Rabu, 03 Oktober 2007

MEMAHAMI AYAT KONDISIONAL

MEMAHAMI AYAT-AYAT KONDISIONAL

Perlu diketahui, bahwa asas pembinaan hukum Islam menurut al-Quran adalah al-tadrîj fî al-tasyrî’ (Beik, tt: 17.)

Muhammad ‘Ali ash-Shabuni (Ash-Shabuni, 1971: 390-391) menyatakan bahwa pengharaman riba ditegaskan oleh al-Quran melaui empat tahap. Pertama, berupa peringatan dini agar berhati-hati (QS al-Rûm, 30: 39); kedua, pengharaman secara tersirat (al-talwîh) (QS al-Nisâ’, 4: 130); ketiga, pengharaman secara tegas (al-tashrîh), namun secara juz’iy (sebagian) (QS Âli ‘Imrân, 3: 30); keempat, pengharaman tegas (al-tashrîh) secara mutlak terhadap semua bentuk riba. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas teori tadrîj fî al-tasyrî’ (tahapan penetapan dan pengamalan hukum)

Ta’lîl al-Ahkâm (Menelusuri Kausa-Legis)

‘Illah (Kausa Legis) dapat ditemukan di dalam nash (teks) secara langsung atau tidak. Untuk menemukan ‘illah yang tertulis dalam teks atau disebut langsung di dalam teks tidak terlalu sulit. Tetapi, untuk menemukan yang tidak tertulis dan tidak disebut secara langsung, diperlukan istinbâth (penalaran hukum).

Dalam kasus riba, ada ‘illah yang disebut dalam nash secara langsung, tetapi ada yang tidak. Dalam kasus ini, para ulama memperdebatkan frasa “adh’âfan mudhâ’fah”. Apakah kata itu merupakan ‘illah atau bukan. Bagi ulama yang menyebut bahwa frasa “adh’âfan mudhâ’fah”, berpendapat bahwa sesuatu dapat dikatakan riba ketika (sesuatu itu) benar-benar mengandung unsur “adh’âfan mudhâ’fah” itu. (Ridha, 1376: 113) Sementara itu ada yang berpendapat bahwa frasa “adh’âfan mudhâ’fah” itu sama sekali bukan suatu keterangan mengenai kualifikasi hukum, sehingga dengan demikian tidak berarti bahwa “tambahan” sedikit yang mengandung unsur “adh’âfan mudhâ’fah” dapat dibenarkan. Frasa tersebut hanya menyatakan kebiasaan di zaman jahiliyah, di mana praktik riba itu selalu bersifat “adh’âfan mudhâ’fah”. (Asy-Syaukani, I, t.t.: 380)

Tidak ada komentar: