Senin, 01 Oktober 2007

HUKUM DAGING ANJING

HUKUM DAGING ANJING

Kajian fikih nazilah kali ini akan membahas tentang halal-haramnya daging anjing. Meski bukan merupakan fikih nazilah, namun realita berupa menjamurnya warung pinggir jalan yang ditengarai menjual daging ini adalah kasus kontemporer yang layak mendapat perhatian.

Karena anjing tergolong binatang buas, maka kajian fikihnya akan mengacu pada halal haramnya binatang buas secara umum. Masalah ini telah menjadi polemik sejak zaman salaf. Ada dua pendapat, antara yang membolehkan dan mengharamkan.

Pendapat pertama membolehkan mengkonsumsi daging hewan buas. Argumen pendapat ini dibangun dengan landasan pemahaman etimologis pada pola hashr (pembatasan) dalam ayat:

Katakanlah: ”Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah (QS. Al-An’am:145)

Selain jenis yang tercantum dalam ayat diatas, dipahami sebagai sesuatu yang mubah, termasuk anjing. Pembatasan item (bangkai, darah, babi, dan sembelihan syirik) dalam ayat ini bersifat mutlak, tak bisa diganggu gugat. Penambahan ataupun pengurangan yang teriwayatkan dalam beberapa hadits diposisikan bukan sebagai keterangan lanjutan tapi sebagai rival. Sedang al-Quran kedudukannya lebih tinggi dari as-sunah.

Pendapat ini didukung beberapa riwayat berupa atsar dari beberapa shahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Aisyah. Juga pendapat dari asy Sya’bi, Ibnu Jubair dan Imam Malik.

Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat Jumhur ulama, termasuk Imam Hanafi, Imam asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya al Jami’ li Ahkamil Quran, dan Ibnu Katsir dalam Tafsirul Quranil Azhim telah dengan panjang lebar menjelaskan masalah ini.

Menurut pendapat kedua, pembatasan dalam ayat diatas tidak bersifat mutlak dan masih menerima penambahan ataupun pengurangan berupa pengecualian. Terlebih dahulu, para ulama menjelaskan bahwa maksud ayat ini berkaitan erat dengan sebab turunnya. Yaitu, ketika orang-orang kafir di Makkah membuat aturan tentang klaim keharaman bahirah, saibah, wasilah dan ham (QS. Al-Maidah:103), Allah mewahyukan ayat ini pada Rasul-Nya. Ayat ini menyanggah bahwa dari wahyu yang telah diturunkan oleh Allah, yang diharamkan adalah bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang ditujukan untuk kesyirikan. Sedang semua yang mereka sebutkan bukanlah jenis yang diharamkan. Dan menurut Imam asy-Syafi’i, ayat ini adalah penjelasan dari ayat sebelumnya yang menerangkan 8 jenis hewan yang diharamkan orang jahiliyah.

Beberapa alasan yang menafikan hasr mutlak pada ayat diatas adalah diantaranya;
Pertama, ayat ini adalah ayat Makiyah, turun sebelum hijrah ke Madinah. Sedang di Madinah turun beberapa ayat dan riwayat hadits yang menyatakan haramnya beberapa jenis makanan, minuman dan daging binatang.
Apabila hashr (pembatasan) dalam ayat ini dipahami sebagai pembatasan yang mutlak maka beberapa hadits dan bahkan ayat yang datang setelahnya tidak bisa difungsikan.

Diantaranya:
1. Ayat 157 surat al-A’raf: “Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu tugas rasul adalah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk.
2. Hadits tentang keharaman binatang buas bertaring dan berkuku tajam.
Dari Abu Tsa’labah, Rasulullah s.a.w. melarang memakan setiap hewan buas bertaring dan berkuku tajam. (HR. Bukhari, Muslim, at Tirmidzi, an Nasa’I, Abu Daud, Ahmad dan ad Darimi). Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Hurairah dan keshahihannya disepakati.
3. Hadits tentang keharaman keledai jinak.
Dari Abu Tsa’labah, Rasulullah s.a.w. melarang daging keledai jinak. (HR. Bukhari) Hadits semakna diriwayatkan Imam Muslim, at Tirmidzi, an Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan ad-Darimi.
4. Hadits tentang kehalalan dua bangkai dan dua darah.
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah s.a.w. bersabda, “ Dihalalkan bagi kamu sekalian dua bangkai dan dua darah, adapun bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang. Sedang darah adalah hati (liver) dan limpa.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Dalam masalah kehalalan bangkai ikan, terdapat satu riwayat yang disepakati Imam Bukhari dan Muslim akan keshahihannya. Yaitu hadits tentang bangkai ikan paus yang ditemukan pasukan Islam. Ketika diadukan pada Rasulullah s.a.w. beliau menjawab, “ Itu rejeki yang dikeluarkan Allah, apakah kalian masih memilikinya untuk kami?” dan sahabatpun memberikannya pada Rasulullah s.a.w. dan beliau memakannya.
Jika penambahan item selain yang terdapat dalam ayat tidak diterima, tentunya pengurangan berupa pengecualian juga tertolak. Bahkan ketika menjelaskan pendapat kedua, Imam al-Qurthubi ( dalam al-Jami’ li ahkamil Qur’an) dalam tafsir ayat ini menukil pendapat salah seorang ulama, jika ayat ini bersifat pembatasan mutlak maka semestinya yang berpendapat demikian juga menghalalkan binatang yang disembelih dengan tidak menyebutkan nama Allah dengan sengaja, menafikan ijma’ kaum muslimin akan keharaman khamr dari anggur dan beberapa lainnya. Sebenarnya, pada dalil yang terakhir ini, terdapat satu petunjuk bahwa Rasulullah s.a.w. telah mendapatkan apa yang diwahyukan pada beliau sesuatu yang diharamkan selain apa yang disebutkan dalam surat al-An’am pada ayat lain yang diturunkan setelahnya.
Ibnu Qudamah menceritakan, suatu ketika asy Sya’bi ditanya tentang orang yang berobat dengan daging anjing.” Beliau malah berkata,“ Semoga Allah tidak menyembuhkannya.” Ibnu Qudamah menyimpulkan, kalimat ini menunjukkan keharaman.
Penafsiran akan mutlaknya pembatasan dalam ayat adalah ijtihad, bisa salah dan mungkin benar. Sedang keharaman binatang buas dan beberapa item lainnya dilandaskan pada hadits yang shahih dan disepakati para ulama. Wallahua’lam. (T. Anwar)

Referensi :
Tafsirul Quranil Azhim, Ibnu Katsir.
Al-Jami’ li Ahkamil Quran, Imam al Qurthubi.
Al-Mughni, Ibnu Qudamah.
Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram, Abi Abdillah Abdus Salam Allusy

Tidak ada komentar: