Senin, 24 September 2007

MANAJEMEN SYAHWAT

Manajemen Syahwat

Oleh : Muhadjir Darwin

PERKAWINAN poligami Aa Gym menimbulkan kontroversi. Banyak ibu melayangkan protes terhadap da’i kondang yang sebagian besar penggemar beratnya adalah para ibu tersebut. Lalu muncul plesetan terhadap terminologi khas Aa, seperti ‘Manajemen Qolbu’ menjadi ‘Manajemen Syahwat’, atau bait lagunya ”jagalah hati jangan kau kotori, jagalah hati lentera hidup ini” menjadi ”jagalah syahwatmu jangan kau kotori, kalau tidak mampu carilah istri lagi”. Tidak kurang SBY yang dapat SMS bernada protes dari banyak ibu segera bereaksi dengan rencana memperluas larangan poligami yang selama ini hanya untuk pegawai negeri menjadi berlaku untuk pejabat negara. Di lain sisi muncul juga dukungan terhadap perkawinan poligami dan penolakan terhadap langkah SBY. Mereka mempersoalkan kenapa poligami dilarang, sementara perzinahan dilegalkan. Kemudian dibandingkan mana yang lebih baik, apakah mengikuti Aa yang secara resmi berpoligami atau mengikuti YZ yang selingkuh dengan ME? Para pembela poligami menganggap bahwa pilihan poligami merupakan katup pengaman bagi laki-laki agar terhindar dari zina yang dilarang oleh agama. Larangan poligami dikhawatirkan akan menyuburkan seks bebas dan prostitusi.Terhadap argumen tadi ada dua pertanyaan yang patut direnungkan. Pertama, apakah laki-laki pada dasarnya makhluk hedonis pemuja syahwat yang harus mendapatkan penyaluran - dengan poligami atau selingkuh - bukan makhluk berakhlak yang harus dapat mengontrol syahwat dengan tidak melakukan keduanya? Lalu apa makna puasa dalam Islam yang artinya adalah latihan mengendalikan diri dari hawa nafsu? Apakah bukan pencemaran terhadap citra agama jika dalil-dalil agama dipakai untuk membenarkan hedonisme seks laki-laki?Kedua, apakah betul poligami bisa mencegah seks bebas dan prostitusi? Seandainya YZ menikahi ME tanpa harus mencerai istri pertamanya, dapatkah dijamin YZ tidak melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain setelah itu? Apakah semua yang datang ke tempat pelacuran adalah lelaki monogam, tidak ada yang poligam? Menurut saya seks bebas dan prostitusi tidak punya sangkut paut dengan monogami atau poligami. Dan ketakutan pada perkembangan seks bebas dan prostitusi tidak bisa menjadi justifikasi terhadap model perkawinan poligami. Persoalan poligami saya kira tidak tepat jika dipersoalkan dari sudut manajemen syahwat, tetapi harus dilihat dalam konteks sosial yang lebih luas dan mendasar, yaitu keadilan sosial, atau lebih spesifik lagi keadilan jender. Poligami menjadi bermasalah karena pada kenyataannya model perkawinan tersebut berpotensi menciptakan ketidakadilan dalam kehidupan rumahtangga dan merugikan kepentingan kaum perempuan. Model perkawinan seperti ini mencerminkan hegemoni laki-laki dan subordinasi perempuan pada tingkat yang ekstrem.Alasan Aa bahwa software perempuan dari sononya bersifat ‘mono’ dan laki-laki bersifat ‘stereo’ di samping bertentangan dengan realitas —karena keduanya dalam praktek bisa ‘mono’ dan bisa juga ‘stereo’ — juga sangat mereduksi makna institusi rumahtangga yang memiliki fungsi sosial, pendidikan, ekonomi yang luas dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti cinta, tanggungjawab, kebersamaan, kejujuran, pengorbanan dan keadilan, menjadi sekadar urusan manajemen nafsu syahwat. Secara tidak disadari sebenarnya ini juga merupakan bentuk pelecehan terhadap harkat dan martabat laki-laki karena mencitrakan laki-laki sebagai makhluk hedonis pemuja syahwat.Para pembela poligami mengkritik pemerintah dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak berhak melarang poligami karena agama membolehkannya. Pertanyaannya adalah, apakah Negara tidak boleh melarang semua hal yang dibolehkan oleh agama, meskipun secara jelas hal tersebut merugikan kepentingan publik? Negara berfungsi melindungi rakyatnya dari hal-hal yang merugikan kepentingan publik, dan hal-hal tersebut tidak seluruhnya dilarang oleh agama.Marilah kita renungkan. Bijaksanakah kita jika argumen ”jangan melarang yang dibolehkan agama” kita pakai untuk menyalahkan pemerintah yang melarang impor beras dari Vietnam untuk melindungi petani dalam negeri. Atau Sutiyoso yang melarang orang merokok di tempat umum untuk melindungi kesehatan masyarakat, atau Depnaker yang melarang perusahaan mempekerjakan anak untuk melindungi mereka dari eksploitasi dan kekerasan? Kita akan gagal menemukan larangan impor beras, merokok ditempat umum, atau mempekerjakan anak dalam Alquran dan Hadis Nabi, tetapi dari sudut kepentingan publik larangan seperti itu sangat perlu.Dengan begitu, salahkah Negara melarang poligami, jika praktik perkawinan seperti itu secara nyata merugikan kepentingan publik dan dalam hal ini kaum perempuan? Jika jawabannya salah, lalu apa kontribusi agama bagi kemanusiaan dan peradaban? (Penulis adalah Guru Besar Fisipol dan Pengelola Magister Studi Kebijakan UGM)-a.

Tidak ada komentar: