Jumat, 05 Oktober 2007

KRISIS ETIKA REKAYASA

Krisis Etika Rekayasa

Apa yang paling menyesakkan dada dari sebuah tragedi yang memakan biaya sosial ekonomi yang luar biasa? Jawabannya adalah jika tragedi tersebut dapat dihindari. Inilah yang sedang kita saksikan bersama dalam peristiwa blow out lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Ratusan keluarga harus meninggalkan tempat tinggal mereka dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Mereka harus kehilangan sawah, ternak, dan barang berharga lainnya yang mungkin tidak seberapa tetapi sangat berarti bagi mereka.
Kerusakan ekosistem yang mencapai titik irreversible menambah daftar ongkos yang harus ditanggung tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk jangka panjang ke depan. Beberapa skenario telah dilakukan oleh pihak Lapindo dan pemerintah untuk menghentikan luapan lumpur panas tersebut, tetapi sampai hari ini hanya kegagalan yang menjadi cerita. Kemungkinan terburuk adalah menunggu luapan lumpur panas itu berhenti secara alamiah. Kapan itu terjadi?
Bencana teknologi
Mengapa bencana tersebut terjadi? Seperti ditulis Rudi Rubiandini (Kompas, 19/8), ada dua penjelasan. Pertama karena adanya mud volcano yaitu keluarnya lumpur dari bawah tanah. Kedua adalah fenomena UGBO di mana fluida bawah tanah seperti air, minyak, atau gas keluar tanpa melalui lubang pengeboran. Apapun yang terjadi, menggunakan penjelasan ilmiah semata-mata akan membawa kita pada kesimpulan bahwa banjir lumpur di Sidoarjo adalah sebuah bencana alam.
Memang alam adalah faktor utama dalam banjir lumpur di Sidoarjo. Tetapi alam tidaklah bekerja sendiri di sini. Ada faktor manusia yang memungkinkan alam menunjukkan kekuatannya. Aktivitas pengeboran, teknik apa yang digunakan, serta lokasi pengeboran adalah keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia. Seperangkat keputusan inilah yang menjadi titik awal terjadinya bencana. Dari sudut pandang ini, tragedi lumpur panas Sidoarjo bukanlah bencana alam, tetapi bencana teknologi yang terjadi karena kegagalan pengoperasian sistem teknologi.
Seperti yang dipaparkan James Chiles dalam Inviting Disaster: Lessons from the Edge of Technology (2002) banyak kasus kegagalan teknologi yang tidak hanya merugikan secara ekonomis tetapi juga menelan ribuan nyawa. Tidak jarang bencana teknologi terjadi hanya karena satu kesalahan kecil yang tadinya dianggap remeh. Kasus Three Miles Island di Pennsylvania, Union Carbide di Bhopal, dan kebocoran nuklir di Chernobyl adalah contoh-contoh mengerikan bagaimana teknologi mampu menjadi mesin pembunuh massal. Bencana lumpur Lapindo memiliki karakter yang sama karena berawal dari keputusan teknis yang sepele namun ceroboh.
Etika rekayasa
Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari kecerobohan teknis yang berujung pada bencana lumpur Lapindo adalah tidak adanya etika rekayasa dalam penerapan teknologi di masyarakat. Dalam bukunya Engineering Ethics: Concepts and Cases (2005), Charles Harris menekankan pentingnya etika bagi ahli rekayasa karena peran mereka pada posisi pengambilan keputusan yang melibatkan kepentingan publik. Etika rekayasa mencakup penerapan standar-standar etika dalam pemilihan, perencanaan, penerapan, dan pengawasan teknologi untuk mencegah terjadinya kegagalan teknologi yang merugikan kepentingan publik.
Kasus lumpur Lapindo menunjukkan ketiadaan etika rekayasa dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pengeboran di Sidoarjo. Jika kita runut ke belakang, krisis etika rekayasa tidak hanya terjadi pada kasus Lapindo. Robohnya jembatan layang Slipi, bocornya amonia di Petrokimia Gresik, dan jebolnya jalan tol Cipularang adalah sedikit contoh dari daftar panjang malapraktek para ahli rekayasa kita. Buta etika seperti ini adalah konsekuensi dari sistem pendidikan rekayasa kita yang kering akan pemahaman nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
Institusi pendidikan seperti ITB, UI, ITS, dan lainnya menghasilkan ahli-ahli rekayasa berpikir kaku yang hanya berorientasi pada kebutuhan industri tanpa pernah peduli implikasi dari teknologi yang mereka gunakan di masyarakat. Organisasi profesi rekayasa pun cenderung hanya menjadi tempat mencari proyek dan menjadi pelayan para pemilik modal. Kepedulian pada dampak sosial, budaya, dan lingkungan dari apa yang dilakukan oleh para ahli rekayasa adalah sebuah barang mewah. Besarnya kerugian sosial ekonomi dari kasus Lapindo mestinya menjadi momentum untuk berpikir ulang makna dan fungsi rekayasa/teknologi di masyarakat. Diperlukan suatu standar etika bagi para ahli rekayasa dalam membuat keputusan agar bencana teknologi dapat dihindari sejak dini.
Saat ini pemerintah dan Lapindo sebagai pihak yang paling bertanggung jawab memusatkan seluruh perhatian dan energi pada bagaimana menghentikan semburan lumpur panas Sidoarjo. Di saat yang bersamaan kita juga harus mencari letak kesalahan dari bencana lumpur tersebut. Dalam hal ini, kita tidak hanya mencari individu-individu yang harus bertanggungjawab, tetapi juga memahami mengapa individu-individu tersebut melakukan kesalahan.
Ketiadaan etika rekayasa adalah salah satu faktor yang mesti menjadi pelajaran penting agar kasus seperti lumpur Lapindo tidak terulang kembali. Masyarakat kita sudah terlalu letih dengan berbagai bencana alam. Karena itu, para ahli rekayasa kita harus belajar banyak agar tidak menambah beban melainkan menjadi pelayan masyarakat.

Tidak ada komentar: