Rabu, 03 Oktober 2007

MEMAHAMI KEGAGALAN

MEMAHAMI KEGAGALAN

Ketika jumlah kegagalan Edison sudah mencapai 9999, seorang wartawan bertanya kepadanya, “Apakah anda akan terus melakukan kegagalan sampai 10. 000 kali?” Jawab Edison: “I have not failed. I have just found 10.000 ways that will not work”. Saya belum gagal, tapi saya menemukan 10 ribu cara yang tidak bisa digunakan. “Saya tidak berkecil hati sebab setiap kegagalan adalah bentuk lain dari langkah maju.” “Hanya karena sesuatu terjadi meleset dari skenario perencanaan tidak berarti sia-sia tanpa guna.”

Ketika Kolonel Harlan Sander (pendiri KFC) memulai usaha menjajakan konsep menggoreng ayam, beliau tidak langsung mendapat sambutan positif dari sejumlah restoran. Konon jumlah penolakan yang dialami sebelum akhirnya ada orang yang mengatakan YA mencapai 1009 kali, padahal saat itu usia pak kolonel adalah usia pensiunan yang menurut kacamata umum bukanlah usia yang layak untuk merintis usaha hanya untuk menerima penolakan sebanyak itu.

Ketika Mr. Bata memutuskan pindah usaha dari garasi rumahnya di Zlin Cekoslowakia ke Kanada bersama saudaranya yang selama ini mendampingi dirinya dalam berusaha, tak tahunya di tengah jalan musibah tabrakan terjadi hingga membuat saudaranya meninggal. Jadilah akhirnya Mr. Bata melanjutkan usahanya seorang diri.

Tiga contoh di atas memang terjadi pada orang lain dan di negara lain, tetapi kalau kita lihat lebih jauh lagi ternyata bukan kisah pada orang yang bernama si anu dan karena hidup di negara anu tetapi kisah tentang seorang anak manusia, hamba Tuhan, yang taat pada tatanan hukum alam tentang bagaimana sebuah ide atau peristiwa, dijadikan petunjuk untuk bertindak dan bagaimana tindakan itu pada akhirnya menjadi sebuah prestasi. Di sini pun kita mengenal nama sejumlah pengusaha yang juga mengalami kisah perjalanan serupa termasuk misalnya Pak Hengky pemilik Bakmi Japos, dan lain-lain.

Salah satu pertanyaan yang pantas kita ajukan kepada diri kita adalah, mengapa mereka punya sedemikian besarnya ketahanan, punya sedemikian hebatnya ketaatan? Terlalu mengada-ngadakah bila kita bersumpah tidak gagal padahal kegagalan itu nyata-nyata terjadi di depan mata atau dialami oleh diri kita?
Batasan (Definisi) Kegagalan

Menurut kamus, definisi adalah batasan, atau pernyataan mental yang kita gunakan untuk membatasi guna mendapatkan perbedaan (the statement that defines). Perbedaan di tingkat definisi inilah faktor mendasar yang membedakan Mr. Bata dan Bata yang lain, Edison dan Edison yang lain, atau Sander dan sejumlah sander lain di dunia ini.

Menelaah hasil pengalaman alamiah sejumlah orang berprestasi dan hasil temuan ilmiah para pakar, ada tiga batasan (definisi) mendasar yang membedakan, yaitu:

1. Batasan Kuantitas

Batasan Kuantitas ini adalah hitungan angka atau semacamnya yang kita gunakan untuk mendefinisikan kegagalan kita. Belajar dari kisah di atas dan sejumlah orang lain yang sudah berprestasi ternyata mereka menetapkan batas yang lebih luas atau batasan yang tidak terbatas. Edison tidak menjadikan hitungan kegagalan sebagai batas, Kolonel Sander tidak menjadikan angka umur dan angka penolakan sebagai batas. Mereka menjadikan kesetiaan yang tak terbatas sebagai batas sehingga kegagalan yang dialami menempati posisi yang tidak berlawanan dengan kesuksesan yang diinginkan.

Hal ini berbeda dengan yang bisa ditemukan di kebanyakan orang yang menggunakan angka frekuensi, angka umur atau angka nominal sebagai pembatas untuk menghakimi gagal dan tidaknya sebuah usaha. Tidak berarti salah total memang, tetapi yang perlu kita audit adalah, jangan-jangan ketetapan angka yang kita bikin sendiri itulah yang menyiksa kita selama ini. Sebab kalau kita teliti lebih jauh, ternyata angka bukanlah berperan sekedar angka tetapi punya pengaruh riil terhadap ketahanan dan ketaatan kita di lapangan.

Kalau kita menetapkan hitungan seribu kali setidaknya meskipun kita gagal tujuh ratus kali, semangat kita masih hidup tetapi ketika batasan kita hanya ke angka lima ratus, angka kegagalan sebanyak tujuh ratus kali adalah angka yang sangat membebani pikiran kita. Beban di pikiran akan berpengaruh pada beban di praktek, beban di praktek akan berpengaruh pada beban di hasil, beban di hasil akan berpengaruh pada beban di kehidupan kita. Bisa jadi kalau batasan yang kita tetapkan terlalu sempit, kegagalan kita sebenarnya tidak membatasi usaha kita meraih kesuksesan tetapi opini kita tentang kegagalanlah yang membatasinya.

Hal lain yang perlu kita waspadai dengan angka yang kita ciptakan sendiri. Samuel Somerset pernah mengatakan, kita umumnya menolak sesuatu (kecuali sesuatu yang kita inginkan), namun justeru sesuatu itulah yang sering ditawarkan kepada kita oleh hidup ini. Ketika kita sudah menetapkan angka 100 hari adalah batas untuk menghakimi usaha – biasanya yang terjadi justru meleset. Dalam hari yang ke-100 usaha kita belum juga membawa hasil yang jelas karena berbagai proses yang dihadapi selama perjalanan usaha.

2. Batasan Kualitas

Batasan Kualitas yang dimaksudkan di sini adalah sasaran dari usaha kita. Belajar dari tradisi kehidupan orang berprestasi tinggi, ternyata mereka punya sasaran hidup yang tinggi bahkan tidak menjadikan sasaran itu sebagai batas akhir (destination), tetapi sasaran perantara untuk mencapai sasaran berikutnya. Sasaran yang tinggi seperti yang diakui oleh Mohamad Ali adalah hiburan yang bisa menyembuhkan kita dari kebrutalan realita. Sasaran yang tinggi menurut Jackie Chan bisa membuat kita mampu memaafkan kegagalan kecil yang tidak menjadi ukuran utama.

Menurut aritmatika kehidupan, apa yang dikatakan oleh Zig Ziglar nampaknya banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari bahwa kalau usaha kita punya sasaran menembus bulan, setidak-tidaknya walaupun meleset, landing-nya akan ke bintang. Mungkin inilah yang bisa menjawab rahasia mengapa orangtua kita dulu menyarankan bercita-cita tinggi. Kalau kita tidak untung dari hasil cita-cita setidaknya kita akan untung dari hasil semangat cita-cita.

Hal ini akan berbeda ketika sasaran dari aktivitas kita rendah. Tidak berarti salah – karena kita juga terkadang perlu memperhitungkan banyak hal – tetapi yang terpenting adalah, jangan sampai hidup kita terlalu mudah disiksa oleh problem yang muncul di tengah-tengah usaha mencapai sasaran. Lebih-lebih lagi jika sasaran yang rendah itu kita yakini dan tetapi hidup mati. Munculnya problem bukanlah jembatan bagi kita untuk naik tetapi bisa semacam tanah longsor yang mengubur imajinasi kita.

3. Batasan Rasionalitas

Apa yang saya maksudkan dengan Batasan Rasionalitas di sini adalah batasan yang rasional antara usaha dan manusia yang menciptakan usaha. Belajar dari mereka yang sudah berprestasi di bidangnya ternyata mereka sudah mampu membedakan antara definisi “Apa dan Siapa”. Usaha mereka memang gagal tetapi mereka tidak menciptakan definisi-diri sebagai orang gagal, dan inilah yang lebih rasional. Karena mereka tetap berpikir sebagai orang yang punya alasan untuk sukses maka kegagalan yang terjadi pada usahanya tidak membuat mereka menggagalkan diri.

Hal ini akan berbeda ketika kita gagal dalam usaha, lantas membuat definisi yang menyamaratakan antara kita dan usaha kita. Dalam praktek hidup, kegagalan usaha itu bukanlah pilihan tetapi konsekuensi yang tidak bisa dipilih sedangkan definisi-diri sebagai orang gagal adalah pilihan kita. Definisi-diri ini sudah diakui oleh baik temuan ilmiah atau ajaran kitab suci apapun sebagai kekuatan yang punya pengaruh riil terhadap perilaku kita. Ketika kita putus asa dapat dipastikan bahwa definisi-diri yang kita ciptakan atas diri kita bukanlah seorang warrior (jagoan) tetapi seorang loser (pecundang).

Para pakar pengetahuan sudah bekerja banyak mengabarkan sesuatu kepada kita bahwa level harga-diri (self-esteem) adalah level yang menentukan level semangat untuk mengalahkan kegagalan atau dikalahkan oleh kegagalan. Semua itu tak bisa dilepaskan dari harga yang kita patok buat diri kita.
Proses Belajar
Hidup ini 20 % skill dan 80 % strategi, begitulah kira-kira yang pernah disimpulkan oleh Jim Rohn. Hidup ini 10 % apa yang terjadi dan 90 % adalah stretagi mengatasi apa yang terjadi, kata Charles Swindoll. Keberhasilan itu 20 % bakat dan 80 % adalah stretegi mengembangkan bakat, kata temuan Harvard University tahun 1990-an. Kemenangan itu 50 % fisik dan skill dan 50 % strategi mental, menurut falsafah psikologi olahraga. Mungkin inilah rahasia mengapa individu, masyarakat atau bangsa yang sudah maju itu lebih gampang meraih kemajuan karena mereka sudah lebih banyak mengantongi strategi yang diwariskan atau yang didapatkan Kalau itu bisa kita jadikan petunjuk berarti semua orang tanpa terkecuali punya potensi untuk kalah oleh kegagalan dan potensi untuk menang melawan kegagalan, tergantung sebagian besarnya pada strategi yang dipilih. Sebagai salah satu strategi berikut ini bisa kita pilih sebagai acuan:

1. Manajemen

Strategi membutuhkan manajemen berpikir dan bertindak yang berbeda. Berpikir, ber-cita-cita, ber-sasaran, ber-target, dan bergagasan memang harus tinggi setinggi bintang yang kita bayangkan tetapi giliran bertindak, berjalan, dan ber-praktek harus dimulai dari yang terkecil, terdekat, dan dari “asset” atau kemampuan yang paling banyak tersedia di dalam diri kita sehingga ketika kegagalan terjadi masih bisa kita deteksi asal-usulnya. Apa yang menimpa perusahaan besar sama seperti apa yang menimpa diri kita bahwa munculnya ‘gap knowing-doing’ adalah sumber pemborosan energi dan materi karena lemahnya manajemen berpikir dan bertindak.

2. Berpedoman Kompas

Berpedoman pada kompas berarti menjadikan arah (direction), tujuan (goal) dan target sebagai petunjuk dan sebagai ukuran. Berarti pula kita perlu meninggalkan gaya hidup yang diatur oleh angka-angka “jam kegagalan” karena angka itu bukan tujuan atau sasaran kita. Anthony Robbin menyarankan, gunakan waktu untuk memikirkan angka kegagalan 10 % saja dan gunakan 90 % waktu untuk berpikir kompas solusi, penyelesaian, kemajuan dan tindakan.

3. Mencari Sumber Keteladanan

Untuk memperluas definisi kegagalan yang sempit, sumber teladan yang kita butuhkan adalah orang yang sudah lebih tinggi prestasinya dari kita; orang yang lebih kuat daya tahannya dari kita. Mark Twin pernah menulis, mendekati orang besar akan menambah keyakinan-diri bahwa kita pun bisa menjadi besar seperti orang itu. Dari saluran ‘energi ketularan’ yang mengalir secara alamiah, teknik perbandingan positif ini (positive comparison game) ternyata telah mampu menolong banyak orang.

4. Pembaharuan Diri
Strategi pembaharuan (self-renewal) yang sudah teruji secara ilmiah dan alamiah adalah menambah 3P (pengetahuan, pengalaman dan pembelajaran). Hal ini seperti yang diakui oleh Gib Atkin bahwa pembelajaran yang kita tambah bukanlah sekedar kekayaan yang kita miliki tetapi juga kekuatan yang membentuk definisi-diri yang baru. Berubahnya isi mindset (pikiran, perasaan dan keyakinan) akan menjadi jembatan berubahnya sikap mental, menjadi jembatan berubahnya sistem tindakan dan menjadi jembatan berubahnya hasil.
5. Membuktikan Keyakinan
Mahatma Gandhi mengakui bahwa tebalnya tembok penjara penjajah masih belum setebal tembok pembatas yang kita bangun sendiri di dalam (self-limiting belief). Meskipun sebenarnya kita punya ketahanan dan bakat untuk sukses di bidang kita tetapi kalau kita sudah tidak yakin, kemungkinan besar kemampuan kita mubazir. Apa yang kita yakini adalah apa yang sering terjadi dan apa yang sudah biasa terjadi adalah apa yang sudah sering kita yakini.

Merobohkan tembok mental semacam itu seringkali tidak cukup dengan mulut atau dengan mengganti keyakinan tetapi juga perlu pembuktian (challenging belief) melalui aksi pribadi. Benarnya materi keyakinan kita sudah dibenarkan oleh orang lain ribuan tahun lalu tetapi itu akan menjadi tidak benar buat kita kalau kita tidak benar-benar melakukan pembuktian sendiri. Jika kita yakin tak ada kesuksesan tanpa kegagalan, ini namanya kebenaran umum yang sudah jelas benar tetapi benar dan tidaknya buat kita tergantung pembuktian kita. Selamat membuktikan!

Tidak ada komentar: