Senin, 24 September 2007

I'TIKAF BAGI WANITA

I'tikaf Bagi Wanita

I'tikaf adalah tinggal/menginap di masjid dengan niat i'tikaf dan dengan persyaratan tertentu. I'tikaf hukumnya sunnah bagi lelaki dan wanita. Dalam sebuah hadist riwayat Aisyah, Rasulullah selalu beri'tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. (H.R. Bukahri Muslm). Ulama berbeda pendapat mengenai waktu minimal i'tikaf ada yang mengatakan minimal sehari semalam, namun mayoritas ulama mengatakan i'tikaf sah meskipun sebentar asalkan dengan niat i'tikaf.

I'tikaf harus dilakukan di masjid dan waktunya kapan saja, namun sangat disunnahkan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Untuk wanita bila ingin melaksanakan i;tikaf di masjid, maka selayaknya di tempat terpisah dan tertutup dari dari tempat lelaki. Ini seperti ketika isteri-isteri Nabi menginginkan untuk melakukan i'tikaf maka Nabi memerintahkan untuk membangun ruangan khusus bagi mereka. Sebagian ulama mengatakan bagi wanita boleh juga melakukan i'tikaf di masjid kediamannya dimana ia bisa melakukan shalat sehari-hari.Selama i'tikaf diharuskan suci dari hadast besar (untuk wanita harus dalam kondisi bersih dari haid dan nifas). Demikian juga bagi wanita dalam melaksanakan i'tikaf harus mmendapatkan izin dari suami atau orang tuanya. Selama i'tikaf juga disunnahkan memperbanyak ibadah, khususnya shalat dan membaca al-qur'an serta meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.

I'tikaf batal kalau keluar dari masjid dengan tanpa sebab atau mengalami hadast besar.Mengenai ibadah bagi wanita yang sedang haid, ibadah yang seharusnya dilaksanakan adalah berzikir dengan memperbanyak membaca tasbih, tahmid, istigfar dan tahlil. Wanita dilarang menyentuh al-Qur'an dalam keadaan haid. Itu sudah cukup sebagai ibadah bagi wanita yang sedang haid.

Ulama berbeda pendapat mengenai apakah boleh seorang wanita haid membaca al-Qur'an. Sebagian besar ulama mengatakan tidak boleh karena hadist yang diriwayatkan Ibnu Umar, Rasulullah bersabda "Janganlah membaca al-Qur'an, seorang yang berhadast besar (junub) dan wanita haid" (H.R. Tirmizi dan Baihaqi). Hadits tersebut meskipun dipedebatkan kesahihannya oleh para ulama. Ada juga riwayat Ali yang mengatkan "Suatu hari aku melihat Rasulullah berwudlu lalu membaca al-Qur'an, lalu beliau berkata "Beginilah caranya bagi mereka yang bukan junub (berhadas besar), adapun mereka yang junub tidak boleh membaca al-Qur'an meskipun satu ayat" (H.R. Ahmad). Syaukani mengatakan, inilah dalil yang terkuat dari pendapat ini.

Pendapat kedua dari Dawud Al-Dhahiri mengatakan boleh orang junub membaca al-Qur'an, dengan dalil bahwa hadist Ibnu Umar tersebut tidak begitu kuat. Pendapat ini juga berdasar kepada surat Nabi yang dikirimkan kepada Heraklus yang di dalamnya tercantum ayat-ayat al-Qur'an. Andaikan membaca al-Qur'an bagi orang junub dilarang, tentu Nabi tidak megirimkan surat yang berisi ayat-ayat al-Qur'an, karena Heraklus adalah orang nasrani yang tentu tidak besih dari hadas besar.

Riwayat dari imam Syafi'e dan Imam Malik memperbolehkan seorang haid membaca al-Qur'an bila takut lupa atau memang pekerjaannya mengajarkan al-Qur'an, atau mungkin seorang wanita yang sedang berargumentasi sehingga harus mengguakan al-Qur'an sebagai dalil. Demikian juga memperbolehkan membaca ayat-ayat pendek yang tujuannya untuk zikir, seperti membaca basmalah ketika hendak makan dan minum dan membaca hamdalah ketika selesai dan lain-lain sebagainya.

Tidak ada komentar: