Senin, 24 September 2007

KANG SEJO MELIHAT TUHAN

Kang Sejo Melihat Tuhan

Oleh Mohammad Sobary

SANDAL JEPIT KESEDERHANAAN

Mungkin ada pesona tertentu yang menghubungkan rohani parapenyair. Setahu saya, ada dua penyair yang terpesona padakesederhanaan. Yang satu Taufiq Ismail. Yang satu lagi EmhaAinun Nadjib. Bulan Juni, 1979, ketika Ki Mohamad Said Reksohadiprodjomeninggal dunia, Taufiq terharu. Ia merasa kehilangan. Ialalu menulis sajak, buat mengenang orang tua sederhana tapimemancarkan kewibawaan itu. Yang paling pertama ia ingat tentang orang tua itu ialahsandal jepitnya, yang selalu berbunyi soh, soh, soh,menggosok debu Jakarta, menggosok debu Indonesia. Di rumahnya, Taufiq mencari sepatu lari, yang ia beli dinegara dunia kesatu. Harganya, tentu saja, mahal. Dan itumembuat Taufiq malu mengenang kesederhanaan Ki Mohamad Said.Penyair ini silau melihat kehidupan orang tua itu. Ketika Mohamad Kasim Arifin, mahasiswa IPB yang selama 15tahun "menghilang" di Waimital, P. Seram, kembali ke IPBdengan kisah suksesnya membantu petani transmigran yangmiskin, Taufiq juga terharu. Kasim, sahabatnya itu, meraihkeberhasilan dengan swadaya, tanpa sepeser pun bantuan danadari pemerintah. Begitu melihat dirinya sendiri, seorang dokter hewan yanghanya bersyair-syair saja kerjanya (begitulah diakuinyadalam sajaknya untuk mengenang Mohamad Kasim Arifin), iamerasa perlu menyembunyikan wajahnya menyembul di kaliCiliwung itu. Kasim yang hidupnya tak gemerlapan itu pun,seperti halnya Ki Mohamad Said, membuatnya merasa malu,risi, dan bersalah. Getaran apakah yang membuat kita bisa merasa risau danterpojok tak berdaya seperti itu? Mungkin cuma Taufiqsendiri yang tahu jawaban persisnya. Tapi, saya kira Taufiq mengharapkan agar kita punya lebihbanyak lagi tokoh seperti Ki Mohamad Said dan Kasim Arifin.Ia, dengan kata lain, tak ingin melihat Ki Mohamad Saidberangkat meninggalkan kita. Kematian memang sering bisa memberikan kenangan seperti itu.Dan, celakanya, kita seperti baru sadar, bahwa orang sepertiitu penting dan kita perlukan. Dalam "Sajak-sajak Sederhana"-nya, nampak bagaimana penyairEmha Ainun Nadjib gandrung pada kesederhanaan itu. "Tuhanku" katanya. "Ambillah aku sewaktu-waktu. Kematianku kehendak sederhana saja. Orang-orang menguburku hendaknya juga dengan sederhanasaja." Barangkali, ini pesan Emha. Tapi barangkali juga salah satucermin dari pergulatan batinnya sebagai seorang seniman.Seperti Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib juga kuatmemperlihatkan pada kita pemihakannya pada nilaikesederhanaan. Ketika Soedjatmoko meninggal dunia, Emha juga menuliskenangan. Ada sesuatu yang ia kagumi pada diri intelektualbeken itu. Oleh karena itu, tak segan ia menyebutSoedjatmoko sebagai ulama. Benar, kata Arab itu artinyamemang persis mencerminkan kehidupan Soedjatmoko: orang yangbanyak ilmu. Tapi pemberian gelar ulama itu jelas memilikikonotasi lebih: bahwa almarhum bukan cuma berilmu tapi juga,dan ini yang lebih penting, mampu memberikan teladan lakubagi siapa saja. Goenawan Mohamad bahkan menyebut Soedjatmoko bukan cumateladan ilmu, melainkan juga teladan "laku". BagiSoedjatmoko, apa yang dikatakan dan yang ditulis tidak cumacermin ketangkasan berolah pikir, melainkan juga cerminpergulatan batinnya. Orang bilang, keteladanan adalah sesuatu yang hilang darikita. Kita tak lagi punya sesuatu yang kita banggakan. Takada lagi sosok pribadi yang layak kita jadikan teladan. Tampil secara sederhana saja misalnya, juga sesuatu yang takmudah. Imbauan untuk menyederhanakan hidup sebetulnya pasbuat kita. Ia bukan cuma problem bagi orang kaya yangcenderung hidup gemerlapan. Orang miskin pun, entah berkatrangsangan virus apa, banyak yang tak mau tampil apa adanya.Mereka tidak gemerlap, mungkin juga memperlihatkan sikapanti pada gaya hidup itu, barangkali hanya karena belum adakesempatan. Benar kekaguman Taufiq pada Ki Mohamad Said, karena orangitu telah membuktikan dalam hidupnya. Ia bukan cuma orangsederhana, melainkan mungkin kesederhanaan itu sendiri. ---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos 12 Januari 1992

Tidak ada komentar: