Jumat, 05 Oktober 2007

SAATNYA KITA BERHIJRAH

SAATNYA KITA BERHIJRAH

Oleh: Muhsin Hariyanto

PERUBAHAN itulah makna substansial “hijrah”. Hijratur Rasûl bukanlah sekadar migrasi tanpa isi. Tindakan ini merupakan bagian terpenting dari episode dakwah Nabi Muhammad saw.. Sayang, masih ada sebagian dari kelompok umat Islam yang sering terjebak pada pemaknaan simboliknya: “berpindah dari suatu tempat ke tempat lain”. Meskipun pemaknaan seperti itu bukannya seratus persen “salah”, karena ternyata Nabi Muhammad saw. pun melakukannya. Namun, pemaknaan itu akan menjebak umat Islam pada satu pemahaman yang sangat menyimpang terhadap misi kerisalahan dan keumatan Nabi saw..
Pertanyaan radikalnya: “benarkah ketika Nabi saw. berhijrah hanya melakukannya sekadar untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lain?” Nah, kalau jawabnya adalah: “Ya!”, tentu saja tidak akan pernah ada perubahan sosial sehebat waktu itu dan masa-masa kemudian. Dan lebih jauh dari itu, tidak akan pernah terjadi proses transformasi, modernisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, renaissance, dan reformasi di tubuh umat Islam. Dan, hingga kini, umat Islam tidak akan pernah keluar dari status quo.
Hijrah merupakan sebuah simbol perubahan yang memberi motivasi kuat bagi umat manusia untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Inilah semangat hijrah Nabi saw. yang sesungguhnya. Selaras dengan firman-Nya: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.“ (QS an-Nisâ’, 4: 10 dan QS an-Nahl, 16: 41)
Peristiwa hijrah Nabi saw. dari Makkah (Mekah) ke Yatsrib (Medinah) itu bukanlah suatu kejadian yang dsengaja untuk “tinggal gelanggang colong playu“. Mustahil, seorang yang berjiwa besar seperti Nabi saw. “lari dari tanggung jawab“, meskipun telah "sempurna" kekejaman kaum kafir Quraisy dalam memusuhi Nabi saw. dan pengikutnya. Ia sadar, bahwa inilah risiko dari setiap perjuangan. Menjadi ghurabâ’ (kelompok manusia yang teralinasi) adalah risiko yang paling mungkin dihadapi oleh setiap pejuang kebenaran, di tengah sebuah sistem sosial yang tengah menikmati kerusakan.
Nabi saw sadar bahwa perubahan memang harus dilakukan, sesegera mungkin. Ketika orang lain belum mampu mengubah keadaan, maka dialah yang harus berubah dan mengubah, be a leading and enlightening person (menjadi manusia yang unggul dan mencerahkan), dan menyusun rencana perubahan dari lingkungan yang lebih kondusif, dari Mekah yang kurang kondusif ke Medinah yang lebih kondusif. Hijrah Nabi saw. yang ditandai dengan – antara lain -- penggalangan ukhuwuah Islamiyah antarkelompok yang memiliki agenda perubahan yang sama, Muhajirin dan Anshar. Dari “Medinah“lah Nabi saw. dan umatnya melakukan transformasi sosial dan budaya menuju pembentukan “masyarakat madani“, khairu ummat, ummatan wasatha dan syuhadâ’ ’alâ an-Nâs, dengan modal pribadi-pribadi yang memiliki komitmen untuk memiliki Islam dan menjadi Muslim.
Ketika pada saatnya, Nabi saw. beserta kaum muhajirin berkolaborasi dengan kaum Anshar, dan mengenalkan tiga visi transformatifnya: ”menjadikan masjid sebagai base-camp pembinaan umat”, menegakkan nilai ukhuwwah Islamiyah sebagai tonggak perjuangan, dan menjalin hubungan (silaturrahim) dengan banyak kalangan, termasuk dengan orang-orang Nasrani dan Yahudi untuk membangun peradaban Islam yang lebih bernilai susbtantif. Ada tiga hal yang berhasil dicapai oleh Nabi saw dalam dakwahnya. Pertama, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Islam; kedua, subjektivikasi dan ekternalisasi nilai-niali Islam, dan ketiga, objektivikasi niali-nilai-nilai Islam. Islam menjadi dikenal, diyakini, diamalkan oleh baik umat Islam dan umat lain secara sadar, dan semuanya menikmatinya (Islam) sebagai hidangan yang dikehendaki,
Di rumah kita (Muhammadiyah),dan di sini (bumi Indonesia kita tercinta) dengan memahami konteks ruang dan waktu kita, umat Islam pun bisa berbenah untuk segera berhijrah, membangun peradaban baru yang lebih Islami dengan visi transformatif yang secara substantif “sama“dengan apa yang telah dibangun oleh panutan kita, Nabi saw. meskipun secara simbolik bisa berbeda. Sudah saatnya kita bersegera menjadi muslim dan umat Islam yang mengerti makna dan mampu memaknai “masjid“ sebagai alas berpijak untuk melakukan perubahan dengan seluruh nilai yang ditawarkannya, di mana pun dan kapan pun. Tidak boleh ada ada lagi masjid yang sepi dan di’emoh’i jamaahnya. Jadikan “masjid“ sebagai tempat yang paling kita rindukan untuk berkumpul, menggagas, merancang dan melakukan sesuatu untuk kepentingan kita saat ini dan masa depan kita. Sudah waktunya kita rentangkan bahu untuk bersatu dengan sesama muslim untuk menyusun agenda bersama dan melaksanakan aktivitas bersama dalam sebuah kerjasama yang tersusun rapi dan berkesinambungan.
Meminjam istilah Kuntowijoyo, yang kita perlukan sekarang ini adalah: melakukan ”objektivikasi”, tawarkan gagasan kita dengan semangat inklusif. Inklusivitas, yang tidak harus bermakna lebur dalam eksklusivitas orang lain. Tetapi, menjadikan diri dan gagasan kita menjadi sebuah gagasan yang diterima secara sadar dan menjadi bagian dari budaya bersama, yang dinikmati dan dinanti oleh setiap yang merindukan perubahan ke arah yang serba positif.
Akhirnya, bagaimanapun juga, konsep hijrah dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk membuang sikap otoriter yang masih sering kita pelihara, untuk menjadi manusia dan komunitas baru yang open-minded dan otoritarian. Insyaallah, kita akan diterima sebagai bagian dari mereka dan mereka pun rela untuk menjadi bagian dari diri kita, tanpa harus memaksa dan terpaksa.

Tidak ada komentar: