Senin, 22 Oktober 2007

FUNSI DAN PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

FUNGSI DAN PERANAN AGAMA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di Eropa menindas para ilmuwan akibat penemuan mereka yang dianggap bertentangan dengan kitab suci, para ilmuwan pada akhirnya menjauh dari agama bahkan meninggalkannya.

Persoalan yang menjadi topik pembicaraan kita mau tak mau harus muncul, "Apakah agama masih relevan dengan kehidupan masa kini yang cerminannya seperti digambarkan di atas?" Sebelum menjawab, perlu terlebih dahulu dijawab: Apakah manusia dapat melepaskan diri dari agama?" Atau, "Adakah alternatif lain yang dapat menggantikannya?

Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya):

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS Ar-Rum [30]: 30)

Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama -- boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu. Memang, desakan pemenuhan kebutuhan bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia terhadap air dapat ditangguhkan lebih lama dibandingkan kebutuhan udara. Begitu juga kebutuhan manusia makanan, jauh lebih singkat dibandingkan dengan kebutuhan manusia untuk menyalurkan naluri seksual. Demikian juga kebutuhan manusia terhadap agama dapat ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.

Ketika terjadi konfrontasi antara ilmuwan di Eropa dengan Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama kemudian mereka sadar akan kebutuhan kepada pegangan yang pasti, dan ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif pengganti agama. Namun tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa alternatif ini, sangat labil, karena yang dinamai "nurani" terbentuk oleh lingkungan dan latar belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan Si B, dan dengan demikian tolok ukur yang pasti menjadi sangat rancu.

Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang mempersilakan manusia melakukan apa saja yang dianggapnya baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.

Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia, walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan manusia itu sendiri.

William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama.

Ilmu mempercepat Anda sampai ke tujuan,
dan agama menentukan arah yang dituju.

I1mu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya.

I1mu hiasan 1ahir,
dan agama hiasan batin.

I1mu memberikan kekuatan dan menerangi jalan,
dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.

I1mu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan "bagaimana",
dan agama menjawab yang dimulai dengan "mengapa."

Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya,
sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.

Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan teknologi. Bukankah kenyataan hidup masyarakat Barat membuktikan hal tersebut?

Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio ada wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan atau bahkan dihadapi oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai semata-mata oleh akal, karena yang lebih berperan di sini adalah kalbu. Kalau demikian, keliru apabila seseorang hanya mengandalkan akal semata-mata.

Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna saat berenang di sungai atau di laut yang tenang, tetapi bila ombak dan gelombang telah membahana, maka yang pandai berenang dan yang tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung.

Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia tetap ingin jadi manusia. Ambillah sebagai contoh bidang bio-teknologi. Ilmu manusia sudah sampai kepada batas yang menjadikannya dapat berhasil melakukan rekayasa genetika. Apakah keberhasilan ini akan dilanjutkan sehingga menghasilkan makhluk-makhluk hidup yang dapat menjadi tuan bagi penciptanya sendiri? Apakah ini baik atau buruk? Yang dapat menjawabnya adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat.

Jika demikian, maka tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikan agama. Mereka yang mengabaikannya, terpaksa menciptakan "agama baru" demi memuaskan jiwanya.

Dalam pandangan sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan Tuhan, benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia pertama di pentas bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal, yaitu keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai suci. Manusia ingin mengetahui siapa atau apa Yang Mahasuci, dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan sejak itu pula ia berusaha berhubungan dengan-Nya bahkan berusaha untuk meneladani sifat-sifat-Nya. Usaha itulah yang dinamai beragama, atau dengan kata lain, keberagamaan adalah terpatrinya rasa kesucian dalam jiwa beseorang. Karena itu seorang yang beragama akan selalu berusaha untuk mencari dan mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.

Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik menghasi1kan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni.

Jika demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia, tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?

Ide Dasar Perdamaian

Agaknya, cukup dengan memahami makna nama agama ini yakni Islam, seseorang telah dapat mengetahui bahwa ia adalah agama yang mendambakan perdamaian. Cukup juga dengan mendengarkan ucapan yang dianjurkan untuk disampaikan pada setiap pertemuan. "Assalamu 'alaikum" (Damai untuk Anda), seseorang dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain. Kalau demikian, tidak heran jika salah satu ciri seorang Muslim, adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw.
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seseorang telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w: Apakah sifat orang Islam yang paling baik? Rasulullah s.a.w bersabda: Seseorang yang menyelamatkan orang-orang Islam dengan lidah dan tangannya (Hadis Riwayat al-Bukhari-Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash)

Siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya.

Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan manusia.

Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya semata. Semua ciptaan-Nya adalah baik dan serasi, sehingga tidak mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara seluruh ciptaan-Nya.

Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber: "Kami menciptakan semua yang hidup dan air" (QS al-Anbiya' [21]: 22). Manusia, yang merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga di ciptakan dari satu sumber yakni thîn (tanah yang bercampur air) melalui seorang ayah dan seorang ibu, sehingga manusia, bukan saja harus hidup berdampingan dan harmonis bersama manusia lain, tetapi juga dengan makhluk hidup lain, bahkan dengan alam raya, apalagi yang berada di bumi ini. Bukankah eksistensinya lahir dari tanah, bumi tempat dia berpijak, dan kelak ia akan kembali ke sana?

Demikian ide dasar ajaran Islam, yang melahirkan keharusan adanya kedamaian bagi seluruh makhluk.

Benar bahwa agama ini memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain kecuali -- menurut istilah al-Quran -- adalah untuk menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan disintegrasi) (QS al-Anfal [8]: 60). Peperangan -- kalau terjadi -- tidak dibenarkan kecuali untuk menyingkirkan penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak, orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan yang menyatakan:

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Anfal [8]: 61).

Kerukunan dan Demokrasi

Biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya sendiri. Ini berarti yang paling berharga buat agama adalah agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan apa pun dari pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya. Namun demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS al-An'am [6): 108).

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 256).

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS al-Kafirun [109]: 6)

Surat Al-Hajj (22): 40 menyatakan:
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti al-Qurthubi (w. 671 H), sebagai argumentasi keharusan umat Islam memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim. Memang, al-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS al-Nahl [16]: 93).

Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.

Yang dikemukakan ayat al-Quran tersebut merupakan salah satu benih dari ajaran demokrasi, hal mana kemudian akan nampak dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab Suci. Salah satu yang dapat dikemukakan di sini adalah pengalaman Nabi Saw. dalam peperangan Uhud serta kaitannya dengan ayat yang memerintahkan musyawarah. Sejarah menginformasikan bahwa ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi Saw. dari Makkah ke Madinah, Nabi Saw. berpendapat bahwa lebih baik menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas sahabat-sahabatnya dengan penuh semangat mendesak beliau agar menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena desakan itu, akhirnya Nabi menyetujui. Tetapi, ternyata, puluhan sahabat Nabi gugur dalam peperangan tersebut sehingga menimbulkan penyesalan. Setelah pengalaman pahit mengikuti pendapat mayoritas ini, justeru al-Quran turun memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad Saw., agar tetap melakukan musyawarah dan selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya QS Ali 'Imran [3]: 159):
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat, dan demokrasi (“dalam perspektif Islam;” baca: ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis tentang konsep Syura dan fakta sejarah tentang implementasi Syura), dan merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam tentang hubungan sosial.

Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh umat manusia. Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS al-Baqarah [2]: 148):

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dan kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS Al-Maidah [5]: 16).

Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung selama bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan kedamaian dengan pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang baik (QS al-Nahl [16]: 125). Dan dalam dialog itu, seorang Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (QS Saba' [34]: 24).

Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat Islam mengajarkan kata atau kalimat-kalimat dialog yang pada lahirnya dapat dinilai "merugikan". Perhatikan kandungan ayat berikut:
قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". (QS Saba' [34]: 25) .

Kita menamai perbuatan kita dosa, dan tidak menamakan perbuatan mitra dialog non-Muslim sebagai dosa, tetapi menyebutnya sebagai "perbuatan".

Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah yang bersifat semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap insan. Karena itu, langkah pertama yang dilakukannya adalah mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya kepada seluruh bangsa di permukaan bumi ini, dan dengan demikian dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.

Demikian, sekelumit ajaran Islam. Kalau kenyataan di dunia Islam berbeda dengan apa yang tersurat dalam petunjuk agama ini, maka yang keliru adalah pelaku ajaran dan bukan ajarannya itu sendiri. Sungguh tepat pernyataan Syaikh Muhammad Abduh, "Al-Islâm mahjûbun bi al-muslimîn" (Kebenaran ajaran Islam tertutup oleh perilaku sebagian umat Islam sendiri).

Agama Islam Dalam Kehidupan Modern

Berbicara tentang agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih dahulu perlu digarisbawahi keharusan pemisahan antara agama dan pemeluk agama seperti ucapan Syaikh Muhammad Abduh di atas: “kebenaran ajaran Islam tertutup oleh perilaku umat Islam sendiri”.

Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap dan aktivitas pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah
tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit bagaikan planet-planet tata surya yang beredar di sekeliling matahari, yang tidak dapat melepaskan diri dari orbitnya. Unit-unit tersebut antara lain:

a. Kesatuan alam semesta. Dalam arti, Allah menciptakannya dalam keadaan amat serasi, seimbang, dan berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah Swt. melalui hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.
b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniawinya menyatu dengan kehidupan akhirnya. Sukses atau kegagalan ukhrawi, ditentukan oleh amal duniawinya.
c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, karena semuanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah Swt.
d. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya sehingga harus saling melengkapi.
e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi kesemuanya bersumber dari Allah Swt., prinsip-prinsip pokoknya menyangkut akidah, syariah, dan akhlak tetap sama dari zaman dahulu sampai sekarang.
f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi.
g. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang.

Islam -- dalam hal urusan hidup duniawi -- tidak memberi rincian petunjuk, sebagaimana sabdaRasulullah saw.:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu (daripada aku).

Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik.

Dari prinsip-prinsip semacam di atas, seorang Muslim dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan positif masyarakatnya, dan karena itu pula Islam memperkenalkan dirinya sebagai "Agama yang selalu sesuai dengan setiap waktu dan tempat."

Kitab suci al-Quran mempersilakan umat Islam untuk mengembangkan ilmu, menggunakan akalnya menyangkut segala sesuatu yang berada dalam wilayah nalar, yaitu alam fisika ini. Namun harus disadari oleh manusia, bahwa jangankan alam raya yang sedemikian luas, dirinya sendiri sebagai manusia belum sepenuhnya ia kenal.

Islam tidak menghalangi umatnya untuk memperoleh kekayaan sebanyak mungkin. Bahkan harta yang banyak dinamainya khair (baik) dalam arti perolehan dan penggunaannya harus dengan baik. Islam juga tidak melarang umatnya bersenang-senang di dunia, hanya digarisbawahinya bahwa kesenangan duniawi bersifat sementara, dan karena itu jangan sampai ia melengahkan dari kesenangan abadi, atau melengahan dari kewajiban kepada Allah dan masyarakat.

Umat Islam diperkenalkan oleh al-Quran sebagai ummattan wasathan (umat pertengahan) yang tidak larut dalam spiritualme, tetapi tidak juga hanyut dalam alam materialisme.

Seorang Muslim, adalah memenuhi kebutuhannya dan mewarnai kehidupannya bukan ala malaikat, tetapi tidak juga ala binatang.

Hubungan seks dibenarkannya, tetapi karena manusia adalah makhluk terhormat, yang terdiri dari ruhani dan jasmani maka hubungan tersebut harus terjadi hubungan lahir dan batin, dan karena itu ia harus dikukuhkan atas nama Tuhan, melalui perkawinan yang sah menurut agama. Nabi Muhammad saw. bersabda:

فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ
Kamu mengawini mereka (istri-istrimu) berdasarkan amanat Allah dan berhak menggaulinya karena kalimat (izin) Allah. (Hadis Riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan ad-Darimi dari Jabir bin ‘Abdullah serta hadis riwayat Ahmad dari Paman Abu Hurrah ar-Riqasyi)

Manusia diakui sebagai makhluk yang amat mulia, dan jagat raya ditundukkan Tuhan kepadanya. Ia diberi kelebihan atas banyak makhluk-makhluk yang lain, tetapi sebagian kelebihan dan keistimewaannya -- material dan material -- diperoleh melalui bantuan masyarakat.

Bahasa dan istiadat adalah produk masyarakatnya. Keuntungan mterial, tidak dapat diraihnya tanpa partisipasi masyarakat dalam membeli bagi pedagang, dan adanya irigasi walau sederhana bagi petani, serta stabilitas keamanan bagi semua pihak, yang tidak diwujudkan oleh seorang saja.

Kalau demikian, wajar jika hak asasinya harus dikaitkan dengan kepentingan masyarakatnya serta ketenangan orang banvak. Pandangan Barat yang menyatakan: "Anda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain", tidak sejalan dengan tuntutan moral al-Quran yang menyatakan: "Hendaklah Anda mengorbankan sebagian kepentingan Anda guna kepentingcan orang lain."

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS a-Hasyr [59]: 9).

Demikian sekelumit pembahasan tentang fungsi dan peranan agama dalam kehidupan masyarakat.

Tidak ada komentar: