Senin, 01 Oktober 2007

IDEOLOGI TRANSNASIONAL

IDEOLOGI TRANSNASIONAL

“The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Philip K. Hitti, History of Arab).
Ideologi transnasional kembali dipersoalkan. Kali ini yang dimaksud adalah ideologi yang berasal dari Timur Tengah seperti yang diemban Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Mujahidin dan Al-Qaeda. Ideologi transnasional dipersoalkan antara lain karena: (1) tidak bersumber dari akar budaya Indonesia sehingga berbahaya bagi keutuhan bangsa; (2) menggunakan Islam sebagai ideologi politik, bukan sebagai way of life (jalan hidup); (3) Islam adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan; (4) mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pernyataan pertama perlu dipertanyakan. Akar budaya Indonesia mana yang dimaksud? Sebab, hingga kini belum ada definisi yang jelas tentang budaya asli Indonesia; apakah animisme, Hindu, Budha, Islam atau kapitalistik seperti yang terjadi sekarang. Secara jujur, sulit untuk mengklaim budaya asli Indonesia. Indonesia dengan posisi strategisnya telah bersentuhan dengan semua ideologi dan budaya dunia. Sebutkan satu ’tradisi’ di Indonesia, pasti memiliki akar ke budaya luar. Sistem politik kita juga sama; tidak asli Indonesia. Demokrasi, parlemen, bahkan kata republik dalam NKRI saja bukan asli Indonesia, tetapi berasal dari Barat. Sama halnya dengan istilah musyarawarah, rakyat, atau dewan; berasal dari bahasa Arab yang berhubungan erat dengan Islam.
Masuknya Islam ke Indonesia tidak lepas dari watak ’transnasional’ Islam. Pada tahun 808 H (1404 M) datang sembilan ulama utusan Daulah Khilafah Ustamaniyah ke Tanah Jawa melalui kesultan Samudera Pasai untuk berdakwah. Tahun 1421-1436, datang ulama ’transnasional’ ke Jawa menggantikan utusan sebelumnya yang wafat. Ulama tersebut adalah Sayyid Ali Rahmatullah dari Samarkand, Sayyid Ja‘far Shadiq (Sunan Kudus) dari Palestina, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Palestina, cucu Raja Siliwangi Pajajaran. Watak transnasional ini wajar saja, mengingat Islam memang agama bagi seluruh manusia (rahmat lil ‘alamin).
Organisasi Islam di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari ciri ’transnasional’-nya. Sebagian pendiri organisasi Islam di Indonesia belajar Islam dari Timur Tengah. Pendiri NU KH Hasyim Ash‘ary dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sama-sama belajar di Timur Tengah. Bisa dipahami, sebab pusatnya Islam sejak kelahirannya hingga zaman keemasan Islam memang ada di Timur Tengah. Jadi, menolak pemikiran Islam hanya karena berasal dari luar, apalagi Timur Tengah, adalah ahistoris.
Pertanyaan berikutnya, apakah budaya Indonesia dijamin benar? Tentu, tidak bisa dikatakan bahwa budaya perang antarsuku di Papua, budaya carok di Madura baik, budaya kemusyrikan menyembah leluhur, atau budaya Indonesia sekarang yang kental dengan corak kapitalistik itu baik. Karena itu, yang harus dipersoalkan bukanlah asalnya, namun apakah ideologi itu benar atau salah, dari manapun asalnya.
Tudingan bahwa gerakan Islam menjadikan agama sebagai ideologi bukan way of life, juga penting untuk dikritik. Bukankah ideologi itu adalah way of life? Justru fungsi terpenting ideologi itu adalah way of life (jalan hidup). Memang, ada wacana yang berkembang, apakah Islam itu sekadar agama ritual atau ideologi. Kalau yang dimaksud dengan agama itu hanya berisi ajaran tentang ketuhanan, ibadah ritual, dan moralitas, jelas Islam tidak seperti itu. Ajaran Islam berisi berbagai aspek kehidupan; dari hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung (akidah dan ibadah ritual/mahdhah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, berpakaian, minuman, makanan) hingga hubungan manusia dengan sesamanya (politik, ekonomi, pendidikan, sosial, negara ).
Di dalam al-Quran, di samping ada perintah shalat, juga ada perintah untuk menaati ulil amri/penguasa yang merupakan aspek politik; di samping kewajiban shaum Ramadhan, ada kewajiban jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah); di samping kewajiban zakat, ada juga keharaman riba yang jelas berhubungan dengan aspek ekonomi. Islam juga mengenal secara jelas dan rinci hukum qishash bagi pembunuh, cambuk/rajam bagi pezina, dan potong tangan bagi pencuri. Demikian seterusnya. Karena itu, kalau yang dimaksud ideologi itu adalah sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan dengan berbasis pada pandangan hidup tertentu, maka Islam adalah ideologi.
Pengakuan Islam bukan sekadar sebagai agama ritual juga muncul dari pemikir dan sejarahwan Barat. Philip K. Hitti menyebut Islam sebagai agama, negara, dan budaya. “The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Philip K. Hitti, History of Arab). Hal yang sama disebut oleh Joseph Schact, bahwa ajaran Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dia menulis, “The ideal of Islam is the rule of religion over all of life; as a religion as at the same time the Weltanschauung and way of life its believers.” (Joseph Schact; Encylopedia of Social Sciences).
Pemisahan secara mutlak gerakan keagamaan dan politik, apalagi kemudian membenturkan keduanya, adalah cara pandang sekular dan tidak pas dinisbatkan pada Islam. Kalau aktivitas mengoreksi penguasa yang zalim merupakan aktvitas politik, jelas Islam merupakan gerakan politik. Islam bahkan mewajibkan umatnya untuk mengoreksi penguasa yang zalim. Kalau aktivitas Rasulullah saw. mendirikan sistem Islam di Madinah dan menumbangkan sistem Jahiliah yang ada merupakan aktivitas politik, maka Islam juga merupakan gerakan politik. Karena itu, politik adalah bagian dari ajaran agama Islam itu sendiri. Dengan demikian, gerakan Islam transnasional lebih tepat disebut sebagai gerakan politik yang berdasarkan pada agama (Islam).
Dalam konteks ini, Hizbut Tahrir memang merupakan gerakan politik yang berasaskan Islam—sebagai sebuah ideologi transnasional—yang bertujuan untuk menegakkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Sebab, selain karena Islam telah mewajibkannya, syariah Islam juga merupakan solusi atas berbagai persoalan bangsa ini. Karena itu, perjuangan semacam ini sah-sah saja, bahkan harus didukung. Justru, yang harus ditolak adalah ideologi transnasional di luar Islam, yakni Kapitalisme dan Sosialisme/Komunisme, yang telah terbukti menimbulkan berbagai kerusakan di dunia ini. [Farid Wadjdi]

Tidak ada komentar: