Senin, 24 September 2007

WABAH POLIGAMI

Wabah Itu Bernama Poligami

Sebersit angin segar kembali berembus membawa keadilan bagi perempuan Indonesia. Pemerintah, melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, cepat tanggap menangani wabah baru maraknya poligami.
Sebelum itu, saya miris membaca berita demi berita tentang perilaku poligami para tokoh publik. Lebih miris lagi karena dalih yang dikemukakan hampir selalu "daripada berzina...."
Selemah itukah lelaki Muslim? Mereka begitu "perkasa" dalam menyubordinasi perempuan, tetapi begitu lemah dalam mengontrol nafsunya sendiri. Saya kira banyak lelaki Muslim "sejati" yang teguh dalam mengontrol diri tersinggung oleh alasan ini.
Saya ngeri membayangkan seandainya tidak ada upaya menghentikan wabah poligami, jangan-jangan Indonesia menjadi seperti negerinya Taliban, Afganistan. Di negeri di mana saya pernah bekerja itu, budaya poligami berurat berakar. Kolega saya, seorang mullah elite, memiliki empat istri dan anak lebih dari empat puluh. Mereka hidup di bawah satu atap dalam satu rumah besar.
Seorang calon presiden di Afganistan yang berkampanye jika terpilih nanti akan membuka kesempatan memperdebatkan poligami langsung dicekal penguasa. Dia dianggap menghina syariat Islam yang merupakan dasar konstitusi negara. Tentu bukan budaya seperti ini yang kita inginkan, demi keadilan perempuan di negeri kita.
Nabi dan monogami
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah, dilaporkan Nabi Muhammad SAW marah ketika beliau mendengar putrinya, Fatimah, akan dipoligami suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Beliau bergegas menuju masjid, naik mimbar, dan menyampaikan pidato, "Keluarga Bani Hashim bin al-Mughirah telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Thalib. Saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya tidak mengizinkan sama sekali, kecuali Ali menceraikan putri saya terlebih dulu."
Kemudian, Nabi Muhammad SAW melanjutkan, "Fatimah adalah bagian dariku. Apa yang mengganggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga," (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, hadis nomor 9026). Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat.
Mungkin orang akan bertanya bagaimana dengan kenyataan Nabi sendiri berpoligami? Bahkan, ini sering dijadikan alasan lelaki berpoligami, yaitu ittiba' (mengikuti) Rasul.
Kalau kita menyimak perkawinan Beliau, dapat disimpulkan pada hakikatnya Nabi monogami selama sebagian besar masa perkawinannya. Beliau menikah selama lebih dari 30 tahun, dan 28 tahun di antaranya dihabiskan hanya dengan Khadijah dalam perkawinan yang sukses dan membuahkan putra-putri.
Beliau sangat mencintai Khadijah dan setia kepadanya sehingga tahun Khadijah wafat disebut ’am al-hazn (tahun berduka). Dua tahun setelah Khadijah wafat, baru Nabi berpoligami. Dari sekian istri hanya Aisyah yang gadis.
Kekerasan psikologis
Poligami menyimpan banyak problem. Salah satunya, membisukan suara hati perempuan. Selama ini poligami hampir selalu dilihat dan didefinisikan dari perspektif lelaki. Apa definisi adil dan siapa mendefinisikan? Apakah mencakup keadilan batiniah dan seksual atau sebatas keadilan lahiriah dan material? Apa pembenaran teologis atau sosiologisnya? Perempuan nyaris tak didengar suaranya.
Poligami bisa menjadi sumber penderitaan perempuan. Sebagai manusia utuh, seperti lelaki, perempuan memiliki harga diri, integritas diri, dan emosi. Poligami membuat mereka merasa dikhianati dan direndahkan, serta menjadikan mereka merasa tak berdaya. Inilah bentuk nyata diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Indahnya perkawinan yang dibina bersama dengan penuh cinta kasih tiba-tiba runtuh. Perempuan yang sudah mengorbankan identitas dan integritas diri demi menopang suami dalam meniti tangga menuju status sosial lebih tinggi tiba-tiba dipinggirkan. Usia produktif untuk mengembangkan diri dikorbankan demi suami tercinta. Kini pada usia senja, dengan ketergantungan emosional dan finansial terhadap suami, dia harus menerima kenyataan pahit itu.
Banyak perempuan memilih bercerai daripada dipoligami. Tetapi, lebih banyak yang memutuskan tetap berada dalam perkawinan. Berbagai alasan dikemukakan, seperti demi anak, stigma sosial terhadap janda, ketergantungan finansial, dan sebagainya. Perempuan ini mesti memendam berbagai rasa seperti cemburu.
Seorang istri yang dipoligami, ketika saya wawancara baru-baru ini, mengatakan dengan getir, "Kebahagiaan dalam perkawinan tidak dapat dibagi. Semua bentuk perhatian, cinta, kasih sayang dari suami terhadap istri, tidak dapat diukur dengan materi. Seorang suami tidak mungkin bisa adil kepada para istrinya. Jadi, poligami adalah bagian dari ketidakadilan. Tetapi, memperdebatkan poligami di tengah masyarakat patriarkis tidak ada gunanya."
Poligami juga menjadi alat melegitimasi kekerasan psikologis terhadap perempuan. Istri pertama seorang dai kondang yang baru saja berpoligami, ketika ditanya apakah dia cemburu, menjawab ya, dan itu tanda cinta. Namun, dia tegar mendampingi sang suami menjelaskan perkawinan keduanya. Siapa tahu perasaan dan gejolak dalam hati? Hanya yang bersangkutan dan Allah semata.
Problem penafsiran
Perbedaan penafsiran ayat poligami (QS An-Nisa/4:3) sudah banyak diwacanakan. Inti utama perbedaan adalah pandangan tentang keabsolutan institusi poligami. Ayat poligami turun setelah Perang Uhud, di mana banyak sahabat wafat di medan perang.
Ayat ini memungkinkan lelaki Muslim mengawini janda atau anak yatim jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka dan hartanya dengan penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional. Kini kaum Muslim cenderung melupakan motif ini dan menganggap poligami "hak" lelaki Muslim secara absolut.
Ayat selanjutnya (4:129) secara kategoris menyatakan, tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkan. Ayat ini dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya agama monogami. Namun, pendukung poligami justru berpendapat sebaliknya.
Karena tidak mungkin seorang lelaki berlaku adil lahiriah dan batiniah kepada para istri, maka sikap adil itu hanya sebatas kemampuan mereka sebagai manusia. Inilah lokus perdebatan itu.
Bagaimana menyikapi ini semua? Marilah kita berpikir jernih. Salah satu misi utama Islam adalah membebaskan mereka yang tertindas dan membawa keadilan bagi mereka.
"Revolusi" yang dibawa Islam adalah peningkatan status perempuan menjadi sepenuhnya setara dengan lelaki, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai wakil-Nya di bumi. Apakah poligami yang sedang mewabah ini telah mencerminkan keadilan tersebut? Allah Mahatahu.

Tidak ada komentar: