akhirnya memunculkan “kesombongan”.
Sarjana-sarjana dengan sebutan yang bermacam-macam itulah yang kemudian membekali diri dengan sikap percaya diri yang kadang-kadang berlebihan, bahkan terkesan over-confident. Sikap inilah yang sering kali menjadi sebab dari sekian banyak permasalahan moralitas di dunia pendidikan kita yang semakin memprihatinkan.
Dunia pendidikan kita, kini sering disuguhi tontonan moralitas-rendah para pendidiknya. Bukan hanya yang terungkap di media masa cetak dan elektronik saja, yang kadang-kadang kemasan-kemasannya sudah disunting dengan kepiawaian para penyuntinnya dengan berbagai macam kepentingan. Tetapi realitas-objektifnya tidak terlalu berbeda dengan apa yang sudah diungkap oleh media masa di negeri kita tercinta ini.
Mereka yang berulah dengan moralitas-rendah, bukanlah mereka yang tak bergelar akademik saja. Bahkan yang telah bergelar tertinggi pun sempat mempertontonkannya dengan vulgar. Saya pun sempat berkomentar lirih: “pada saatny gelar akademik apa pun tidak harus selalu bersenyawa dengan moralitas-tinggi”. Tetapi apa boleh buat, masyarakat kita masih suka dengan “gelar-gelar formal” itu, simbol-simbol yang tidak selalu mengisyaratkan isi. Hingga, Mas Ahmad Tohari pun sempat bergumam: “mengapa kita doyan betul dengan gelar? Mungkin kita adalah bangsa yang sangat suka dengan simbol. Dan gelar sarjana adalah simbol bagi orang yang berpendidikan, orang pandai. Siapa tidak suka dicitrakan sebagai orang pandai? Soal kenyataannya, urusan belakang.”
Dulu, ketika saya dan kawan-kawan se-almamater bersekolah di pojok barat kota Yogyakarta, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, pernah bertemu dengan seorang guru yang sama sekali tidak bergelar akademik. Nama sapaannya Pak AR; simplifikasi dari sebuah nama yang pernah menghiasi sejarah kepemimpinan umat Islam di negeri ini.
Pak AR, begitu guru saya itu biasa disebut oleh murid-muridnya yang dengan setia berkhidmat mendengarkan petuah-petuahnya yang terkesan sangat menyentuh kalbu para santrinya (untuk menyebut murid-murid beliau di sekolah ini) bukan seorang sarjana formal ‘keluaran’ sebuah perguruan tinggi mana pun. Beliau hanya seorang guru yang selalu belajar pada siapa pun, termasuk para santrinya di mana pundia berinteraksi dalam proses belajar-mengajar yang tidak selalu dibatasi oleh dinding penyekat. Apalagi penyekat simbolik yang bernama “gelar”. Jangankan gelar akademik yang memang tidak beliau miliki; gelar kehormatan yang biasa diterakan oleh para santri terhadap gurunya pun tidak pernah beliau inginkan untuk disebut, apalagi ditulis. Beliau tidak suka dengan formalitas dan – apalagi – simbol-simbol yang terkadang diberhalakan.
Di ketika sang guru ini berinteraksi dengan para muridnya tidak pernah ada kesan ”kesombongan”, apalagi arogansi intelektual yang sering dipertontonkan oleh para penyandang gelar-akademik yang seringkali ‘mabuk’ dengan status dan simbol-simbolnya. Saya kira, bukan karena beliau tidak bergelar akademik, tetapi bagi beliau – barangkali - kesombongan dalam bentuk apa pun bukan sesuatu yang seharusnya dipertontonkan. Apalagi dalam proses pendidikan yang di samping membebankan keharusan bagi para pendidiknya untuk melakukan transfer of knowledge, juga transfer of value bagi siapapun yang dididiknya. Diperlukan keteladanan yang terus mengalir dari para pribadi pendidik di seluruh ruang pendidikan yang tidak terbatas.
Dari fakta historis ini, saya menjadi teringat ketika di sebuah seminar yang dihadiri oleh para pakar ‘bergelar’ akademik tertinggi para peserta yang terkagum-kagum oleh akrobat akademisi yang tampil sebagai pemakalah sekaligus – ada sebagian kecil – yang mengelus dada mencermati pernyataan-pernyataan mereka yang sangat berkesan “sangat arogan”, dengan lontaran-lontaran pemikiran yang disertai ‘bumbu-bumbu’ pelecehan terhadap pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan main-stream pemikiran mereka. Bahkan ada sebgai dari pernyataan mereka yang cenderung mendiskreditkan tanpa disertai basi-basi yang mengisyaratkan kesantunan. Saya pun menjadi terbawa untuk berkomentar lirih, sambil bertanya: “Di mana moralitas-intelektal mereka simpan, hingga tak keluar secuil pun di forum yang semestinya memerlukannya?”. Sudah saatnyakah sikap rendah-hati itu dibuang oleh mereka yang ‘merasa’ lebih dari orang lain?
Tawadhu’ atau rendah hati merupakan sifat terpuji yang mutlak dimiliki setiap individu Muslim. Orang yang memiliki sifat tawadhu’ pasti akan dicintai. Rasulullah SAW terkenal orang yang sangat tawadhu’, sehingga sangat dicintai oleh umatnya.
''Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.'' (QS Al-Furqan (25): 63). Lawan dari sifat ini adalah takabbur. Imam Syafi'i berkata, ''Sikap tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia, sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela.'' Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang tawadhu’ karena Allah niscaya Allah akan mengangkatnya (derajatnya). (HR Muslim).
Ada tiga ciri orang yang memiliki sifat tawadhu’:
Pertama, selalu memandang rendah dirinya sendiri, dalam makna bukan menganggap hina dirinya, namun merasa dirinya bukanlah orang yang sempurna, memiliki kekurangan, dan banyak melakukan kesalahan. Sehingga, dengan semua itu kita tidak akan menganggap remeh, menganggap lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain.
Kedua, menghargai orang lain. Muhammad SAW adalah orang yang sangat menghargai orang lain, khususnya para sahabat dan pengikutnya. Salah satu contoh konkretnya adalah pada waktu Perang Badar. Beliau menghentikan pasukan perang di dekat sebuah mata air. Seorang yang bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh (orang yang paling tahu tentang tempat itu) bertanya, ''Rasulullah apa alasan Anda berinisiatif untuk berhenti di tempat ini? Kalau ini merupakan wahyu dari Allah, maka kita tidak akan maju atau mundur setapak pun dari sini. Ataukah ini hanya pendapat Anda dan hanya merupakan taktik bertempur saja?''
Beliau menjawab, ''Ini sekadar pendapat saya dan merupakan taktik perang.'' Kemudian Hubab berkata lagi, ''Jika demikian, tidak tepat kita berhenti di sini. Mari kita beranjak (pindah) sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka (musuh), lalu sumur-sumur kering yang berada di belakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi air sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, sementara mereka tidak.''
Dengan ketawadhu’annya, Rasulullah SAW menerima usulan itu, meskipun beliau adalah pemimpin tertinggi dalam peperangan ini. Ketiga, menerima pembenaran dan nasihat dari orang lain. Kita adalah manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, dan orang lain adalah penilai bagi perilaku kita. Maka, sudah sepantasnya kita sebagai hamba Allah SWT yang dhaif dan tidak sempurna menerima nasihat sebagai pembenaran atas perilaku kita yang salah.
Nah, menjadi apa dan siapa pun diri kita, di mana pun dan kapan pun, sudah siapkah kita menjadi muslim-sejati yang selalu siap bersikap tawadhu’?

Tidak ada komentar: