Rabu, 03 Oktober 2007

MEMAHAMI DOKTRIN DAN GERAKAN MUHAMMADIYAH

Memahami Doktrin Dan Gerakan Muhammadiyah Dalam Perspektif Dakwah


Senin, 02 Januari 2006
Oleh: Muhsin Hariyanto*


Muhammadiyah bukan sekadar gerakan dakwah dalam arti sempit, tetapi merupakan gerakan Islam multi-wajah yang memiliki misi dan visi yang jelas, selaras dengan maksud dan tujuan pendiriannya. Oleh karenanya, tidak mudah mendefinisikan doktrin dan gerakan Muhammadiyah dalam rentang waktu yang cukup lama. Muhammadiyah akan selalu konsisten dengan pendiriannya, karena semangat purifikasinya, dan sekaligus selalu berubah selaras dengan watak-dinamisnya sebagai gerakan pembaruan Islam

Citra Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah sudah menjadi pemahaman umum di kalangan masyarakat, baik di dalam atau di luar Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri pun menyadarinya, bahwa predikat tersebut bukanlah merupakan asumsi yang salah. Sebab, motif utama pendirian Muhammadiyah – oleh para pendirinya, yang dipelopori oleh KHA Dahlan – adalah untuk menjadi instrumen penting untuk pelaksanaan dakwah Islamiyah secara menyeluruh.


Memahami Arti Dakwah Muhammadiyah

Muhammadiyah memahami kata “dakwah” bukan sekadar melaksanakan kegiatan pengislaman dalam arti formal. Lebih jauh dari itu, Dakwah diartikan sebagai upaya menyeluruh untuk menumbuhkembangkan kondisi ideal dalam takaran “Islam” (I huruf besar menandai “islam” sebagai sebuah kebenaran universal). Sehingga rumusan tujuan Muhammadiyah selalu mengarah pada “pengislaman” dalam arti yang sebenar-benarnya (Islam dalam pengertian esensialnya).

Dari penjelasan di atas, kita menjadi paham kenapa Muhammadiyah tidak membatasi lingkup dakwah sesempit yang dipahami sebagian umat Islam atau seluas pengertian yang – kadang-kadang – tidak terkendali. Karena betapa pun kata dakwah berkaitan dengan: in-put (masukan), proses dan out-put (keluaran) yang terbangun dalam satu kesatuan sistem. Ada di antara umat Islam yang memahami bahwa dakwah adalah sekadar mengembalikan kejayaan Islam (Muslem-Dom) masa lalu; napak-tilas perilaku salaf (mengulangi apa yang pernah dilakukan oleh para pendahulu tanpa sikap kritis) dan revitalisasi Islam masa silam (Islam yang sudah dimakan usia). Di samping itu ada juga yang secara dekonstruktif ingin menampilkan wajah baru Islam yang sama sekali terputus dari mata rantai keberhasilan Islam sebagai sebuah bangunan historis yang sarat makna; mereka adalah kaum muda atau yang bersemangat muda untuk menampilkan Islam Multi-Wajah, Islam Warna-warni, Islam Kontemporer yang tercerabut dari akar sejarahnya. Nampaknya dua kutub ekstrem itu ada dan mulai menjadi fenomena yang secara transparan menampakkan diri di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri. Meskipun, barangkali, fenomena itu hanyalah bagian dari dinamika internal yang – di satu sisi – merupakan reaksi spontan atas anomali-anomali yang ada di dalam tubuh Muhammadiyah, yang dirasakan oleh kaum tua (baca: “konservatif”) yang menganggap “cetak-biru” Islam (versi Muhammadiyah yang diyakini “Benar” [dengan huruf B besar]) sudah benar-benar jadi dan shâlih li kulli makân wa zamân. Di sisi lain merupakan gejala ketidakpuasan kaum muda (baca: hermeneut) Muhammadiyah yang selalu meyakini bahwa tafsir atas Islam tidak akan pernah berhenti dan terus mengalir bersama arus perubahan zaman. Sehingga mereka pun berasumsi bahwa tidak pernah ada “cetak-biru” -- yang secara teologis merupakan sebuah keniscayaan-historis (ada pada setiap komunitas, bahkan juga individu) – harus dijadikan sebagai ideologi sepanjang masa oleh komunitas dan individu di mana pun dan kapan pun. Karena apa yang yang dikatakan “cetak-biru” oleh kaum tua itu tidak kurang dan tidak lebih hanyalah merupakan hasil interpretasi yang serba relatif.

Muhammadiyah, dalam hal ini, seharusnya bersikap arif untuk bersedia mengkamodasi dua kecenderungan tersebut, dan kemudian secara arif juga bersedia untuk melakukan ijtihad untuk memadukan dua kencenderungan tersebut menjadi sebuah gagasan yang secara sinergis dapat dijadikan sebagai panduan untuk pelaksanaan dakwahnya. Karena, bagaimanapun kedua kecenderungan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang ketika keduanya didudukkan secara proporsional akan mnendatangkan kemanfaatan yang cukup signifikan bagi Muhammadiyah sendiri dalam melanjutkan estafeta perjuangan dakwah al-amr bi al-ma’rûf dan an-nahy ‘an al-munkarnya dalam pengertian yang tepat.


Doktrin Dakwah-Muhammadiyah

Berbicara tentang doktrin berarti berbicara tentang normativitas sesuatu. Secara tekstual, dakwah sering diartikan dengan makna: “mengajak” dengan beberapa derivasi maknanya. Dalam hal ini orang pun bertanya: (1) siapa yang mengajak?; (2) siapa yang diajak?; (3) apa pesan-pesan yang disampaikan?; (4) apa medianya?; (5) bagaimana caranya?; dan (6) apa “ultimate-goal”nya?’

Pertanyaan itu sebenarnya bisa dijawab satu-persatu. Tetapi terlalu boros untuk menjawabnya secara panjang lebar. Sebab secara sederhana pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab dengan jelas, ketika kita merujuk pada argumen awal ketika KHA Dahlan berkehendak untuk mendirikan Muhammadiyah. Beliau berkata dengan sebuah kaedah fiqih untuk menjelaskan tafsir QS Âli ‘Imrân, 3: 104: “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib”. Inilah penjelasn para guru saya ketika saya masih sekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Dari penjelasan ini kita paham bahwa setiap upaya dakwah itu memerlukan sarana dan prasarana; dan arti pentingnya sarana dan prasarana bisa sepenting arti yang disaranai. Andaikata dakwah itu dimaknai sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam QS An-Nahl, 16: 125, maka QS Âli ‘Imrân, 3: 104 dapat dimaknai bahwa “dakwah” adalah serangkaian kegiatan manajerial “pengislaman” (dengan huruf “i” kecil, karana sifat relatifnya) yang dikerjakan secara sistemik dan sistematik, dengan serangkaian perencanaan, perorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang matang dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dari penjelasan tersebut, kita tidak perlu memperdebatkan lagi doktrin dakwah Muhammadiyah tersebut. Karena bagaimanapun juga upaya purifikasi yang dilakukan oleh orang (baca: Da’i Muhammadiyah) akan selalu berhadapan dengan dinamika gerakan dan pemikiran seluruh komponen umat Muhammadiyah yang memiliki komitmen untuk ber-Islam dan menemukan “Islam Otentik” dalam bentuk islam-islam yang diinterpretasikan, baik oleh dirinya atau orang lain yang menawarkan “kebenaran” dan diakui “benar” olehnya.


Mengemas Gerakan Dakwah Muhammadiyah
Gerakan Dakwah Muhammadiyah (selanjutnya disebut GDM) tidak boleh berhenti dan pasti niscaya tidak akan pernah berhenti ketika Umat Muhammadiyah sadar akan kewajiban mereka sebagai hamba dan khalifah Allah. Sebagai hamba umat Muhammadiyah memiliki kewajiban tunduk dan patuh kepada-Nya, dan sebagai khalifah mereka berkewajiban untuk menyebarluaskan rahmat Allah kepada semua makhluk Allah di bumi, utamanya umat manusia.

Dakwah sebagai salah satu komponen penting dari tindakan manusia sebagai khalifah haruslah dikemas sedikian rupa, sehingga dapat menawarkan sesuatu yang berarti bagi umat manusia dalam rangka menjadikan dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah secara ideal. Idealita tersebut bisa dijelaskan dengan beberapa ayat al-Quran yang sacara eksplisit maupun implisit menawarkan gagasan ideal tentang: in-put, proses dan out-put yang diharapkan oleh Allah dalam wilayah personal, interpersonal dan sosial.

Dalam wilayah personal, Allah memperkenalkan gagasan “taqwa”, yang ketika sifat itu melekat pada pribadi-pribadi manusia, maka akan lahirlah hamba-hamba dan khalifah-khalifah ideal; dalam wilayah interpersonal Allah menawarkan gagasan “ukhuwwah”, yang ketika sikap itu dimiliki oleh setiap orang dalam relasi interpesonalnya, maka akan lahir hubungan interpersonal yang ideal; dalam wilayah social Allah menjelaskan gagasan “ummatan wâhidah”, sebagai produk ideal dari kesadaran untuk bertakwa pada diri manusia dan berukhuwwah pada diri-diri manusia dalam relasi interpersonalnya. Sehingga muncullah kesadaran untuk bertasâmuh, berta’âwun, bertakâful, yang secara kultural akan menjadi sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua orang. Dan inilah gagasan “Islam” sebagai rahmatan lil ‘âlamîn.

Setelah kita pahami uraian di atas, tentu saja yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita dapat “menerjemahkan Islam Normatif menjadi Islam Yang Menyejarah”. Dan semuanya adalah “tugas kita bersama”

Tidak ada komentar: