Jumat, 28 September 2007

MAKNA LAILATUL QADAR

MAKNA LAILATUL QADAR DAN NUZÛLUL QURÂN BAGI UMAT ISLAM

Perdebatan di seputar makna Lailatul Qadar di kalangan umat Islam, hingga kini belum menemukan titik-temu yang cukup memuaskan. Apalagi terkait dengan pemahaman umat Islam terhadap momentum Nuzûlul Qurân yang diperingati setiap tahun pada bulan Ramadhan, yang di Indonesia selalu diasumsikan terjadi secara pasti pada tanggal 17 Ramadhan, yang oleh karenanya diyakini bahwa pada saat itulah (wahyu) al-Quran pertama kali diturunkan. Lalu apa kaitan Nuzûlul Qurân dengan Lailatul Qadar? Di sinilah persoalan penting – kontroversi -- yang semestinya segera mendapatkan respon yang cepat dan tepat dari para ulama yang kompeten untuk menjawabnya.
SALAH satu momentum yang ditunggu-tunggu oleh orang beriman ialah Lailah al-Qadr (secara populer dilafalkan Lailatul Qadar) dalam bulan Ramadhan. Sama halnya dengan berbagai momentum keagamaan seperti Maulid, Isra’ Mi’raj, Nuzûlul Qurân, dan dua hari raya. Lailatul Qadar menghasilkan bentuk-bentuk tertentu tradisi budaya keagamaan. Di sebagian daerah negeri kita ini, seperti di Jawa tempo dulu, Lailatul Qadar menghasilkan tradisi selamatan "maleman" pada tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selamatan itu dibarengi dengan tradisi "oncoran", yaitu kelompok anak muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena datangnya Lailatul Qadar. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam yang suci itu.
Ditilik dari maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada sesuatu yang harus dipahami lebih jauh, mendalam dan luas tentang Lailatul Qadar. Karena perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya keagamaan yang akhirnya kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan lahiriah dan formal saja. Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti suatu budaya keagamaan.
Setiap masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk menguatkan makna-makna hidup yang lebih mendalam. Tetapi perlambang yang sudah menfosil dan berubah menjadi seolah-olah tujuan dalam dirinya sendiri akan ‘muspra’, tanpa guna.
Karena itu berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul Qadar dan hikmahnya bagi manusia dan kemanusiaan.
Makna Lailatul Qadar dan Nuzûlul Qurân
Secara harfiah, Lailatul Qadar berarti "Malam Penentuan" atau "Malam Kepastian", jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata taqdîr. Tetapi ada juga yang mengartikan Lailatul Qadar dengan "Malam Kemahakuasaan", yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qâdir, yang artinya "Yang Maha Kuasa", salah satu sifat Tuhan. Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-meskipun pengertian yang pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian itu saling melengkapi. Sedang dalam pengertian umum, Lailatul Qadar dimaknai sebagai “malam kemuliaan”.
Dalam al-Quran penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul Qadar itu dikaitkan dengan malam diturunkannya al-Quran, yaitu dalam Surat al-Qadr (QS 97: 1-5):

Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan[1]. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Jadi disebutkan bahwa Allah menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan atau lebih dari delapan puluh tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Rûh (yang dalam hal ini ialah Rûh Qudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan). Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu dinyatakan sebagai malam yang penuh kedamaian, hingga terbit fajar di pagi hari.
Pengertian seperti di atas itu adalah yang paling umum dipegang kaum muslim. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam Surat al-Qadr itu.
Pertama ialah ungkapan bahwa Allah menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar itu. Menurut Ibn Abbas -- sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir -- yang dimaksud ialah diturunkannya al-Quran itu dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari al-Lauh al-Mahfûzh (Lauh Mahfûzh - Papan Yang Terjaga) ke Bait al-‘Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit terendah (samâ’ al-dunyâ - langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara rinci menurut kejadian-kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya al-Quran juga disebutkan di bagian lain dalam al-Quran sebagai malam yang diberkati (Lailah Mubarakah)[2], dan malam itu ada dalam bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan, yang padanya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang telah lalu) dan pembeda (antara mana yang benar dan yang salah)[3].
Yang sedikit menjadi persoalan ialah, tanggal berapa Lailatul Qadar dan Lailah Mubarakah itu dalam bulan Ramadhan? Bagi bangsa Indonesia hal ini menjadi lebih menarik, karena ada tradisi nasional untuk memperingati secara resmi malam diturukannya al-Quran itu, yang biasa disebut sebagai malam Nuzulul Quran pada tanggal 17 Ramadhan (yang kebetulan adalah juga tanggal Proklamasi Kemerdekaan). Konon yang memilih tanggal itu sebagai Hari Nuzulul Quran adalah Haji Agus Salim, bapak modernisme Islam di Indonesia, dengan persetujuan Bung Karno. Dalam menentukan pilihannya itu agaknya Haji Agus Salim merujuk kepada sebuah firman dalam al-Quran: Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta orang yang dalam perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang menentukan, yaitu hari dua pasukan tentera bertemu (berperang). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu[4].
Jadi firman Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta rampasan perang harus dibagi-bagi dan siapa saja yang berhak. Ketentuan itu harus diterima oleh kaum beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi SAW. pada hari yang menentukan, yaitu hari ketika dua pasukan bertemu dalam pertempuran. Ibn Katsir di dalam kitab tafsirnya, dengan merujuk berbagai sumber, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan hari yang menentukan itu ialah hari “Perang Badar”. Juga berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan bahwa perang Badar itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan (secara kebetulan Proklamasi Kemerdekaan RI -- 17 Agustus 1945 -- juga hari Jumat). Pada Perang Badar itulah dua pasukan, muslim dan musyrik, bertemu dalam pertempuran. Perang Badar disebut hari yang menentukan (yaum al-furqân) karena perang itu adalah yang pertama kali dialami Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman, para pengikut beliau, dengan kemenangan (yang) telak, kemenangan yang benar (al-haq), tauhîd, atas yang palsu (al-bâthil), syirik. Seandainya dalam perang itu Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman kalah, maka pupuslah sudah agama yang mereka bela dan tegakkan, dan teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan. Tetapi karena kemenangan telak tersebut, maka Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah SWT, bahwa yang benar selamanya akan menang, dan yang palsu selamanya akan kalah. Sejarah Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman selanjutnya membuktikan hal itu semua.
Jika benar yang demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17 Ramadhan, (malam) Nuzulul Quran, adalah juga Lailatul Qadar. Hal ini menjadi berbeda dengan yang umum sekali dipercayai umat Islam, berdasarkan keterangan Nabi s.a.w., dalam hadis, bahwa Lailatul Qadar adalah salah satu malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Yang menarik ialah bahwa Nabi s.a.w. tidak menjelaskan dengan rinci malam yang mana di antara malam-malam ganjil itu yang sesungguhnya (malam) Lailatul Qadar. Sikap Nabi s.a.w. ini ditafsirkan sebagai suatu hikmah agar umat Islam tidak mengkhususkan dalam memperbanyak ibadah hanya dalam satu malam tertentu, tetapi terus-menerus melakukannya dalam sepuluh malam hari-hari terakhir bulan puasa yang penuh barakah[5] itu. Tetapi, karena perbedaan tersebut, maka di negeri kita ada sesuatu yang amat unik (tidak terdapat di negeri Islam lain mana pun), yaitu bahwa Nuzûlul Qurân adalah Sesutu yang berbeda dengan Lailatul Qadar, yang selalu diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan dengan satu asumsi bahwa saat itulah turunnya (wahyu) al-Quran dan seolah-olah tidak disadari bahwa saat turunnya (wahyu) al-Quran itu bertepatan dengan Lailatul Qadar yang disebutkan di dalam al-Quran, yang kepastian hari dan tanggalnya tidak pernah secara eksplisit disebutkan baik di dalam al-Quran maupun hadis.
Sudah tentu tradisi peringatan resmi Nuzûlul Qurân itu adalah sesuatu yang –- dalam perspektif dakwah – “baik”, dan oleh karenanya layak dipertahankan. Sebab telah terbukti membawa hikmah yang amat bermakna bagi kehidupan sosial-keagamaan kita. Namun adanya perbedaan tersebut ada baiknya dicari penyelesaiannya, dengan mencari titik-temu, sehingga tidak ‘mengganggu’ kekhidmatan umat Islam dalam memaknai peringatan Nuzûlul Qurân setiap tahun .
Agaknya ada perbedaan tafsiran tentang apa yang sebenarnya yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan atau Perang Badar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT (terkutip di atas). Penjelasan Ibn Katsir, dalam kitab tafsirnya, mengesankan pengertian bahwa yang diturunkan Allah pada Perang Badar ialah ketentuan tentang pembagian harta rampasan perang, bukan al-Quran itu sendiri secara keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang penerjemah al-Quran ke dalam Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui cukup otoritatif oleh sebagian peminat studi al-Quran, mengisyaratkan bahwa memang yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan (yaum al-furqân) itu adalah al-Quran itu sendiri, mungkin dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn Abbas terkutip di atas. Isyarat A. Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan apa makna al-Furqân (penentu atau pembeda antara yang benar dan yang palsu) dengan melakukan rujukan silang (cross reference) kepada ayat-ayat di tempat lain dalam al-Quran.
Dalam Surat al-Qadr yang diterjemahkan di atas terbaca ayat yang terjemahnya: “pada malam itu, turun para malaikat dan Rûh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara”. Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang apa yang dimaksud "Rûh" dengan amr (segala perkara). Muhammad Asad, seorang penerjemah dan penafsir al-Quran yang juga memiliki otoritas, mengartikan Rûh dalam firman Allah SWT itu tidaklah sebagai Rûh Qudûs atau Malaikat Jibril, tetapi wahyu itu sendiri atau ilham (bagi yang bukan nabi) dalam “makna” yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.

Wallâhu A’lam.
[1] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan (malam) Lailatul Qadar, yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan dan kebesaran, Karena pada malam itulah permulaan turunnya (wahyu) al-Quran.

[2] QS al-Dukhân, 44: 3
[3] QS al-Baqarah, 2: 185.
[4] QS al-Anfâl, 8: 41.
[5] Makna barakah dimaknai oleh para ulama sebagai kebaikan yang banyak dan bersifat kontinyu atau berkesinambungan.

Tidak ada komentar: