Senin, 01 Oktober 2007

KONTENSTUALISASI KONSEP JIHAD

KONTEKSTUALISASI KONSEP JIHAD

Di kalangan umat Islam tidak ada kata-kata yang lebih menggetarkan seperti halnya kata-kata “jihâd”. Resonansinya bahkan mungkin terasa lebih kuat lagi justeru di kalangan umat agama lain. Begitu kata-kata jihâd diserukan, lazimnya diiringi pekik “Allâhu Akbar”, maka seakan genderang perlawanan telah ditabuh dan pedang telah dihunuskan.
Berbagai aksi kekerasan mulai dari serangkaian bom bunuh diri di Palestina, perang gerilya di Afghanistan, pembajakan pesawat untuk meledakkan gedung WTC dan Pentagon di Amerika, perang antar golongan di Ambon dan Poso, bom dahsyat di Bali, serta aksi-aksi kekerasan lain di berbagai tempat, semuanya dilakukan oleh para pelakunya atas nama jihâd.
Pertanyaan yang ingin dijawab di sini adalah: Apa sebenarnya konsep jihâd itu? Haruskah jihâd dipahami identik dengan kekerasan? Bagaimana doktrin itu dipahami oleh umat Islam dari waktu ke waktu? Apakah ada ruang untuk memberinya makna baru yang lebih kurang mengerikan, atau bahkan makna yang justeru membebaskan?
Kata jihâd berasal dari kata kerja jâhada yujâhidu, jihâd, secara harfiah artinya “bersungguh-sungguh” atau “sepenuh hati dan all-out”. Demikian pula, kata-kata serumpun yang juga cukup populer, ijtihâd dan mujâhadah. Bedanya, kalau ijtihâd bersungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran; mujâhadah bersungguh-sungguh dalam menghayati kebenaran. Maka jihâd bersungguh-sungguh atau all-out dalam menegakkan kebenaran. Dalam bahasa populernya, jihâd adalah berjuang, mujâhid artinya pejuang.
Ketiga konsep serumpun tersebut (ijtihâd, mujâhadah, jihâd) dalam proses keberagamaan sama-sama penting dan saling melengkapi. Tapi, sebagai aktualisasi dari keberagamaan, jihâd memang istimewa. Apalah artinya kebenaran dalam iman jika hanya di pahami oleh pikiran dan dihayati dalam hati, tapi tidak ditegakkan dalam kehidupan nyata. Dengan jihâd inilah kebenaran dalam iman benar-benar dibuktikan.
Kedudukan tinggi jihâd antara lain dapat dibaca dalam kesaksian sejumlah ayat al-Quran, antara lain:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Adakah kalian mengira akan masuk surga sementara Tuhan belum membuktikan apakah kalian orang yang “berjihâd” dan orang-orang yang bersabar hati” (QS Âli ‘Imrân, 3: 142).
Bahwa jihâd merupakan alat bukti atas kesejatian iman kepada Tuhan yang paling tinggi nilainya ini, antara lain ditegaskan dalam ayat al-Quran:
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
"Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) ber jihâd di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik". (QS at-Taubah, 9: 24).
Kesungguhan jihâd sebagai alat bukti iman ini juga dapat dilihat melalui bentuk pengorbanan yang dipersembahkan.
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihâd di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya”. (As-Shâf, 61: 11).
Juga di gambarkan dalam ayat lain:
لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihâd dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung”. (QS at-Taubah, 9: 88).
Sebagai implementasi dari iman, seharusnya tidak seorang pun dibikin takut, apalagi merasa ngeri, dengan perintah jihâd ini. Bahkan jika jihâd sebagai perjuangan penuh pengorbanan itu ditujukan benar-benar untuk membela kebenaran, seharusnya semua orang akan menyambutnya dengan sukacita. Lebih-lebih bagi meraka yang selama ini mendambakan tegaknya kebenaran dan keadilan, jihâd bisa merupakan ‘ratu adil’ yang didambakan.
Tetapi apa yang terjadi? Kenapa jihâd tiba-tiba menjadi momok? Jihâd mulai dirasakan sebagai momok ketika dipahami identik dengan kekerasan. Persisnya, ketika jihâd didefinisikan sebagai “perang melawan kelompok atau anggota-anggota kelompok yang secara doktrin harus dimusnahkan”. Dengan demikian, maka jihâd tidak diberi pengertian lain kecuali “ tindakan kekerasan fisik yang diarahkan juga kepada musuh yang juga bersifat fisik”.
Bahwa jihâd merupakan aksi keagamaan yang diarahkan terhadap person, individu maupun kelompok tertentu memang ada rujukannya:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS at-Tahrîm, 66: 9).
Seperti kita ketahui, dalam masyarakat pra modern dimana wahyu al-Quran diturunkan, person adalah aktor utama dalam segala aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Pada masa itu, aktor-aktor impersonal dalam ujud institusi maupun sistem dan struktur sosial masih belum disadari benar peranannya. Maka jihâd pun mengambil sasarannya lebih kuat pada objek-objek personal (orang kafir), daripada yang impersonal (sistem atau struktur sosial kekafiran).
Pertanyaannya: haruskah perintah jihâd terhadap person orang kafir dalam ayat di atas dipahami sebagai perintah kekerasan (fisik) terhadap siapa pun yang berbeda keyakinan dengan “kita”? Pertanyaan ini akan ditentukan oleh jawaban atas beberapa pertanyaan berikut: Siapakah dimaksud orang kafir/munafik itu? Dalam semua keadaan bagaimana si kafir harus dijihâdi? Tidak kalah penting: dengan cara apakah jihâd terhadap mereka dilakukan?
Tanpa ijtihad (pengerahan daya nala secara optimal) terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, maka hampir pasti ajaran jihâd akan dijalankan secara konyol dengan akibat yang fatal, bukan hanya bagi orang/kelompok lain, akan tetapi juga terhadap pelaku jihâd itu sendiri. Jihâd tanpa ijtihad itulah sumbe utama kekerasan atas nama agama.
Bukan rahasia, bahwa mereka yang belakang dikenal dunia sebagai pembawa panji jihâd adalah oknum-oknum yang secara keagamaan rata-rata jauh dari terpelajar. Mereka adalah para pemula yang masih jauh dari kemampuan berfikir ijtihâdi. Itulah sebabnya yang tampak pada umumnya adalah militansi yang kasar dan menyedihkan; niat baik untuk membela Islam berakhir justeru pada penistaan nama baik Islam itu sendiri.
Pertanyaan pertama, tentang siapa orang kafir/munafik. Secara harfiah kafir adalah: “orang yang tertutup hatinya untuk menerima kebenaran”. Sementara secara istilah adalah: “orang yang menolak ajaran agama Islam”. Munafik adalah: “orang yang secara lisan menerima ajaran agama Islam, tetapi di belakang mengingkarinya”. Konsep kafir/munafik ada dalam setiap agama. Semua orang adalah kafir jika dilihat dari sudut keyakinan agama yang tidak diimaninya.
Bahwa perintah jihâd (dalam QS at-Tahrîm, 66: 9) di atas diarahkan kepada orang kafir dan munafik memang benar. Tapi apakah jihâd harus berarti memerangi dan menghancurkan sasaran secara fisik? Tidak ada alasan untuk mengidentikan jihâd dengan perang secara begitu saja. Untuk perang, al-Quran memiliki termanya sendiri, yakni qitâl yang secara harfiah berarti membunuh, atau saling membunuh, atau perang.
Dalam al-Quran terdapat sekurang-kurangnya 15 ayat yang menegaskan perintah atau ijin perang terhadap orang-orang kafir/munafik. Ayat-ayat ini diturunkan setelah Nabi s.a.w. berhijrah ke Madinah, dan sikap permusuhan dari kaum kafir Makkah semakin tak tertahankan. Yang harus dipahami, bahwa tidak satu ayat pun yang menegaskan perintah perang untuk mendahului (pre-emptive strike) seperti yang didoktrinkan oleh Presiden Amerika Geroge W. Bush ketika hendak menyerang Irak.
Jelas sekali bahwa perintah, atau lebih tepatnya ijin perang hanya diberikan untuk tujuan pertahanan diri. Doktrin perang sebagai pertahanan jelas sekali dalam ayat-ayat berikut;
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS al-Baqarah, 2 190); atau:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir”. (QS at-Taubah, 9: 36).
Dengan demikian, kiranya jelas bahwa perang dalam Islam hanya dibenarkan untuk pertahanan diri (self-defence), dan diarahkan kepada orang/kelompok yang terlebih dahulu memerangi. Meskipun orang lain jelas-jelas kafir, dalam arti menolak tegas kebenaran yang dibawa Islam, akan tetapi jika mereka tidak menyerang umat Islam, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menyerangnya.
Islam memang tidak mengintrodusir doktrin kepasrahan total kepada musuh seperti dalam Bible, “jika kau dipukul pipi kirimu maka berikanlah pipi kananmu”. Yang diajarkan Islam adalah ijin pembalasan setimpal, atau pengampunan:
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
“… jika seseorang menyerangmu, maka balaslah secara setimpal ...” (QS al-Baqarah, 2: 194).
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. (QS an-Nahl, 16: 126).
Dengan demikian, kiranya jelas bahwa tindak kekerasan terhadap fisik atau perang tidak ada hubungannya dengan faktor keimanan atau kekufuran. Kekerasan dibenarkan oleh Islam hanyalah karena adanya kekerasan yang mendahului. Baik kekerasan yang mendahului itu dilancarkan oleh orang-orang kafir, yang tidak seiman, atau bahkan oleh orang-orang yang seiman.
Sebuah ayat dalam QS al-Hujurât, 49: 9 menyatakan sbb:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” .
Artinya, kekafiran (baca: perbedaan iman pada seseorang/sekelompok orang) semata tidak bisa menjadi pembenar bagi umat Islam untuk menyerangnya. Dalam konteks inilah fuqahâ’ (para ahli fiqih) membagi orang kafir kedalam dua kelompok. Yakni, [1] kafir harbiy, yang memerangi umat Islam, dan kerana itu boleh diperangi, dan [2]dan kafir ghair-harbiy, yakni yang tidak memerangi, dan karena itu juga tidak boleh diperangi.
Orang kafir yang ghair-harbiy ini ada dua kategori: Pertama, disebut kafir musta’min yakni orang non-muslim yang mengikat memohon perlindungan dan jaminan keamanan umat/negara Islam. Meskipun sebelumnya ia tergolong memusuhi, akan tetapi jika meminta perlindungan, maka umat Islam harus memberinya.
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS at-Taubah, 9: 6)
Orang kafir musta’min ini secara teknis disebut juga kafir dzimmiy, artinya yang beda agama/iman akan tetapi berhak untuk mendapatkan perlindungan penuh dari umat beriman. Perlindungan terhadap dzimmi ini bukan hanya terhadap integritas fisiknya, akan tetapi juga keyakinannya. Menegaskan mutlaknya jaminan perlindungan dan keamanan bagi Kafir Dzimmiy ini Nabi mengatakan, “Barangsiapa yang menyakiti orang Dzimmiy, maka sama halnya ia menyakitiku; barangsiapa menyakiti dhimmi, maka akulah yang akan menuntut balas di akhirat nanti” .
Kedua, adalah kafir mu’âhid, yakni orang non-muslim yang mengikat perjanjian dengan umat Islam untuk hidup bersama atau berdampingan secara damai. Berbeda dengan musta’min yang terkesan berada dalam posisi lebih inferior, maka mu’ahid ini berada dalam posisi yang relatif setara. Oleh karena itu hak dan kewajiban mu’ahid dengan umat Islam ini sama, baik sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam posisi kesetaraan inilah, maka kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh kedua pihak adalah hukum yang tertinggi yang mengikat semua pihak.
Orang-orang/umat non-muslim di Madinah dan yang hidup di negara kesatuan Republik Indonesia kita yang mengikat janji untuk hidup bersama secara damai dan saling melindungi satu sama lain sebagai satu umat (bangsa) adalah contoh yang baik bagi kelompok Mu’ahid ini. Dalam konteks ini, perlu diacu ayat berikut:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS al-Mumtahanah, 60: 8).
Jika jihâd tidak identik atau tidak bisa diidentikkan dengan perang melawan orang yang berbeda agama (kafir), maka tentunya harus ditemukan arti lain. Atau jika diartikan dengan perjuangan, maka pertanyaannya: perjuangan untuk apa, atau melawan apa/siapa?
Dalam al-Quran ada lebih dari 50 ayat bicara dan menganjurkan umat Islam ber jihâd. Hanya 3 (sekitar 0.7 %) ayat tentang jihâd yang bisa diartikan perjuangan fisik menghadapi orang—orang kafir/munafik, itu pun dengan catatan, jika mereka melancarkan aksi serupa terlebih dahulu. Selebihnya, yang 46 ayat (90%) hanya mengatakan jihâd fî sabîlillâh, artinya berjuang di jalan Allah, tanpa menyebut kelompok sasaran tertentu.
Artinya, perintah jihâd yang utama haruslah berarti perjuangan menegakkan kebenaran dan nilai-nilai keluhuran universal dan perennial yang mengatasi kepentingan semua golongan agama, ideologi, ras, etnik dan sebagainya. Ini sejalan dengan keyakinan kita bahwa Allah, dengan sifat Rahman-nya, senantiasa merahmati seluruh makhluknya tanpa membedakan agama, keyakinan, ideologi, warna kulit dan suku bangsanya.
Sasaran utama jihâd fî sabîlillâh, dengan demikian, bukan terutama berupa orang atau sekelompok orang, secara fisik, melainkan sistem atau tata kehidupan yang secara hakiki melawan nilai-nilai universal dan perennial tadi, yakni keadilan. Dalam bahasa inklusifnya, sasaran jihâd yang paling mendasar dan universal adalah kezaliman, lawan dari keadilan.

Tidak ada komentar: