Rabu, 03 Oktober 2007

MEMAHAMI MULTI TAFSIR ISLAM

MEMAHAMI KESATUAN ISLAM
DAN KERAGAMAN TAFSIR ATAS ISLAM

Satu Islam, Multi-Tafsir. Itulah pernyataan yang paling mungkin dikatakan untuk membedakan antara Normativitas Islam dan Historisitasnya. Kita akui, bahwa kita bertuhan “satu” (Allah), bernabi “satu” (Muhammad saw.), berkitab suci “satu” (al-Quran), namun siapa yang mampu menjamin hanya akan ada satu “Tafsir (atas) Islam” dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah membuktikan bahwa “kesatuan-Islam normatif”, tidak pernah mewujudkan “kesatuan-Islam historis”.

Keberagamaan muslim dan umat Islam, baik dalam wilayah pemikiran dan aksi di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia, semakin tampak beragam seiring dengan proses perubahan sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagian muslim dan umat Islam ada yang berkelompok untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar berkehidupan secara formal-skriptural. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang bersikap moderat, yang memperjuangkan secara substantif nilai Islam melalui jalur cultural, seperti melaui jalur pendidikan dan dakwah.

Namun, bersamaan dengan berkembangnya ragam pemikiran dan aksi muslim dan umat Islam, juga muncul sikap-sikap keberagamaan – yang dalam hal tertentu dapat dipandang – eksklusif. Muslim dan umat Islam yang termasuk dalam species ini cenderung “mudah” menghakimi kelompok lain. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi, sikap seperti itu justeru ditampilkan oleh kalangan Islam mayoritas. Ada pandangan “absurd” terhadap asumsi bahwa ragam gerakan Islam bukan sebagai sebuah proses dinamis-dialektik antara pemahaman agama dengan realitas sosial yang terus berubah. Acap kali muncul tuduhan terhadap sebuah pemikiran dan gerakan keagamaan tertentu sebagai penyimpangan dan ancaman terhadap stabilitas kehidupan keislaman oleh sekelompok orang yang merasa paling benar, bahkan seolah-olah mewakili kebenaran Tuhan. Dan pada saat tertentu bahkan tampil – secara arogan – sebagai tuhan-tuhan baru di samping Tuhan yang memeliki kebenaran absolut. Mereka seolah-olah tidak sadar bahwa kebenaran yang mereka miliki adalah (juga) “kebenaran” relatif, sebagaimana kebenaran-kebenaran yang dimiliki oleh muslim dan umat Islam yang lain.

Sebagaimana yang sering kita saksikan, tiba-tiba saja muncul sekelompok orang -- yang mengatasnamakan umat Islam – yang menilai pemahaman orang lain sebagai penyimpangan dan penyesatan akidah. Tidak jarang pula mereka menvonis “kafir” dan menghalalkan darah sesama muslim dan umat Islam sendiri, hanya karena perbedaan tafsir atas Islam yang mereka pahami. Lebih dari itu, mereka – bahkan dalam kurun waktu tertentu – pernah meminta intervensi pemerintah untuk membekukan seluruh kegiatan pemikiran dan dakwah yang dianggap menyimpang itu. Fenomena seperti itu, secara sosiologis, bisa dipandang sebagai salah satu bentuk gejala otoritarianisme. Kelompok tersebut secara sadar telah melakukan hegemoni dan monopoli tafsir (atas) kebenaran IIslam. Mereka tidak menyadari bahwa munculnya pemikiran dan aksi baru tersebut – tidak kurang dan tidak lebih --merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap keberagamaan dan institusi agama lama yang telah “mapan”.

Dengan kata lain, bisa dipahami bahwa dalam masyarakat kita telah tertanam kesadaran bahwa “beragama yang benar” adalah yang sesuai dengan apa yang telah diwariskan oleh para pendahulunya. Keberagamaan tidak dilihat sebagai proses pencarian menuju kebenaran yang sejati. Keberagamaan juga tidak dikaitkan dengan proses dialektik antara pemeluk agama dengan keragaman persoalan yang mengitarinya.

Memang, bila kita mau bercermin pada sejarah, bahwa pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dan gerakan keagamaan “yang baru” – tanpa dukungan muslim mayoritas – selalu dianggap sebagai gejala yang “aneh” di masyarakat mana pun, dan kehadiran mereka sering kali hanya dianggap berguna oleh sekelompok “minoritas” kritis di kalangan komunitas “beragama” apa pun, di mana pun dan kapan pun dalam sebuah dunia yang sedang berubah dan mengalami masa transisi. Di samping itu, pemikiran dan aksi “minoritas” biasanya hanya efektif dapat mengenalkan “kebaruan” yang bermakna bagi kalangan anggota mereka daripada komunitas beragama mayoritas. Secara sosiologis sebagian dari gerakan-gerakan baru dalam komunitas beragama apa pun, cenderung memilih “eksklusif”, meskipun tetap berupaya mengenalkan jatidri dan gagasan-gagasan baru mereka kepada siapa pun, di mana pun dan kapan pun, dan selalu menikmati keberbedaan mereka dengan corak keberagamaan mayoritas. Sikap keberagamaan ini sedikit banyak akan mempengaruhi keseimbangan sosial yang diciptakan oleh budaya keagamaan mayoritas yang telah mapan. Atas dasar sikap keberagamaan seperti itu, kelompok Islam minoritas dituduh menyimpang dari ajaran agama Islam dan kadang-kadang – dalam banyak hal -- mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.

Satu Islam-Multi Tafsir

Setiap muslim seharusnya sadar, bahwa kesatuan Islam tidak setiap saat dan tempat mengharuskan kesatuan “tafsir” (atas) Islam. Dalam konteks ini, seharusnya setiap muslim dan umat Islam dapat memandang – secara cerdas -- doktrin Islam tentang keragaman tafsir atas, sebagaimana ketika mereka meyakini kebenaran “Islam”itu sendiri sabagai satu kesatuan yang tidak terpilah-pilah. Al-Quran secara tegas mengeritik sikap arogan dan intoleran sekelompok muslim yang “sama sekali” menafikan tafsir muslim dan umat Islam lain yang berbeda dengan “manhaj dan produk penafsiran mereka:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS al-Baqarah/2:148).
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Yunus/10: 99).

Perlu diketahu, bahwa al-Quran sangat menghargai perbedaan pemahaman dalam beragama. Dalam konteks ruang dan waktu, pemahaman itu tetap memiliki peluang kebenaran. Sebagaimana isyarat Allah dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS al-Baqarah/2: 62)

Ayat di atas mengisyaratkan perlunya kita memahami sebuah atau serangkaian pemikiran dan gerakan keagamaan, baik yang bersifat pribadi maupun kolektif. Kebenaran substantif setiap pemikiran dan gerakan keagamaan -- pada hakikatnya – lebih tepat (terletak) pada komitmen moral (keimanan dan amal shaleh) setiap pemeluknya daripada format dan simbolnya. Sehingga kita kita tidak perlu lagi memperdebatkan format-format dan simbol-simbol yang kadang-kadang tidak menyentuh sustansinya. Meskipun tidak (juga) dapat dikatakan bahwa format-format dan simbol-simbol tersebut sama sekali tidak penting. Adakalanya format-format dan simbol-simbol tersebut diperkukan untuk menyatakan identitas, tanpa harus kehilangan makna substantifnya.

Pertumbuhan dan perkembangan keragaman penafsiran (atas) Islam yang dilandasi oleh semangat keimanan dan intelektual, yang antara lain bewujud tafsir atas teks al-Quran dan Hadis – dapat dipahami -- merupakan respons terhadap perubahan sosial. Keragaman pemahaman keagamaan merupakan sunnatullah yang tak mungkin terbantahkan dan mustahil pula kita lawan dan hindari. Respon positif dan konstruktif yang dapat dan seharusnya selalu kita lakukan terhadapnya adalah: “menghargai, mengakui dan berterimakasih.

Sudah saatnya kita menyayangkan tindakan “kekerasan” -- atas nama kebenaran -- terhadap kelompok keagamaan minoritas yang pada saat tertentu memiliki tafsir (yang) berbeda dengan tafsir muslim dan umat Islam mayoritas, yang sudah dianggap “mapan” dan mendapatkan pengakuan publik. Kekerasan atas nama kebenaran yang mengabaikan keragama “tafsir Islam” sudak selayaknya dihentikan. Pengafiran (at-takfîr), intimidasi dan penghakiman terhadap kelompok minoritas yang secara kebetulan memiliki perbedaan tafsir atas Islam dengan kelompok mayoritas muslim, padahal mereka memiliki sejumlah argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaiknya segera dihentikan. Kecuali billa terdapat sejumlah bukti yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa kelompok minoritas ini benar-benar mengganggu tatanan-sosial, utamanya “tatanan-siosial umat Islam”, dan cenderung melakukan tindakan destruktif -- yang berakibat buruk bagi kepentingan Islam dan umat Islam. Kita selamanya harus sadar, bahwa keberadaan suatu bentuk pemikiran dan aksi komunitas muslim harus dihargai dan kehadirannya sama sekali tidak memerlukan pengakuan dari siapa pun, termasuk kelompok mayoritas umat Islam di mana pun dan kapan pun. Mereka hanya memerlukan persyaratan: “memiliki akuntabiltas vertikal dan horisontal”.

Di samping itu, perlu dimaklumi bahwa dalam sejarah pelarangan terhadap berbagai pemikiran dan gerakan keagamaan -- dalam kenyataannya -- tidak pernah efektif. Sebab, hal ini menyangkut keyakinan pribadi seseorang. Keyakinan tidak mungkin ditaklukkan dengan kekuasaan minoritas atau kekuatan mayoritas. Hal ini merupakan prinsip kebebasan ekspresi keagamaan atau penafsiran terhadap ajaran agama. Pemaksaan dalam dalam konteks tafsir (atas) agama, termasuk di dlamnya “Islam”, adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri dan secara diametral juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang memilki kemerdekaan untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya. Penganut paham keagamaan yang berbeda dengan paham mayoritas umat Islam merupakan hak yang harus dihormati. Dalam Islam, keberagamaan menuntut keikhlasan. Dan keikhlasan hanya akan tumbuh bila setiap muslim dan umat Islam memiliki freedom of choices (kebebasan untuk memilih) tafsir atas Islam mana pun, kapan pun, di mana pun, dari dan oleh siapa pun. Dengan kata lain, dapat dinyatakan juga bahwa setiap bentuk pemebelengguan terhadap kebebasan untuk memilih corak keberagamaan atau kemerdekaan beragama, sedikit atau banyak akan menimbulkan kemunafikan, yang justeru akan mengurangi nilai keislaman setiap muslim atau umat Islam itu sendiri.

Islam menawarkan kebenaran hakiki yang bersifat “tunggal”, namun menjajakan pernik-pernik tafsir atasnya yang beragam. Islam dapat diumpamakan seperti sebuah toko swalayan, yang menawarkan seperangkat barang berkualitas unggul yang memungkinkan para pemeluknya memilih barang apa pun yang diperlukannya, dalam konteks yang berbeda-beda. Sehingga para pemeluknya diharapkan menjadi manusia-manusia yang cerdas untuk memilih barang yang paling berkualitas, yang diperlukan untuk dirinya dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. Diharapkan, dengan pilihan-pilihan cerdas atas dasar tafsir (atas) Islam, akan tercipta Muslim-muslim dan umat Islam yang berkualitas, saling memahami dan memiliki sikap tasamuh yang tinggi. Bukan Muslim-muslim dan umat Islam pecinta konflik dan saling menghujat. Beragama secara cerdas, menawarkan semangat egaliter, humanis dan kompetitif dalam kebaikan, selaras dengan semangat al-Quran: “Fastabiqû al-Khairât”.

Tidak ada komentar: