Minggu, 21 Oktober 2007

AKAL-AKALAN DALAM BERIJTIHAD

AKAL-AKALAN DALAM BERIJTIHAD

Kata ijtihad berasal dari kata "jahada” yang berarti bersungguh-sungguh, bekerja keras, berikhtiar dan mengusahakan sesuatu sekuat tenaga dan maksimal. (dalam Nihayatul Sul Lil Isnawi 'Ala Minhaji Baidhowi juz:2 hal:289). Adapun ijtihad menurut ta'rif para ulama adalah mencurahkan kemampuan dalam mencapai hukum syar'i, dengan jalan istimbath dari Al-Qur'an dan As-sunnah.(Al mahsul Lil Imam Rozi bag:3 hal:7)

Seseorang disebut “mujtahid” karena ia bekerja keras seoptimal mungkin untuk memahami nash-nash Al-Qur'an dan As-sunnah sambil mengaplikasikannya terhadap segenap fenomena sosial, ekonomi, keluarga, budaya dan politik yang senantiasa muncul dari waktu ke waktu.

Sayangnya, kata ijtihad sering dipahami keliru oleh para pengusung Sekularisme Plurarisme dan Liberalisme [disingkat Sipilis]. Menurut mereka, pintu ijtihad pada semua bidang tetap terbuka, termasuk dalam persoalan illahiyat (teologi). Dalam buku "Kiprah dan Bahayanya" (editing Abu Anisah) seorang aktifis JIL mengatakan, ijtihad atau yang mereka sebut penalaran rasional terhadap teks-teks keislaman adalah merupakan prinsip utama. Karena dengan itu dinilai Islam akan tetap dapat bertahan terus dalam segala cuaca.

Padahal istilah ijtihad digunakan oleh para ulama ahli hukum saat memecahkan hukum yang dalilnya dengan jelas belum ditemukan didalam Al-Qur'an dan As-sunnah. Hal ini berdasarkan riwayat dari hadist Nabi: “Saat Mu'adz Bin Jabal akan diutus Nabi ke Yaman, Nabi bertanya kepada Mu'adz. Ringkasnya riwayat ditanyakan: dengan apa memutuskan suatu persoalan. Oleh Mu'adz dijawab: dengan kitab Allah. Lanjut Nabi: Apabila tidak didapatkan dalam kitab Allah. Jawab Mu'adz: Dengan sunnah Nabi. Tanya selanjutnya: Apabila pada keduanya tidak didapatkan, lalu dengan apa? jawab Mu'adz: Saya akan berIjtihad dengan Akalku."

Dalam hadist lain disebutkan: "Apabila seorang hakim berijtihad, lalu benar Ijtihadnya, maka baginya memperoleh dua pahala. Sedang jika salah, maka baginya mendapat satu pahala" (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan dua hadist diatas maka, ijtihad itu berlakunya hanya dibidang hukum dan tidak berlaku dibidang illahiyat (teologi). Perlu dipahami bahwa ijtihad dalam bidang hukum berdasarkan hadist Nabi apabila benar maka pelakunya akan mendapat dua pahala, sedang apabila salah mendapat satu pahala. Lalu apakah ijtihad dibidang illahiyat juga demikian? Ternyata rumusnya berbeda. Dibidang illahiyat rumusnya, kalau tidak benar mestilah sesat.
Rusaknya ijtihad

Ringkasnya lapangan ijtihad ada dua macam. Dalam perkara syari’ah yang tidak ada nashnya sama sekali dan dalam perkara syari’ah yang nashnya ada tapi tidak qoth’I (tidak ada peluang untuk berijtihad mengenai sesuatu yang ada nashnya yang bersifat qoth’i). (Ilmu Ushul Fiqh Oleh: Prof Abdul Wahab Khalaf Hal: 340).

Menariknya, kalangan JIL yang memaksudkan ijtihad dengan maksud yang berbeda. Karena menurut JIL ijtihad hanya dikesankan untuk mengadakan kegiatan berpikir tentang ajaran Islam. Tegasnya, disaat dalil Al-Qur'an dan As-sunnah ada dan cukup tegas, mereka masih tetap melakukan ijtihad. Jadi istilah ijtihad dirusak dan dipakai secara tersamar.

Sebagai contoh, Abd Moqsith Ghazali, seorang pentolan aktivis JIL dalam makalah yang berjudul “Ijtihad, Upaya Menembus Kawasan Tak Terpikirkan” membuat kaidah yang bisa dikatakan lucu. Ia mengutip, “in khâlafa al-`aql wa al-naql, quddima al-`aqlu bitharîqi al-takhshîsh wa al-bayân.”

Artinya, ketika terjadi ketegangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang dimenangkan adalah pertimbangan akal dengan jalan takhshîsh (spesifikasi ajaran) dan bayân (penjelasan rasional).

Kaidah ini sangat bertentangan dengan pengertian dasar ijtihad yang telah dibuat oleh para ulama berabad-abad lamanya. Jelas sekali, ijitihad berlaku jika tidak ada nash yang jelas dari Al-Qur’an dan As-sunnah dan itupun harus mengambil istimbath (kesimpulan) dari dalil-dalil yang ada. Jadi sangat ngawur bila ijtihad digunakan untuk menafikan hukum dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Nampaknya sang penulis belum memahami arti ijtihad, namun anehnya sudah berlagak sebagai ulama besar abad ini yang kemudian membuat kaidah ijtihad.
Syarat Mujtahid

Seorang mujtahid ternyata tidak cukup hanya bermodal intelektualisme yang hebat atau nyali yang tinggi saja. Namun diperlukan syarat-syarat ketat. Abdul Wahab Khalaf menyebut ada empat kriteria untuk menjadi mujtahid:
• Pertama: Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari segi sintaksis dan filologinya (cara-cara dalalah, susunan kalimatnya dan satuan-satuan katanya).
• Kedua: Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an. Maksudnya haruslah mengetahui hukum-hukum syar’iyyah yang terkandung didalamnya dan ayat-ayat yang menyebutkan hukum-hukum tersebut.
• Ketiga: Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tantang As-sunnah. Artinya mengerti hukum-hukum syara’ yang ada dalam As-sunnah Nabawiyah, sehingga ia mampu menghadirkan hukum-hukum setiap bagian dari bagian-bagian perbuatan mukallaf yang ada dalam As-sunnah, dan mengerti tingkatan sanad sunnah itu dari segi keshahihan atau kelemahan riwayatnya.
• Keempat: Hendaknya ia mengerti segi-segi qiyas. Misalnya mengerti ’illat dan hikmah pembentukan syari’at yang dengan itu disyari’atkan beberapa hukum. (Ilmu Ushul Fiqh Oleh: Prof Abdul Wahab Khalaf Hal: 340-342).

Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa menjadi mujtahid tidaklah mudah. Tak semua orang bisa dengan dengan mudah mendapatkan gelar ini. Namun ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Bila ada yang nekat melakukan ijtihad terhadap yang sudah ada nash qoth’inya, dan hasil ijtihadnya itu menyelisihi nash, maka bukan sekadar ijtihadnya itu tidak berlaku, tetapi berarti menentang nash. Sebagaimana hakim memutuskan perkara dengan sengaja menyelisihi undang-undang, maka bukan hanya batal keputusannya itu, namun bahkan sengaja melanggar undang-undang. Karena itu kita patut pertanya pada diri sendiri, "Pantaskah kita menyandang gelas mujthid?"

Ijtihad dipakai takkala tak ada dalil dari Al-Qur'an ataupun As-sunnah, walau demikian ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan keduanya. Alias fondasi utama dalam berIjtihad adalah tetap Al-Qur'an dan As-sunnah. Jadi sangat bertolak belakang apabila ijtihad dimanfaatkan untuk menghantam Al-Qur'an dan As-sunnah itu sendiri sebagaimana banyak dipakai kalangan liberal. Hal seperti itu bukan ijtihad sebagaimana yang diajarkan Islam tapi ini adalah penghancur agama dengan berkedok mujtahid.

Tidak ada komentar: