Minggu, 30 September 2007

ANTARA BID'AH DAN SUNNAH

MENYOAL ULANG BID’AH DAN SUNNAH
Catatan Lepas Atas Buku: NU, Persis atau Muhammadiyah yang Ahli Bid’ah?

Oleh: Muhsin Hariyanto[*]


Prawacana

Gagasan Dakwah Kultural yang mengemuka di Persyarikatan Muhammadiyah, yang kemudian disepakati sebagai sebuah keputusan resmi persyarikatan ini ternyata tidak begitu saja diterima oleh semua warga Muhammadiyah.

Ada sebagian warga Muhammadiyah yang menduga gerakan dakwah kultural telah memunculkan kembali “bid’ah” di dalam pengamalan Islam di kalangan warga Muhammadiyah. Betapa kita --- komentar mereka -- telah mengalami kesulitan untuk mengetahui mana “Islam Yang Sejati” dan mana “Yang Tercampur”. Dan pada akhirnya memunculkan ikhtilaf (kontroversi) baru.

Para Ulama Muhammadiyah -- sejak masa awal pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah – sebenarnya sudah membahas persoalan di seputar kemungkinan kemurnian dan ketidak-murnian pemahaman dan pengamalan Islam dalam sebuah kajian komprehensif yang dikemas dalam dalam sebuah tema besar yang bertajuk “Bid’ah dan Sunnah”, sebagai langkah kongkret untuk membahas persoalan di seputar kemungkinan penyimpangan pemahaman dan pengamalan Islam sebagai “Agama Yang Lurus”. Di antara kitab yang secara komprehensif yang dirujuk oleh sebagian besar Ulama Muhammadiyah dalam mengkaji persoalan Bid’ah dan Sunnah tersebut adalah: kitab “Al-I’tishâm” dan “As-Sunan wa al-Mubtadi’ât” yang ditulis oleh Imam Asy-Syathibi.

Nah, ternyata kupasan mengenai Bid’ah dan Sunnah yang pernah dipersoalkan oleh para ulama Muhammadiyah selama hampir seabad dikemas ulang oleh seorang penulis muda, Haris Firdaus, dengan judul: NU, Persis atau Muhammadiyah Yang Ahli Bid’ah?. Sebuah buku kecil yang diterbitkan oleh penerbit Mujahid, Bandung, pada tahun 2004.

Substansinya tidak berbeda dengan buku-buku yang sudah pernah terbit. Tetapi pertanyaan dan sinyalemennya untuk Muhammadiyah (dan juga NU dan Persis) cukup menggelitik penulis. Dan oleh karenanya penulis tertarik untuk menelaahnya..

Pengertian Dasar tentang: Bid’ah dan Sunnah

Secara etimologis, Bid’ah berarti: “semua yang diada-adakan dalam bentuk yang belum ada contohnya”.

Pengertian Bid’ah secara terminologis, dalam kajian para ulama, terpilah menjadi dua:

Pertama, Bid’ah dipahami sebagai: "prosedur yang diada-adakan dalam agama, yang dipandang sama dengan syariat itu sendiri, dan dimaksudkan -- dalam pengamalannya -- untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT"

Kedua, Bid’ah dipahami sebagai: “prosedur yang diada-adakan dalam agama, yang dipandang sama dengan syariat itu sendiri, dan dimaksudkan -- dalam pengamalannya -- untuk tujuan pengamalan syari’at agama itu sendiri”.

Dalam memahami pengertian bid’ah, para ulama terpilah menjadi dua kelompok besar. Yang pertama memandang bahwa “bid’ah” adalah: “semua keyakinan dan tindakan yang diada-adakan sesudah Nabi Muhammad saw – tanpa dalil – dalam masalah yang berkaitan dengan masalah ibadah”. Sedang kelompok yang kedua memandang bahwa bid’ah adalah: “semua keyakinan dan tindakan yang diada-adakan sesudah wafat Nabi Muhammad saw – tanpa dalil – dalam semaua masalah agama (tidak terbatas pada persoalan ibadah saja).”

Dengan pengertian bid’ah sebagaimana tersebut di atas, kita dapat memahami sebaliknya, bahwa yang disebut “sunnah” adalah: “prosedur yang dilalui dalam beragama, selaras dengan perilaku Rasulullah s.a.w”.

Bid’ah dan Sunnah Dalam Praktik

Secara praktis, bid’ah dan sunnah telah dikerjakan oleh umat Islam dalam kegiatan sehari-hari. Tetapi, kadang-kadang orang Islam sendiri tidak menyadari atau tidak memahami dengan tepat apa yang telah dikerjakannya sendiri. Oleh karena itu para ulama mengingatkan kepada umat Islam terhadap bahaya bid’ah ini dengan peringatan-peringatan keras.

Ulama membagi perilaku bid’ah – secara makro – menjadi dua macam:

Pertama: “Bid’ah Haqîqiyyah”. Yaitu bid’ah yang bermakna: “sesuatu pekerjaan yang semata-mata diada-adakan, tanpa ada dalil dan dipandang sebagai kewajiban agama.”

Bid’ah semacam ini banyak terjadi di masyarakat, baik yang bersifat “i’tiqâdi” (berkenaan dengan keyakinan), maupun “’amali” (tindakan-tindakan kongkret). Misalnya apa yang selama ini disebut dengan Takhayyul dan Khurafat, pada dasarnya meruapakan keyakinan yang tidak bersadar (tidak ada dalil).

Orang-orang Islam di lingkungan Kraton Jogjakarta, misalnya, percaya terhadap “tuah” air bekas cucian “Kereta Kencana dan Pusaka Kraton Yogyakarta” dan “Berkah Gunungan Grebeg Riyaya dan Mulud”. Kepercayaan ini sedemikian melekat pada benak orang-orang – yang dikatakan -- “Islam Kejawen” dan mungkin saja sebagian orang-orang yang secara formal “mengaku dan diaku” Muhammadiyah, sementara “aqidah”nya masih bersifat sinkretis (bercampur antara Kejawen dan Islam).. Demikian juga kepercayaan kita terhadap “Gugon-Tuhon”, Angka-angka Keramat, Simbol-simbol Kesucian dan Mitos-mitos yang tidak berdasar. Sementara itu, para penganut Islam di lingkungan Kraton Jogjakarta, juga selalu merasa enak bergumul dengan tradisi “labuhan”, yang seolah-olah merupakan amalan “syar’iyyah” (yang dituntunkan oleh agama Islam), dan bahkan menikmatinya sebagai acara dan upacara ritual – yang dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat – keagamaan.

Kedua: Bid’ah “idhâfiyyah”. Yaitu bid’ah yang bermakna: “sesuatu yang pada dasarnya bukan agama, sehingga hukumnya “mubah atau masuk dalam kategori sunnah”, tetapi dilakukan dalam konteks ibadah atau pelaksanaan ajaran agama Islam yang tidak mendapatkan legitimasi keagamaan dari dalil-dalil agama, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah”.

Contoh kongkret dari bid’ah ini misalnya” “makan dan minum”. Perbuatan ini pada dasarnya boleh dikejakan oleh siapapun. Tetapi, perbuatan ini menjadi “bid’ah” andaikata dilakukan dengan “kaifiyyât” (tata-cara) tertentu, di tempat dan waktu tertentu dan dengan maksud-maksud tertentu, yang ketika mengerjakannya dimaksudkan untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap atau diasumsikan sebagai pengamalan keagamaan yang diyakini sebagai sesuatu yang diajarkan oleh syari’at Islam. Misalnya makan-minum dalam rangka menyambut datangnya “bulan Muharram”, dengan disertai keyakinan bahwa pada saat itu orang Islam disyari’atkan untuk menyambutnya dengan makan-minum sebagaimana yang dilakukannya, padahal tidak ada satupun ketentuan syari’at Islam yang menentukannya demikian. Atau yang pada mulanya berkategori sunnah. Seperti: “membaca al-Quran”. Membacanya di sembarang waktu adalah sunnah, tetapi ketika “membaca al-Quran” tersebut kita tentukan waktunya dengan prosedur standar, yang ketika menentukannya disertai “keyakinan” bahwa ketentuan itu adalah bersifat “syar’iyyah”, padahal tidak ada satupun ketentuan agama yang mengajarkannya, maka perbuatan itu pun dapat dikategorikan “bid’ah”. Contoh kongkretnya adalah: upacara ritual “Yasinan”. Membaca surat Yasin adalah bagian dari sunnah Rasulullah saw yang dapat dirujuk dalilnya dari keumuman perintah “membaca al-Quran”. Tetapi, begitu kita tentukan suratnya “harus Yasin”, di tempat tertentu, pada waktu tertentu, dengan prosedur tertentu, yang – penentuan-penentuan tersebut -- tidak mendapatkan legitimasi syari’ah (tidak ada nash (teks) al-Quran dan atau as-Sunnahnya yang mengajarkannya), maka perbuatan tersebut termasuk “bid’ah”.

Dari penjelasan tersebut, jelaslah pengertian “sunnah”, yang berarti sebaliknya. Kita dapat menyatakan dengan tegas bahwa “sunnah” adalah: “perbuatan-perbuatan setiap muslim yang mendapat legitimasi syari’ah”. Dalam pengertian: “melaksnakan perinntah dan meninggalkan larangan Allah dan Rasulnya dan mengerjakan apa saja yang diperkenankan oleh Allah dan Rasulnya dengan niat karena Allah, sebagai bagian dari “ittibâ’ al-rasûl”, mengikuti perilaku Rasulllah saw secara kritis, dengan mendasarkan pada argumen yang kokoh.

Khâtimah.

Dalam penutup tulisan ini, saya ingin menegaskan dengan kalimat pendek. Kata “Bid’ah” selalu terkait dengan sesuatu yang ditambah-tambahkan atau diada-adakan. Tetapi, tidak semua yang ditambah-tambahkan atau diada-adakan setelah Rasulullah saw secara mutlak dapat kita artikan “Bid’ah.

Umat Islam telah melakukan inovasi-inovasi – yang relatif – baru, yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan Salaf al-Shâlih, tetapi sama sekai tidak dapat disebut bid’ah, karena sama-sekali tidak terkait dengan masalah ibadah dan ketentuan agama. Bahkan dalam beberapa hal telah menunjukkan “pengamalan” ajaran agama Islam secara kongkret dalam wilayah “mu’âmalah-dunyâwiyyah”. Misalnya: “pengembangan Ilmu dan Teknologi dan penerapan-penerapan teori keilmuan dan teknologi yang selaras dengan tujuan syariat Islam itu sendiri”.

Di dalam bangunan teori keilmuan Islam ada istilah yang dikenal dengan sebutan: “al-mashlahah al-mursalah” (kemashlahatan yang terlepas), yang bermakna: “memelihara maksud agama, dengan cara menolak segala macam kerusakan, atas dasar keinginan untuk memelihara kemashlahatan yang tidak – secara tekstual – ditunjukkan oleh nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah, tetapi dapat dipahami secara tersirat bahwa nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah menghendakinya. Inilah yang – kemudian dalam wacana umat Islam – dikatakan sebagai “Kontekstualisasi Doktrin Islam”.

Akhirnya, penulis berharap “mudah-mudahan tulisan ini bisa mengingatkan kepada seluruh warga Muhammadiyah untuk selalu bersikap kritis dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.


[*] Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar: