Senin, 01 Oktober 2007

HUKUM NIKAH SIRRI

HUKUM NIKAH SIRRI

Terlebih dahulu kita harus memahami apakah arti dari nikah sirri itu. Pertama, nikah sirri yang didefinisikan dalam fiqih, yaitu nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini ada dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahannya, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu: 7/81). Kedua, nikah sirri yang dipersepsikan masyarakat, yaitu pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi ke KUA. Masyarakat menganggap bahwa pernikahan yang dilaksanakan walaupun tidak dirahasiakan, tetap dikatakan nikah sirri selama belum didaftarkan secara resmi ke KUA.Tentang definisi pertama, dimasalahkan karena sifatnya dirahasiakan, padahal dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Umumkanlah pernikahan.” Maka para ulama berselisih pendapat, apakah i’lan (pemberitahuan) merupakan syarat nikah atau bukan. Pertama, pendapat kebanyakan para ulama; Abu Hanifah, Malik, asy-Syâfi’iy, Ahmad, an-Nakhâ’iy, ats-Tsauriy, dan al-Auza’iy, bahwa i’lan (pemberitahuan) itu sunnah dan adanya saksi itu wajib. Kedua, pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa i’lan (pemberitahuan) itu syarat sah nikah, dan adanya saksi itu sunnah. Menurut beliau, bila nikah tanpa saksi lalu diumumkan pada khalayak manusia, maka nikahnya sah karena maksud dari saksi sudah terpenuhi. Ketiga, pendapat lain dari Ahmad, bahwa adanya saksi dan i’lan (pemberitahuan) menjadi syarat sah nikah. Keempat, pendapat yang nyeleneh yang menyatakan bahwa keduanya bukan syarat sah nikah. Yang menjadi perselisihan, adalah bila nikah telah dihadiri saksi tanpa ada i’lan (pemberitahuan), atau nikah yang ada i’lan (pemberitahuan) tanpa didatangi saksi. Yang lebih mendekati kebenaran, bahwa yang termasuk syarat nikah adalah i’lan (pemberitahuan) walaupun tidak disaksikan dua saksi. Tapi tetap bahwa adanya saksi lebih baik dan dianjurkan. Maka nikah sirri dengan definisi yang pertama tidak dibenarkan, karena tidak ada i’lan (pemberitahuan), padahal termasuk dari syarat sah nikah. Adapun nikah sirri menurut definisi yang kedua tetap sah, karena semua rukun sudah dilaksanakan. Tapi tetap pendaftaran ke KUA mesti dilakukan karena berkaitan erat dengan maslahat kemasyarakatan dan kewarganegaraan. (Shahih Fiqhus Sunnah: 3/149)

Tidak ada komentar: