Rabu, 03 Oktober 2007

MEMAHAMI KONSEP MASHLAHAH, “Dari Teori Menuju Implementasi”

Dasar pertama dari setiap perkara adalah al-Quran dan as-Sunnah. Jika al-Quran dan as-Sunnah tidak menjelaskannya, barulah dicari pijakan yang lain.

Prawacana

Dalam sebuah seminar di ibukota, seorang tokoh Islam liberal di negeri ini menyatakan bahwa yang qath’i dari hukum Islam hanyalah maqâshid al-tasyrî’ al-‘âm (tujuan umum syariat). Yaitu mewujudkan dan melanggengkan mashlahah bagi umat Islam serta membuang dan meminimalisasi mudhârât (kemadharatan-kemadharatan) dari mereka. Maksud pernyataan ini dipertegas dengan pernyataannya pada kesempatan yang lain, bahwa di daerah kutub yang berhawa sangat dingin, vodka dan sampagne ~ minuman beralkohol kadar tinggi ~ hukumnya bisa halal. Atau keheranannya kepada salah seorang kawannya yang mencari-cari label halal pada bungkus coklat yang hendak dibelinya. Menurutnya, asalkan coklat itu higienis ~walau terbuat dari babi~ maka hukumnya halal.
Bagi orang-orang kutub, vodka mendatangkan mashlahah, dapat menghangatkan badan. Dan coklat yang higienis tidak mendatangkan mudhârât (kemadharatan-kemadharatan) bagi orang yang mengkonsumsinya. Begitu kira-kira simpulan yang ada di benaknya.
Penalaran Sederhana

Empat belas abad yang lalu, tujuh puluhan sahabat yang banyak menghafal al-Quran terbunuh, mati syahid pada peperangan Yamamah di masa pemerintahan Abu Bakar ash-Shidiq. Memandang kemashlahatan umat dan menjaga al-Quran dari kepunahan, Umar bin Khaththab mengusulkan kepada khalifah supaya tulisan ayat-ayat al-Quran yang terserak dikumpulkan menjadi satu mush-haf.

Hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan karenanya Abu Bakar menolak usulan ini. Namun, setelah Umar menjelaskan berkali-kali Abu Bakar mengerti bahwa tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. itu terkategorikan secara langsung sebagai perbuatan bid’ah.

Masalah tidak berhenti sampai di situ. Ketika mereka berdua menemui Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasulullah saw., sikapnya pun tidak berbeda dengan sikap Abu Bakar. Mula-mula ia menolaknya karena khawatir melakukan perbuatan bid’ah. Namun setelah berkali-kali mereka berdua menjelaskannya, hatinya pun dibuka oleh Allah untuk menerimanya.

Dan proyek besar ini pun dimulai. Sejumlah sahabat yang hafal al-Quran dikumpulkan. Begitu pula dengan para sahabat yang menyimpan tulisan ayat-ayat al-Quran diminta untuk meminjamkannya kepada panitia penulisan al-Quran.

Tidak Semua Mashlahah Bisa Dijadikan Sebagai Hujjjah Syar’iyyah

Selain keyakinan bahwa yang qath’i dari syariat Islam hanya tujuan umumnya, letak kekeliruan pemikir Islam Liberal itu adalah pada anggapannya bahwa semua mashlahah itu sama. Padahal tidak demikian adanya. Para ulama di bidang Ushul Fiqh bersepakat bahwa mashlahah itu ada tiga:

Pertama, mashlahah yang disebut para ulama sebagai mashlahah mu’tabarah. Yaitu mashlahah yang dijelaskan oleh Allah dan atau Rasulullah saw. (dalam al-Quran dan atau as-Sunnah), sebagai tujuan dari ditetapkannya syari’at.

Misalnya, terjaganya kehormatan dan keturunan. Untuk mewujudkan mashlahah itu, Allah telah memerintahkan umat Islam untuk menikah bagi yang telah mampu.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا(3)
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (QS an-Nisâ`, 4: 3)
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(32)
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS an-Nûr, 24: 32)

Contoh lain, untuk mewujudkan mashlahah “pentingnya kesehatan jasmani” Allah memerintahkan kita untuk:
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ(31)
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS al-A’râf, 7: 31)

Kedua, mashlahah yang disebut para ulama sebagai mashlahah mulghah. Yaitu mashlahah yang dinyatakan batal oleh syariat. Dan untuk menegaskan batalnya mashlahah itu, Allah menetapkan suatu hukum yang berseberangan dengan mashlahah ini. Artinya mashlahah ini adalah mashlahah dalam pandangan manusia. Sedangkan dalam pandangan syari’at mashlahah ini bukan mashlahah melainkan mafsadah (keburukan).

Misalnya, mashlahah yang ada pada riba. Di dalam al-Quran Allah menegaskan bahwa hukum riba adalah haram. Sebanyak dan seistimewa apa pun mashlahah yang ada pada riba, hal itu tidak diakui oleh syariat dan bahkan dinyatakan batal.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS al-Baqarah, 2: 275)

Contoh lain, kandungan gizi yang ada pada daging babi. Setinggi apa pun kandungan gizi yang ada pada daging babi, syariat tidak menganggapnya “halal dan baik”, dan bahkan kita diperintahkan untuk menjauhinya.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(115)
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS an-Nahl, 16: 115)

Contoh lain lagi, mashlahah perdamaian yang akan terwujud jika tidak ada perang.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ(216)
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah, 2: 216)

Secara implisit ayat ini menjelaskan bahwa mashlahah perdamaian ~ dengan membiarkan aturan Allah diinjak-injak ~ bukanlah mashlahah. Mafsadât (keburukan-keburukan) atau mudhârât (kemadharatan-kemadharatan) yang ditimbulkan peperangan dalam rangka menegakkan aturan Allah tidak lebih berharga daripada mashlahah berlakunya aturan dan undang-undang Allah.

Ketiga, mashlahah yang disebut para ulama sebagai mashlahah mursalah. Yaitu mashlahah yang tidak dijelaskan oleh syari‘at. Maknanya, tidak ada hukum yang ditetapkan oleh Allah secara khusus untuk mewujudkan mashlahah itu, namun juga tidak ada dalil yang membatalkannya sebagai sebuah mashlahah.

Misalnya: aktivitas “penerjemahan dan atau al-Quran”. Dalam hal ini ada mashlahahnya, yaitu memudahkan para pembaca pengkaji al-Quran untuk memahaminya. Dalam hal ini tidak ada dalil khusus yang memerintahkannya sebagaimana tidak ada ayat atau hadis yang melarangnya.

Sejauhmana Nilai Kehujjahan Mashlahah Mursalah?

Para sahabat memang berpijak pada mashlahah mursalah. Yaitu mashlahah yang tidak dibatalkan oleh suatu dalil atau mashlahah yang tidak diikuti oleh mafsâdât (keburukan-keburukan) yang lebih besar atau pun sama. Demikian pula halnya dengan para imam mazhab. Pada hakikatnya mereka pun berpegang kepadanya, meskipun di antara mereka ada yang menyatakan diri menjauhinya. Barangsiapa meneliti realitas sejarah para sahabat dan rincian pendapat mazhab-mazhab, niscaya akan mengetahui kebenaran hal ini. Namun demikian, beramal dengan berdasarkan mashlahah mursalah mesti menghadirkan kehati-hatian dan kewaspadaan ekstra, supaya mashlahah yang hendak dicapai benar-benar terwujud dan bukannya kehilangan mashlahah yang lebih besar atau datang mudhârât (kemadharatan-kemadharatan) yang lebih besar daripada mashlahah itu sendiri."

Syarat Berdalil dengan Mashlahah Mursalah

Syarat-syarat yang mesti dipenuhi jika kita hendak beramal dengan berpijak pada mashlahah mursalah:

1. Mashlahah itu tidak boleh berseberangan dengan nash.
2. Mashlahah itu harus bermuara kepada penjagaan terhadap maqâshid al-tasyrî’.
3. Mashlahah itu bukan pada perkara-perkara yang telah baku dan tidak akan berubah, seperti: wajibnya shalat, haramnya bangkai, hukuman bagi pezina, nishab zakat, dan semua perkara yang tidak bersifat ijtihadi.
4. Mashlahah ini tidak boleh diiringi oleh mafsâdât (keburukan-keburukan) yang lebih besar daripada mashlahah itu sendiri. Bahkan mafsâdât (keburukan-keburukan) yang sama pun tidak boleh mengiringinya.

Khâtimah

Yang perlu diingat selamanya, bahwa dasar (pijakan) utama dalam menetapkan hukum setiap perkara adalah “al-Quran dan as-Sunnah”. Jika al-Quran dan as-Sunnah tidak menjelaskannya, barulah dicari pijakan yang lain, yang salah satunya adalah mashlahah mursalah ini, disamping sejumlah dalil ijtihadi yang lain, seperti: qiyâs, istihsân, istishhâb, saddudz-dzarî’ah dan ‘urf. Jadi kehujjahan mashlahah mursalah tetap dalam koridor al-Quran dan as-Sunnah, dan harus selalu tetap dalam semangat untuk memberlakukan syariat Allah dalam kehidupan nyata.

Tidak ada komentar: