Selasa, 25 September 2007

SELAMAT DATANG PSIKOTERAPI ISLAM

Selamat Datang Psikoterapi Islam

Sesungguhnya dalam Islam banyak ayat maupun hadis yang memberikan tuntunan agar manusia sehat seutuhnya, baik dari segi fisik, kejiwaan, sosial, serta ekonomi. Ajaran Islam sejak lama dijadikan semacam 'obat' bagi terapi kejiwaan. Tapi dilegalkan sebagai ilmu pengetahuan, masih belum terpikirkan. Gagasan itu baru muncul dan menguat dalam dasawarsa ini.
Menurut Drs Hanna Djumhana Bastaman MPsi, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Psikolog Islam (API), harus dicarikan jalan keluar bagi penyakit kejiwaan yang kian beragam jenisnya itu. Dalam kaitan ini, sudah lama para pakar psikolog Muslim menerapkan model psikoterapi yang bercorak Islami sebagai alternatif dari sejumlah terapi yang ada. Bantuan konseling melalui pendekatan agama tersebut, urai Hanna, diharapkan lebih mampu menuangkan pandangan positif terhadap manusia serta mengakui adanya unsur spiritual dalam diri di samping unsur ragawi, kejiwaan, dan juga sosial budaya.
Menurut Hanna, ragam masalah kejiwaan tersebut kerap kali bersumber dari krisis jati diri, tak jelasnya makna hidup dan tujuan hidup, kehampaan hidup, meningkatnya keserakahan dan sengketa kepentingan, serta melunturnya nilai-nilai tradisi dan penghayatan agama. Dan berkembangnya masalah kemanusiaan ini merupakan tantangan bagi para pakar ilmu dan humaniora, khususnya psikologi, untuk mengembangkan berbagai pendekatan efektif dan terobosan kreatif untuk menghadapinya. ''Psikologi Islam salah satu solusi,'' ujarnya.
Berbicara pada diskusi bertajuk Menyongsong Lahirnya Psikoterapi Islam yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi UI, di Jakarta, beberapa waktu lalu, Guru Besar Tetap FKUI, Prof Dr dr H Dadang Hawari, menyebut bahwa agama sangat penting bagi kesehatan jasmani dan rohani. Dilihat dari batasan WHO tahun 1984, katanya, aspek agama atau spiritual merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehatan secara keseluruhan. "Dan bila dikaji lebih mendalam, sesungguhnya dalam Islam banyak terdapat ayat maupun hadis yang memberikan tuntunan agar manusia sehat seutuhnya, baik dari segi fisik, kejiwaan, sosial serta rohani," katanya.
Lebih jauh, Dadang menyatakan, dalam agama Islam bagi mereka yang sakit dianjurkan untuk berobat kepada ahlinya guna memperoleh terapi medis yang disertai doa dan dzikir. Sebab di pandang dari sudut kesehatan jiwa, doa dan dzikir ini jelas mengandung unsur psikoterapeutik yang mendalam. Terapi psikoreligius tidak kalah pentingnya dibanding psikoterapi psikiatrik, karena ia mengandung kekuatan spiritual yang membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme. "Dua hal tadi (percaya diri dan optimisme) amatlah penting bagi penyembuhan suatu penyakit baik mental maupun kejiwaan," kata dia.
Untuk mendukung penegasannya tersebut, Dadang pun memaparkan sejumlah penelitian yang pernah dilakukan. Dua studi epidemiologik oleh ilmuwan Lindenthal (1970) dan Star (1971) menunjukkan bahwa penduduk yang religius beribadah, berdoa dan berdzikir, resiko untuk mengalami stres, cemas dan depresi jauh lebih kecil daripada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Family Practice menyatakan bahwa 77 persen dari 203 pasien rawat inap mengharapkan agar para dokter memperhatikan kebutuhan spiritual pasiennya, 37 persen pasien mendiskusikan aspek spiritual ini dengan lebih sering, dan satu di antara dua pasien menyatakan permintaan agar dokter turut mendoakan kesembuhan mereka.
Berdasarkan penelitian-penelitian itu, lanjut Dadang, disimpulkan bahwa komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya di bidang klinis (religious commitment is associated wit clinical benefit). "Ternyata apa yang dikatakan Snyderman (1996) benar adanya, yakni terapi medis saja tanpa disertai doa dan dzikir tidaklah lengkap; sedangkan doa dan dzikir saja tanpa disertai terapi medik tidaklah efektif."
Sementara itu dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Abdul Mujib mengatakan, kriteria sehat dan sakit bagi seseorang tidak semata-mata terhindar dari penyakit jiwa, mampu menyesuaikan dan mengembangkan diri. ''Tetapi juga mampu melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar sebab pelaksanaan ajaran agama itu merupakan bagian dari citra asli manusia yang harus dipelihara,'' ujarnya. Dari kerangka itu, imbuhnya, psikologi berbasis Islam dibangun berdasarkan paradigma bagaimana seharusnya (aksiologis), bukan sekedar apa adanya (ontologis) dan bagaimana caranya (epistimologis).
Abdul Mujib menjelaskan bahwa dalam leksikologi Alquran, sunah, dan karya-karya ulama klasik, tidak ditemukan istilah kesehatan mental (shihhah al-nafs) atau mental yang sehat (al-nafs al-shahih). Yang ditemukan justru istilah kalbu yang selamat (qalb salim) atau keselamatan kalbu (salamah al-qalb). Istilah lain untuk mengungkap kesehatan mental adalah afiyah sehingga kerap diungkap kalimat 'sehat wal afiat.'
Terkait hal itu, katanya, kalbu menjadi pusat kesehatan, sebab dia merupakan sentral kepribadian manusia. Jika kalbu itu baik maka seluruhnya baik, dan jika ia buruk maka semuanya buruk."Kalbu merupakan struktur manusia paling dekat dengan ruh sehingga penggunaan kesehatan kalbiah sesungguhnya telah mewakili istilah kesehatan ruhaniah." Dengan begitu terminologi kesehatan mental dalam Islam diidentikkan dengan kesehatan kalbiah atau kesehatan rohaniah, yang wilayahnya lebih mengarah pada kesehatan spiritual Islam.
Kesehatan kalbiah merupakan hati selamat dari syahwat yang mengajak menyalahi perintah Allah SWT; selamat dari hal-hal syubhat; selamat beribadah selain pada-Nya dan selamat dari keingkaran hukum rasul-Nya. Oleh karenanya Abdul Mujib mengingatkan hakekat kesehatan mental, khususnya yang dikembangkan dalam psikologi Islam, sangat berkaitan dengan akidah, syariat dan akhlak. ''Seseorang akan dikatakan memiliki mental yang sehat apabila ia merasa tenang dan tentram dalam menjalanlan perintah Allah sehingga mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akherat.''

Tidak ada komentar: