Selasa, 23 Oktober 2007

PRINSIP-PRINSIP KEKUASAAN POLITIK

PRINSIP-PRINSIP KEKUASAAN POLITIK

Seperti terlihat di atas, kekuasaan politik dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada manusia. Penganugerahan ini dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Ikatan ini terjalin antara sang penguasa dengan Allah Swt. di satu pihak dan dengan masyarakatnya di pihak lain. Perjanjian dengan Allah dinamai oleh-Nya dalam Al-Quran dengan 'ahd.
Dalam QS al-Baqarah (2): 124 Nabi Ibrahim a.s. yang diangkat Tuhan menjadi imam bermohon kepada-Nya agar imâmah (kepemimpinan) itu diperoleh pula oleh anak cucunya. Kemudian Allah meniawab:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".
Perjanjian-Ku(Allah) – dalam firman-Nya -- tidak akan diperoleh oleh orang-orang zalim.
Adapun perjanjian dengan anggota masyarakat. maka ia dinamai bai'at. Hal ini telah penulis isyaratkan sebelum ini ketika menjelaskan sebab penggunaan kata Kami dalam pengangkatan Nabi Daud a.s. sebagai khalifah. dan diisyaratkan juga oleh al-Quran terhadap Nabi Muhammad Saw. yang kepada beliau datang wanita-wanita untuk berbaiat.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Mumtahanah [60]): 12).
Perjanjian ini-baik antara sang penguasa dengan masyarakat maupun antara dia dengan Yang Mahakuasa merupakan amanat yang harus ditunaikan. Dari sini, tidak heran jika perintah taat kepada penguasa (ulil amr) didahului oleh perintah menunaikan amanah. Perhatikan firman Allah berikut:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا(58)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisâ' [4]: 58-59).
Kedua ayat di atas dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan Rasyid Ridha, seorang pakar tafsir, berpendapat bahwa, "Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal pemerintahan, maka ayat ini telah amat memadai. "
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak, salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi Saw. yang hampir saja menyalahkan seorang Yahudi karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks inilah turun firman Allah:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS an-Nisâ' [4]: 105).
Nabi Saw. dalam sekian banyak hadisnya memperingatkan hal tersebut, antara lain sabdanya,

دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ مُسْتَجَابَةٌ وَ إِنْ كَانَ فَاجِرًا فَفُجُوْرُهُ عَلَى نَفْسِهِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ الْبَزَّارُ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ)
(Berhati-hatilah!) Doa orang yang teraniaya diterima Allah, walaupun ia durhaka, (karena) kedurhakaannya dipertanggung-jawabkan oleh dirinya sendiri (HR Ahmad dan al-Bazzar melalui Abu Hurairah).
Berdampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa, ditekankan kewajiban taat masyarakat terhadap mereka.
Perlu diperhatikan bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan kata "taat" kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada ulil amr.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ' [4]: 59).
Ada tiga bentuk ketataan, (1) kepada Allah, (2) Rasul, dan (3) ulil amr di antara kamu.
Untuk perintah “taat” kepada Allah dan Rasul, ada perintah untuk taat secara eksplisit; disebutkan perintahnya dengan “jelas”, sedang untuk ulil amri sama sekali tidak disebutkan. Tidak disebutkannya kata “taat” pada ulil amr untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul. Dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaedah yang sangat populer yaitu.
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِى مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah) .
Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulil amri tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah.
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Seorang Muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan ulul amr),suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat (Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).
Taat dalam bahasa al-Quran berarti "tunduk", menerima secara tulus dan menemani. lni berarti ketaatan dimaksud bukan sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya.
Dalam konteks ini, Nabi Saw bersabda :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
Agama adalah nasihat. (HR Muslim dari Abû Ruqayyah Tamîm bin Aus ad-Dârî)
Dan ketika para sahabat bertanya, "Untuk siapa?" Nabi Saw. menjawab antara lain:
لِأَ ئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَ عَامَّتِهِمْ
Untuk para pemimpin kaum Muslim dan khalayak ramai mereka
"Nasihat" yang di maksud Nabi di sini adalah dukungan positif kepada mereka - termasuk kontrol sosial - demi suksesnya tugas-tugas yang mereka emban.
Ayat (dalam surat) an-Nisâ’ yang di kutip di atas, menurut pakar tafsir Ahmad Mushthafa al-Maraghi, menjelaskan prinsip-prinsip ajaran agama dalam bidang pemerintahan serta sumber-sumbernya, yaitu :
1. Al-Quran al-Karim yang ditunjuk oleh perintah agar taat kepada Allah.
2. Sunnah Rasul Saw. yang ditunjuk oleh kewajiban taat kepada Rasul.
3. Konsensus ulul amr; yakni mereka yang diberi kepercayaan oleh umat seperti para ulama, cerdik cendekia, pemimpin militer, penguasa. Petani, industriawan’ buruh’ wartawan’ dan sebagainya. Mereka itulah ulul amr.
Mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada kaedah-kaedah umum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.

Tidak ada komentar: