Senin, 01 Oktober 2007

WAWASAN AL-QURAN TENTANG UMMAH

WAWASAN AL-QURAN TENTANG UMMAH

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "ummah" diartikan sebagai:

• para penganut atau pengikut suatu agama
• makhluk manusia

Dalam beberapa ensiklopedi, kata tersebut diartikan dengan berbagai arti. Ada yang memahaminya sebagai bangsa seperti keterangan Ensiklopedi Filsafat yang ditulis oleh sejumlah Akademisi Rusia, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Samir Karam, Beirut 1974 M; ada juga yang mengartikannya negara seperti dalam Al-Mu'jam al-Falsafi, yang disusun oleh Majma' al-Lughah a-'Arabiyah (Pusat Bahasa Arab), Kairo 1979

Pengertian-pengertian seperti yang telah diungkapkan di atas dapat mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep ummah yang ada dalam al-Quran. Bahkan, bisa jadi, akan menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Islam sendiri.

Kata ummah terambil dari kata [أم - يؤم] (amma-yaummu) Yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar yang sama, lahir antara lain kata um yang berarti "ibu" dan imam yang maknanya "pemimpin"; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.

Pakar-pakar bahasa berbeda pendapat tentang jumlah anggota satu umat. Ada yang merujuk ke riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. bahwa beliau bersabda,

لَا يَمُوتُ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ النَّاسِ فَيَبْلُغُوا أَنْ يَكُونُوا مِائَةً فَيَشْفَعُوا إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
Tidak seorang mayat pun yang dishalatkan oleh umat dari kaum Muslim sebanyak seratus orang, dan memohonkan kepada Allah agar diampuni, kecuali diampuni oleh-Nya (HR an-Nasa'i dari ‘Aisyah r.a.).

Ada juga yang mengatakan bahwa, angka empat puluh sudah bisa disebut umat. Pakar hadis an-Nasa'i yang meriwayatkan hadis serupa menyatakan bahwa Abu al-Malih ditanyai tentang jumlah orang yang shalat itu, dan menjawab, "Empat puluh orang."

Kalau kita merujuk kepada al-Quran, agaknya penjelasan ar-Raghib dapat dipertanggungjawabkan.

Pakar bahasa al-Quran itu (w. 508 H/1108 M) dalam bukunya Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, menjelaskan bahwa kata ini didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.

Secara tegas al-Quran dan hadis tidak membatasi pengertian umat hanya pada kelompok manusia.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS al-An'âm [6]: 38).

Rasulullah Saw. bersabda:
النَّمْلَةُ أُمَّةٌ مِنَ الأُمَمِ
Semut (juqa) merupakan umat dan umat-umat (Tuhan) (HR. Muslim).

لَوْلَا أَنَّ الْكِلَابَ أُمَّةٌ مِنْ الْأُمَمِ لَأَمَرْتُ بِقَتْلِهَا
Seandainya anjing-anjing bukan umat dan umat-umat (Tuhan) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa'i).

Ikatan persamaan apa pun yang menyatukan makhluk hidup manusia -- atau binatang -- seperti jenis, suku, bangsa, ideologi, atau agama, dan sebagainya, maka ikatan itu telah menjadikan mereka satu umat. Bahkan Nabi Ibrahim a.s. --sendirian-- yang menyatukan sekian banyak sifat terpuji dalam dirinya, disebut oleh al-Quran sebagai "umat"

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (QS al-Nahl [16]: 120),

dari sini beliau kemudian menjadi imam, yakni pemimpin yang diteladani.

Kata umat tidak hanya digunakan untuk manusia-manusia yang taat beragama, karena dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa Rasul Saw. bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
"Semua umatku masuk surga, kecuali yang enggan." Beliau ditanyai, "Siapa yang enggan itu?" Dُjawabnya, "Siapa yang taat kepadaku dia akan masuk surga, dan yang durhaka maka ia telah enggan" (HR al-Bukhari melalui Abu Hurairah).

Al-Quran surat ar-Ra'd ayat 30 menggunakan kata ummah untuk menunjuk orang-orang yang enggan menjadi pengikut para Nabi.

كَذَلِكَ أَرْسَلْنَاكَ فِي أُمَّةٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهَا أُمَمٌ لِتَتْلُوَ عَلَيْهِمُ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ
Demikianlah, Kami telah mengutus kamu pada suatu umat yang sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumnya, supaya kamu membacakan kepada mereka (Al Qur'an) yang Kami wahyukan kepadamu, padahal mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah: "Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat".

Begitu kesimpulan ad-Damighani (abad ke-ll H) dalam Kamus al-Quran yang disusunnya.

Kata ummah dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam al-Quran. Ad-Damighani menyebutkan sembilan arti untuk kata itu, yaitu, (1) kelompok, (2) agama (tauhid), (3) waktu yang panjang, (4) kaum, (5) pemimpin, (6) generasi lalu, (7) umat Islam, (8) orang-orang kafir, dan (9) manusia seluruhnya.

Benang merah yang menggabungkan makna-makna di atas adalah "himpunan".

Sungguh indah, luwes, dan lentur kata ini, sehingga dapat mencakup aneka makna, dan dengan demikian dapat menampung --dalam kebersamaannya-- aneka perbedaan.

Al-Quran memilih kata ini untuk menunjukkan antara lain "himpunan pengikut Nabi Muhammad Saw. (umat Islam)", sebagai isyarat bahwa ummah dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah Swt.

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS al-Anbiyâ' [21]: 92).

Dalam kata "umat" terselip makna-makna yang cukup dalam. Umat mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah, harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya. al-Quran surat Yusuf (12): 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu.

وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ أَنَا أُنَبِّئُكُمْ بِتَأْوِيلِهِ فَأَرْسِلُونِ
Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) menta`birkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya)."

Sedangkan surat al-Zukhruf (43): 22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka."

Ali Syariati dalam bukunya Al-Ummah wa al-Imâmah menyebutkan keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau qabilah (suku). Pakar ini mendefinisikan kata umat – dalam konteks sosiologis -- sebagai "himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama."

Umat Islam disebut oleh al-Quran surat al-Baqarah (2): 143 sebagai ummat(an) wasatha.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

Mulanya, kata wasath berarti segala yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi di antara dua (kutub) ekstrem. Keberanian adalah pertengahan sifat ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara sikap boros dan kikir. Kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan karena dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini, kata wasath berkembang maknanya menjadi “tengah”.

Yang menghadapi dua pihak berseteru dituntut untuk menjadi wasath (wasit) dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil. Dari sini, lahirlah makna ketiga wasath, yaitu adil.

Ummatan wasatha adalah umat moderat, yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru.

Mereka dijadikan demikian --menurut lanjutan ayat di atas-- agar mereka menjadi syuhada’ (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad Saw. sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.

Keberadaan umat Islam dalam posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material, dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.

Wasathiyah (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.

Tidak ada komentar: