Minggu, 28 Oktober 2007

RITUALISME ISLAM DAN ETIKA SOSIAL

RITUALISME ISLAM DAN ETIKA SOSIAL

Di saat-saat pelaksanaan ibadah haji di Makkah memasuki bagian
akhir, selepas upacara tahullul, seorang anggota jamaah dari
Jakarta, orang Betawi, berkata kepada kenalannya: "Ji, ane
lihat ibadah haji ente di sini rada-rada aneh. Ente pegi haji
kerjanya malah nulung orang melulu. Bukannya memperbanyak
ibadah. Paling pas-pasan ibadah ente. Bagaimana pegi haji
malah nulungin orang. Yang kesasar, yang pake ambulan. Ibadah
dong, selagi di sini. Masak nulung orang. Kalau mau nulung
orang di Jakarta juga banyak."

Barangkali tidak begitu sering dijumpai percakapan spontan
yang bisa dengan begitu pas menggambarkan persepsi seseorang
mengenai agamanya, atau pengertiannya mengenai 'ibadah' dalam
Islam. Contoh ini benar-benar terjadi dan aktual. Dan, lebih
penting, ini bukan kasus perseorangan. "Berani bertaruh," sang
haji Betawi ini mewakili gelombang besar muslimin kita, tanpa
harus berasal dari Jakarta.

Ini tentu saja masalah lama: apa yang dimaksud dengan ibadah.
Sejak A.A. Navis menulis cerita pendek Robohnya Surau Kami
yang terkenal, yang menceritakan seorang penjaga langgar yang
kerjanya hanya sembahyang dan zikir dan puasa sambil
melepaskan tanggung jawab duniawi, sampai surau itu sendiri
roboh sedang si kakek malah "dimarahi Tuhan" di alam akhirat,
atau sejak Achdiat Kartamihardja menulis roman Atheis yang
menampilkan dunia sempit seorang pengikut tarekat yang
akhirnya harus tumbang oleh terpaan "faham-faham global"
seperti humanisme dan atheisme yang melanda kalangan tertentu
di Tanah Air di sekitar masa Revolusi Kemerdekaan, orang sudah
berbicara mengenai luasan agama atau, khususnya, pengertian
ibadah dalam agama. Bahkan di tahun 1941 Anwar Rasjid sudah
menulis sajak Akhirat dalam Dunia, yang isinya tak lain
penyebaran faham tajdidi seperti yang dilontarkan
Muhammadiyah, yang waktu itu tentunya belum dikenal semua
lapisan seperti sekarang, khususnya tentang pengertian ibadah
yang mencakup dari sembahyang sampai "memperdebatkan ihwal
beras sebutir" atau "membela kehormatan Tanah Air", seperti
dikatakan sejak itu. Tidak adakah kemajuan sejak masa itu?

Tentu saja ada. Dan tentu saja, seperti yang kita lihat
popularitas hadits-hadits atau ayat-ayat yang bisa
berkonotasikan keluasan pengertian ibadah ("semua perbuatan
tergantung~ada niat", misalnya, yang menjadi begitu populer)
sudah sampai ke tingkat dijadikannya ayat atau hadits itu
sebagai pemanis dalam pidato, seperti misalnya bila seorang
pejabat ingin mengumumkan bahwa dirinya menganggap tugas yang
baru diembannya sebagai "ibadah".

Hanya saja, disamping tentu popularisasi itu tidak atau belum
di semua kalangan, intensitas atau kadar keibadahan itu
sendiri, seperti yang terdapat pada kesadaran para muslim,
tidaklah sama antara yang terdapat pada laku ritual (seperti
pada ibadah mahdhah, bagi banyak orang), terasa lebih nges dan
sreg dibanding "ibadah umum" yang mungkin disangka dimasukkan
ke dalam kesadaran sebagai hasil idealisasi, atau "rekayasa",
atau penyesuaian dengan yang "modern". Haji Betawi dalam
contoh pertama tadi belum tentu orang yang belum pernah
mendengar dakwah "ibadah sosial", bisa saja ia hanya orang
yang tidak mantap pada yang sebuah itu. Dan sebab-sebabnya
bisa lebih jauh dibicarakan di bawah.

Yang menjadi soal juga, berbeda dengan di masa ketika si kakek
penjaga surau (dalam Robohnya Surau Kami) harus disadarkan
akan tanggung jawab duniawinya, agar tidak melulu "mengurus
akhirat", orang sekarang bahkan kadang-kadang harus diingatkan
agar dalam pelaksanaan "tanggung jawab duniawi" itu mereka
tidak lupa akhirat. Sebab yang barangkali umum terjadi
sekarang ini ialah justru penunaian tugas-tugas keduniaan dan
keakhiratan yang "seimbang, tetapi tidak berhubungan". Dalil
yang populer sehubungan dengan ini ialah "Bekerjalah untuk
duniamu seakan-akan engkau hidup abadi, dan bekerjalah untuk
akhiratmu seakan-akan engkau mati esok pagi". Dalam gambaran
yang agak diekstrimkan, seakan-akan inilah yang diajarkan
kepada kaum muslimin: bekerja luar biasa keras untuk menumpuk
harta dunia, tanpa mengingat kiri-kanan atau halal-haram, dan
beribadah (ritual) kepada Tuhan untuk menumpuk harta akhirat,
tanpa mengingat kesenangan dunia. Ucapan Abdullah ibn Umar
yang umumnya disangka hadis Nabi itu, yang sama populer tapi
rasanya banyak dianggap lebih applicable dibanding hadits
"Segala perbuatan tergantung niat", memang tidak hanya
memotong hidup ini menjadi dua bagian, tapi juga menjadikan
dua bagian itu tidak saling berhubungan.

Dan lahirlah sekularis-sekularis sejati, yang dalam kehidupan
keagamaan adalah ritualis-ritualis sejati. Ini adalah sesuatu
yang sejalan dengan (meskipun bukan satu-satunya penyebab
dari) kenyataan tentang seorang kiai, yang tentu saja tidak
pernah tinggal salat dan puasa, yang tiba-tiba diketahui
terlibat korupsi, sementara kita tidak bisa percaya (sebab
memang bukti-bukti menunjukkan sebaliknya) bahwa kehidupan
keagamaannya bersifat pura-pura atau munafik. Atau tentang
orang-orang yang hidup dalam kultur santri yang sangat salih,
tetapi yang dalam dunia politik, misalnya, bisa memakai
cara-cara yang tidak mengenal fatsoen.

Pada tingkat itu sekularitas mereka sudah menyentuh tindakan
yang dalam agama dikenai penilaian 'dzalim', seberapapun para
pelaku itu menaruh takaran pada pengertian kezaliman itu. Dan
ini bisa berskala pribadi dan bisa berluasan sosial. Dalam
lingkup terakhir itu, pada gilirannya orang melihat betapa
agama, yang mungkin dinilai mencapai tingkat perkembangan yang
mengesankan dari segi dakwah, ternyata tidak mengubah apa-apa
sehubungan dengan akhlak sosial yang dewasa ini banyak dinilai
bukan semakin baik, malahan sebaliknya. Betapa berduyunnya
orang ke masjid-masjid, bukannya tempat-tempat salat di
kantor-kantor, ramainya pengajian-pengajian, justru tampak
berjalan bergandengan tangan dengan kenyataan semakin kukuhnya
budaya sogok dan suap serta banyaknya pengaduan (dari mereka
yang mampu mengaku) dari orang-orang yang mengaku terampas
haknya lewat berbagai cara. Tidak adakah, mestinya, pengaruh
ajaran agama pada etika sosial? Atau adakah sesuatu yang
hilang?

Jawaban yang lazim biasanya akan menyebutkan adanya
faktor-faktor luar dan faktor-faktor dalam sebagai penyebab.
Dengan kata lain, agama atau pengajaran agama tidak bisa
disalahkan secara sendirian. Tetapi percobaan dengar
menempatkan lebih dahulu apa yang kita rumuskan sebagai
ritualisme dalam posisi tertuduh akan bisa diteruskan untuk
berusaha melihat komponen-komponen pemahaman agama yang mana,
kalau ada, yang mungkin melahirkan sikap keagamaan dengan
tingkat dikotomi antara aspek-aspek keduniaan dan keakhiratan
yang melumpuhkan kekuatan moral agama itu sendiri.

"Teori keseimbangan" yang tersebut tadi, antara amal keduniaan
dan amal ukhrawi, seperti yang diajarkan "hadits" Ibn Umar,
sebenarnya baru menampakkan dampaknya yang merusak, katakanlah
demikian, setelah ia beroperasi bersama "teori keseimbangan"
yang lain, yakni keseimbangan antara dosa dan pahala, lalu
menumbuhkan identifikasi aspek amal keduniaan itu sebagai
ajang potensial bagi dosa (yang mungkin "ditolerir") dan aspek
amal ukhrawi sebagai ajang pahala. Dan memang terdapat
hadits-hadits, bahkan ayat, tentang keseimbangan jenis kedua
itu.

Seorang anak Islam, paling tidak menurut jenis konvensional,
sering diajar untuk membiasakan menghitung amal perbuatannya
sehari-hari: berapa ia berbuat kebaikan, dan berapa ia
terlanjur berbuat buruk --tentu saja dengan harapan esok hari
yang buruk itu akan makin sedikit. Hasibu qabla an tuhasabu,
kata 'Umar Ibn al-Khath-thab. "Hitung-hitunglah sendiri
sebelum kamu dihitung-hitung". Dalam nafas pendidikan juga
kiranya hadits Nabi ini disabdakan: "Bertakwalah kepada Allah
di manapun engkau berada, ikutilah perbuatan buruk dengan
perbuatan yang baik, maka ia (yang baik) akan menghapuskannya
(yang buruk), dan pergaulilah manusia dengan budi yang bagus".
Juga dalam penggambaran kebesaran salat yang diperintahkan
untuk dilakukan, antara lain, bila ayat QS. 11:114 ini
dikumandangkan: "Dirikanlah sembahyang pada dua belahan siang
dan awal malam; sungguh perbuatan baik itu mengusir perbuatan
buruk. Ini pemberian ingat untuk mereka yang suka mengingat".

Ada terasa kesejukkan. Ada suatu kebesaran. Dan memang ada
sesuatu hiburan, suatu optimisme, akan rahmat dan kemurahan
Tuhan bahkan bagi yang terlanjur berbuat buruk. Barangsiapa
terlanjur berbuat buruk, ada kesempatan baginya untuk
--disamping bertaubat-- mengimbanginya dengan kebaikan, agar
timbangan baik-buruknya tetap menunjukkan surplus bagi amal
baik. Berlebih-lebihan untuk menganggap ayat dan hadits
seperti di atas itu potensial bagi perilaku muslim yang
mungkin mentolerir perbuatan dosa dengan imbangan, seperti
yang sudah tersebut?

Tidak --bila kita tidak mengingat bahwa sebenarnya ada ajaran
tentang ruh perbuatan. Bahwa perbuatan baik, menurut ajaran
Nabi, diberi nilai (pahala) 10 sampai 70 sampai 700 kali,
sementara perbuatan dosa hanya bernilai satu, sebenarnya tidak
hanya menunjukkan kemurahan Allah, tetapi juga, atau
lebih-lebih perbedaan watak antara perbuatan baik dan yang
buruk. Sementara untuk masalah kemurahan Allah kita cukup bisa
memandang faktor taubat, yang memang bisa menunjukkan keluasan
yang tidak terbatas, untuk masalah perbuatan baik kita bisa
mengingat faktor qabul, penerimaan dari Allah, yang tidak
terdapat pada faktor ikhlas. Mungkinlah seseorang berbuat baik
dengan begitu hebat, tapi bila tak ada ruh perbuatan itu, tak
ada ikhlas untuk memungkinkan qabul, perbuatan itu tertolak.
Atau hanya diterima 10%-nya, atau mungkin malah hanya 1%-nya.
Jadi, yang 10% atau 1% itulah yang bisa (tidak selalu!)
dilipatkan 10 X atau lebih. Sementara itu perbuatan buruk
(kecuali yang dilakukan di bawah paksaan, atau mutlak di luar
kesadaran), yang tak dikenai syarat qabul, tak harus dilakukan
dengan ikhlas, tetap mendapat nilai 100. Logikanya, kemudian:
bagaimana mungkin perbuatan baik akan begitu saja dipercaya,
secara "eksak", menutup perbuatan buruk sebelumnya, sementara
yang buruk itu sudah pasti diterima sedang yang baik belum
tentu? Bagaimana pula perbuatan baik itu akan diterima bila ia
datang dari seseorang yang memang sengaja berbuat jahat dan
kemudian berbuat baik untuk mengimbanginya, sementara
perbuatan baik yang diterima, yang dilakukan sesudah perbuatan
buruk, adalah justru yang diperbuat sebagai pernyataan taubat
yang tulus? (lihat QS. 4:17-18).

Tapi masalahnya memang lebih gampang membedakan amal ukhrawi
dari amal duniawi, lalu meletakkan pada yang pertama hampir
seluruh hidup keagamaan. Di situ, berbeda dengan dalam amal
duniawi, orang merasa tak boleh salah. Di situlah terletak
pahala demi pahala --dalam shalat, puasa, dzikir, wirid,
khataman al-Qur'an-- yang mereka yakini sebagai jauh lebih
tinggi dari pahala amal-amal duniawi.

Dan "segudang" hadits, secara tidak menguntungkan, mendukung
keyakinan itu. Ini adalah hadits-hadits mengenai pahala
berbagai laku ritual, pahala yang umumnya luar biasa besar
untuk laku yang bahkan sangat mudah. Ihya Ghazali, yang tentu
laku yang tentu representatif sebagai pemberi pola amalan
gelombang besar muslimin (lihat misalnya kitabul Adzkar
wad-Da'wat dan Kitab Tartibil Aurad), hanyalah salah satu
tempat bisa didapatkannya hadits-hadits yang sebagian besarnya
hadits-hadits "kelas dua" ini. Bahkan hadits-hadits yang jelas
dhaif --yang oleh sebagian muslimin memang tetap saja dipakai
sepanjang hanya berhubungan dengan fadhailul a'mal, amal-amal
tambahan. Tetapi bahwa Bukhari dan Muslim pun mempunyai
hadits-hadits pahala ritual yang luar biasa besar (dengan
menyingkirkan lebih dahulu beberapa keberatan terhadap
metodologi kedua peneliti hadits terbesar itu) bisa
menjelaskan kuatnya posisi ibadah ritual itu dalam bangunan
kehidupan keagamaan kaum muslimin kebanyakan. Misalnya hadits
Bukhari-Muslim yang ini: "Barangsiapa, mengacapkan: La ilaha
illa 'l-Lah-u wahdahu la syarika lahu lahu al-mulk-u wa lah-u
'l-hamd-u wa hua 'ala kull-i syai-in qadir setiap hari 100 x,
baginya padanan (pahala membebaskan) 100 budak, dan dituliskan
untuknya (pahala) 100 kebajikan, dan dihapuskan daripadanya
(dosa) 100 kejahatan. Kalimat itu pun merupakan penjagaan
baginya terhadap syaitan pada harinya itu hingga sore, dan
tidak seorang pun bisa mendapat lebih dari yang dia peroleh
kecuali orang yang mengamalkan kalimat itu lebih banyak dari
dia".
Keutamaan yang seperti itu hampir tidak pernah dinyatakan
terdapat dalam ibadah-ibadah nonritual, dalam amal-amal
duniawi. Memang ditegaskan bahwa jihad, dan khususnya mati
dalam jihad, merupakan puncak kebaktian kepada Allah. Tetapi
bukankah jIhad dinyatakan mensyaratkan niat yang benar?
Bukankah orang yang mati dalam perang membela agama, tapi
perang itu disertainya karena dorongan kemegahan duniawi
misalnya, kesyahidannya tidak diterima? Memang benar infaq fi
sabil-i 'l-Lah, derma untuk kepentingan umum maupun menolong
orang lain, ditekankan dengan kuat sekali dalam al-Qur'an.
Tapi bukankah untuk itu dituntut keikhlasan, sementara untuk
berdzikir, yang diberi janji pahala yang begitu besar dalam
kitab-kitab yang banyak beredar, kita paling-paling hanya
memerlukan kekhusyukan, praktis tanpa hubungan dengan
keikhlasan? Benar, ada pula hadits (tidak populer) seperti
yang diriwayatkan Nasai: "Orang yang memikirkan para janda dan
anak-anak yatim sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah
atau yang (selalu) sembahyang malam hari dan puasa di siang
hari". Bahkan Ghazali sendiri memuatkan hadits (daif) ini:
"sebagian dari umatku tidak masuk surga karena (banyak)
melakukan salat atau puasa, tetapi masuk surga karena
kedermawanan jiwa". Tapi, "berani bertaruh", dua-duanya jauh
kalah populer dibanding hadits lain yang juga dimuatkan
Ghazali dalam Ihya menggiatkan kedermawanan itu dengan
iming-iming yang tidak urung kembali menjadikan tindakan
kemurahhatian itu sebuah ritus. "Datangnya rizki", demikian
seolah-olah disabdakan Nabi, "kepada orang yang memberi makan,
lebih cepat dibanding sampainya pisau ke leher onta (yang
disembelih untuk keperluan makan-makan itu)." Ini sebuah
iming-iming duniawi, hanya salah satu dari sekian banyak
hadits yang boleh menumbuhkan kebiasaan sedekah dalam arti
selamatan yang ritual itu.

Demikian pula, sanksi resmi untuk dosa sosial --kecuali untuk
tindakan membunuh, merampok atau mencuri (mencuri
konvensional)-- tidaklah terasa se-"seram" puasa ataupun
melakukan tindak sosial yang dewasa ini dianggap banyak orang
lebih ber-scope pribadi, misalnya melacur. Memang ada hadits
Bukhari-Muslim seperti "Kedzaliman adalah kegelapan demi
kegelapan di hari kiamat", atau "Takutlah kamu kepada dua
orang yang didzalimi, sebab antara doa itu dan Allah tidak ada
dinding." Tapi "berapa orang"-kah yang mengenal hadits-hadits
ini? Bukankah ada hadits yang jauh lebih populer, dan jauh
lebih "menyenangkan", seperti "Ibadah haji yang mabrur, tak
ada balasannya yang lain kecuali surga", yang boleh menjadikan
ibadah ritual yang agung ini idaman semoa orang untuk, kalau
bisa, dilakukan berulang kali?

Sama sekali tidak berarti Ghazali tidak bicara tentang dunia.
Ihya 'Ulum al-Din menjadi istimewa karena ia adalah kitab
tasawuf (terpandang) yang pertama yang berjalan di atas
landasan syari'at dan berusaha mencari "rahasia" (asrar) di
balik semua isi syariat itu, termasuk bab mu'amalah, meskipun
dalam kadar lebih sedikit. Disamping bagian-bagian yang khas
tasawuf seperti Kitab Syarah Keajaiban Hati, Kitab Latihan
Jiwa, Kitab Celaan Kepada Dunia, Kitab Cinta dan Rindu (kepada
Tuhan) atau Kitab Tafakkur, terdapat juga --dalam porsi lebih
kecil-- Kitab Etika Profesi dan Penghidupan serta Kitab Halal
dan Haram yang berisi mu'amalah atau hubungan-hubungan
duniawi. Bahkan ada satu bab yang menuntun seorang yang
bertaubat cara-cara keluar dari kedzaliman-kezalimannya dalam
soal harta benda. Semuanya dengan hadits-hadits yang
menunjukkan pahala maupun dosa yang lebih "wajar" dibanding
pada kelompok ritual (yang lebih banyak hadits daifnya) itu.
Misalnya hadits (sahih) "Tidak diterima shalat orang yang
memakai pakaian yang dibelinya dengan harga 10 dirham, dan di
antaranya terdapat satu dirham yang haram", ataupun hadits
(daif) "Barangsiapa menimbun bahan makanan sampai 40 hari,
kemudian menyedekahkannya, nilai sedekah itu tidak cakup untuk
menebus dosa penimbunannya itu."

Hampir bisa dipastikan bahwa seorang pengikut Ghazali yang
baik akan berusaha hidup suci, baik dari menyerempet dosa
individual maupun dari kecampuran satu butir nasi yang haram.
Tetapi, sebenarnya hanya bagian kecil saja orang yang sempat
mendengar Ihya secara utuh. Apa yang lebih masyhur dari
kehidupan kesufian khususnya dewasa ini, ketika orang sudah
mengartikan zubud bukan lagi sebagai "menolak dunia" dalam
arti harfiah, melainkan sekadar "tidak bergantung pada
(walaupun mengumpulkan banyak) harta dunia" --adalah dzikir
dan ritus-ritus individual. Bahkan oleh jasa kitab-kitab kecil
semacam Usfuriyah, kitab-kitab ratib, risalah-risalah selawat,
atau beberapa majemuk maulud, yang semuanya hanya berada di
bawah wibawa Ghazali, dzikir dan seterusnya itu sudah tidak
selalu punya hubungan dengan dunia kesufian, melainkan
semata-mata amalan penambah pahala ataupun, paling-paling,
ikhtiar ketentraman batin. Haji Betawi dalam contoh di muka
itupun belum tentu seorang mutasawwif. Tapi, ia seorang yang
sadar benar akan "tugas hidup"-nya untuk mengumpulkan pahala
sebanyak-banyakuya; ibadah haji baginya bukanlah seremoni yang
mencapai tingkat keagungannya karena faktor-faktor yang
menggetarkan hati seperti rasa kebersamaan dan persamaan
sesama insan atau sesama muslim sedunia, melainkan karena
ibadah yang satu ini penuh pahala (yang bahkan bisa ditunjuk
dan bisa dihitung menurut hadits-hadits yang daif maupun yang
"kelas dua") pada tiap bagian dan tiap langkah.

Tetapi itulah hal yang, tidak urung, tidak memustahilkan
seorang pengikut Ghazali yang relatif taat, bahkan mungkin
berpengetahuan, akhirnya terjerumus juga untuk menjadi hanya
ghazalian dalam hal dzikir dan latihan-latihan ritual (dengan
pengenduran kontrolnya terhadap ibadah maupun dosa sosial).

Hal ini lebih-lebih menjadi mungkin oleh dua sebab.

Pertama, oleh semangat fiqh -yang, seperti digambarkan
kitab-kitab kuning yang begitu komprehensif dan canggih;
tergolong intelektualistis; dan memang, seperti dalam contoh
orang pintar yang berusaha menghindari zakat dengan
(pura-pura) mengalihkan pemilikan pada masa haul, tanpa
imbangan tasawuf yang benar bisa menjadikan seorang muslim
sekadar seorang formalis yang begitu pintar, verbal, penuh
lelah dan tanpa jiwa. Hukum-hukum yang mana pun, terutama yang
menyangkut urusan dunia, oleh kecanggihan fiqh yang seperti
ini akan bisa "diputar."

Kedua, pengenduran dalam kontrol amal sosial itu lebih khasnya
lagi terjadi oleh tidak dikenalinya lagi medan yang aktual
--karena perubahan yang berlangsung, bila dibandingkan dengan
contoh-contoh yang ditulis dalam kitab-kitab yang kuno itu.
Korupsi, misalnya, dengan jenis dan liku-likunya, seperti
halnya bentuk-bentuk kelembagaan modern sendiri, kbususnya
dalam dunia bisnis, sebagiannya tentu merupakan hal yang
kadang-kadang susah dicari padanannya dalam kitab, terkadang
pula berwajah ganda dan dalam keadaan itu, dalam banyak hal
bisa "diputar" yakni bila yang ghazalian, dengan semangat
fiqhuya, tiba-tiba memilih untuk "memegangi lafal". Kyai yang
"korupsi," dalam contoh di atas, maupun yang tidak mengenal
fatsoen politik, bisa bertindak demikian karena campuran dari
kedua sebab di atas.

Perubahan itu pulalah yang dalam bidang fiqh menyebabkan
bagian mu'amalah, lengkap dengan pengajarannya akan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban sosial yang suci, menjadi lebih sulit
diajarkan --karena kasus-kasusnya yang kuno, dan karena
sedikitnya elastisitas umat dalam merespon bentuk-bentuk baru
dengan lebih berpegang pada roh. Dan kekurangan (ketiadaan)
elastisitas itu pula yang menyebabkan bagian sosial yang masih
tinggal dari pengajaran fiqh, yakni zakat dan selingkar
wilayahnya, tidak urung lebih dipahami sebagai ajaran ritual
pula: bahkan sejak awal para imam madzhab, kecuali Abu
Hanifah, seperti dalam contoh indentifikasi jenis-jenis harta
yang dizakati, praktis tidak menggunakan rasio.

Dan itu tidak urung akan berpulang akhirnya pada masalah besar
yang menyangkut metodologi pengambilan hukum sendiri, Ilmu
Ushul Fiqh, yang sejak abad-abad 2-3 Hijri telah tumbuh dengan
makin lama kemenangan golongan naqli (skriptual) atas golongan
ra'y-i (rasional), dengan memegangi secara tanpa jarak
ayat-ayat dan hadits-hadits, walaupun hadits-hadits yang
berasio ditapis dalam kenyataan menunjukkan kepincangan yang
kentara antara bagian yang ritual dan yang sosial, yang segera
akan kita rasakan bila saja kita membandingkan dengan ruh
al-Qur'an.

Dan, dalam keadaan seperti itu, masuklah tema baru dalam
kegiatan dakwah. Inilah tema solidaritas keumatan, bersama
dengan semangat yang besar untuk selalu sadar diri (ber-inward
looking), yang bisa melahirkan kesukaan pengagung-agungan, isu
kebangkitan, semboyan kesempurnaan Islam, praktis tanpa
sentuhan dengan realitas dan, dalam konteks pembicaraan kita
ini, tanpa implikasi yang jelas dalam hal kemajuan maupun
kemunduran akhlak sosial.

Dan semua itu berada dalam "iklim" yang aktual kini. Yakni,
"iklim" yang, tidak boleh tidak, memang dilihat orang sebagai
sebab pertama dari berkembangnya akhlak sosial yang makin
tidak bisa dibanggakan itu. "Iklim" itu melihat siapa saja
--termasuk para ustadz atau para ulama yang, sambil beralasan
dengan berbagai "keterpaksaan" yang mereka hadapi sendiri
dalam masalah halal-haram dalam mencari rizki-- menggeserkan
isi dakwahnya ke hal-hal yang "lebih menentramkan." Ini
seiring dengan usaha kalangan umat untuk "menempatkan diri
secara baik" dalam tatanan bersama dan dalam proyek
pembangunan bersama yang telah terbukti membawa kemajuan yang
mengesankan dalam pertumbuhan, di dalam suatu suasana semacam
bulan madu, yang menyebabkan orang mungkin lebih bisa
mentolerir kemungkaran-kemungkaran dan kedzaliman-kedzaliman
"yang kontroversial"(?) di masyarakat daripada harus mengalami
keraguan politis dengan keuntungan yang pesaing. Dalam "iklim"
ini pula, harus kita sebutkan, lahir gelombang besar orang
yang menjadi santri karena secara formal pemerintah sendiri
"kesantri-santrian", dengan segala aturan bertakwa untuk
pegawai sipil dan ABRI dan seterusnya. Mereka ini, yang bagian
signifikannya adalah aparat pemerintah, kelihatan sebagai tak
punya hubungan apa-apa dengan Ghazali, atau tasawuf, atau
fiqh, atau halal-haram. Aneh, kadang-kadang mereka tampak
sebagai ciri zaman ini.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al Imam Al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din, maktabah Daru Ihya
al-Kutub al-'Arabiyah, Indonesia.

Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilatul Ahaditsidh Dha'ifah
wa-Atsaruhas Saiy'fil Ummah, Lajnah Ihaya-is Sunnah, Assiyut.

As Saiyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Darul Fikr, 1980.

Abu Ishaq Ibrahim ibn "Ali ibn Yusuf Al Fairuzabadi Asy
Syirazi, al-Muhadzdza fi Fiqh-i 'l-Imami al-Syafi'i, Darul
Fikr.

Muhammad ibn Rusyd Al Qurthubi, Bidayatul Mujtahid
wa-Nihayat-u 'l-Muqtashid, Darul Ma'rifah, Beirut, 1985.

Ali Ahmad Al Jurjawi, Ni'mat-u 'l-Tasyri ma Falsafatuh-u, Al
Haramain, Jeddah.

AJ. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li 'l-fazh-i 'l-ahadits-in
Nabawi, Concordance et Indices de la Tradition Musulmane EJ.
Brill, Leiden, 1936.

Tidak ada komentar: