Jumat, 05 Oktober 2007

PERANAN ETIKA BISNIS DALM MENGURUS LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

PERANAN ETIKA DALAM MENGURUS LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Monday, 28 February 2005

Oleh: Dr. Jafril Khalil, MCL
Sumber: Modal Online

Undang–Undang Perbankan Bab II (3) No 7 tahun 1992 menjelaskan bahwa fungsi perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dalam Pasal 4 tujuannya disebutkan “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Apa yang disebutkan dalam undang-undang di atas tidak ada yang bertentangan dengan syar’i dan secara otomatis pasal-pasal tersebut telah menjadi syariah.
Dalam merealisasikan apa yang diinginkan oleh undang-undang tersebut perlu kebijaksanaan yang memiliki unsur-unsur keadilan, sehingga tercapainya tujuan perbankan dalam mensejahterahkan rakyat banyak. Kebijaksanaan tersebut tentu dilahirkan oleh para bankir atau pengurus sesuatu bank. Seandainya para pengurus bank tidak mampu melahirkan kebijaksanaan yang berpihak kepada rakyat banyak maka terjadilah malapraktik, ambruknya suatu bank atau dana yang dihimpun dari masyarakat tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu.
Agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan wewenang dalam mengurus perbankan, maka para manajemen bank mesti mempunyai moral yang baik. Setiap tindakannya dalam melahirkan sesuatu kebijaksanaan, akan sangat erat kaitannya dengan moral. Kalau moral mereka baik, maka akan lahir kebijaksanaan yang selalu berpihak kepada masyarakat ramai. Sebaliknya kalau moral mereka rusak, maka bank tersebut akan menjadi petaka terhadap perekonomian masyarakat.
Perbankan syariah merupakan bagian dari sistem perbankan yang ada di Indonesia. Namun dalam beroperasi, mesti mengacu kepada aturan dan moral islami. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh moral konvensional yang telah mendominasi cara kerja perbankan selama ini. Kalau para bankir syariah dihinggapi oleh penyakit moral konvensional, maka jadilah bank-bank syariah di Indonesia seperti bunglon, atau babi cap unta atau bakso celeng.
Bisakah dibuktikan kemungkinan terjadinya etika para bankir syariah keluar dari Islam? Secara eksplisit tentu sukar dibuktikan. Namun secara implisit sangat mudah untuk dibuktikan. Misalnya dalam perbankan syariah, agar uang masyarakat yang dihimpun berdaya guna menurut apa yang dipraktikkan oleh para sahabat, uang itu harus digunakan untuk modal dalam sektor riil. Umar Chapra dalam bukunya Towards a just monetary system menjelaskan bahwa perbankan Islami bisa berkembang kalau produk yang ditawarkan oleh bank tersebut dalam bentuk mudharabah atau dalam bentuk syirkah. Bank syariah di Indonesia dalam praktiknya sangat sedikit yang berani menawarkan produk ini. Umpamanya, pada tahun 2002 total pembiayaan murabahah (FDR) 69,2 persen, dana yang dikucurkannya dalam bentuk mudharabah hanya 15,7 persen dan musyarakah hanya 2,5 persen. Berarti dana yang dikembalikan kepada masyarakat lebih mengandalkan produk murabahah. Produk ini bersifat konsumtif dan boleh dikatakan tidak punya risiko.
Produk murabahah yang ditawarkan kepada masyarakat sangat mirip dengan produk leasing yang ditawarkan oleh bank konvensional, malah equivalent ratenya lebih tinggi dari bank konvensional. Dengan demikian dapat kita nilai bahwa bank syariah di Indonesia tidak mau mengambil risiko, lalu mereka membuat produk yang aman. Produk yang aman tersebut tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh pasal 4 UU Perbankan No 7 tahun 1992 atau yang diinginkan oleh perbankan syariah, karena salah satu tugas bank syariah itu ialah untuk menggulirkan dana yang dihimpun dari masyarakat secara adil. Yang punya wewenang dalam membuat kebijaksanaan dalam perbankan syariah tentulah para pengurusnya. Berdasarkan kenyataan yang terjadi di atas, berarti acuan moral yang dipakai oleh pengurus perlu dipertanyakan. Di lain pihak masyarakat juga tahu bahwa pada umumnya para bankir Islami yang ada berasal dari para bankir konvensional. Tentu saja mengkonversi moral dari konvensional kepada islami memang perlu waktu dan pergulatan batin.
Dalam kasus lain dapat dibuktikan salah satu bank syariah besar bermasalah dengan Citi Bank. Mengapa bank tersebut punya tuntutan kepada Citi Bank, orang dapat menerka bahwa bank syariah tersebut terlibat dalam penjualan surat berharga secara riba atau bunga. Siapa yang melakukan hal tersebut, jelas saja manajemen bank itu. Seandainya para manajemen tidak tergoda oleh uang haram, tentu mereka tidak akan punya masalah dengan Citi Bank. Secara implisit jelas bahwa para pengurus tidak memperhatikan etika islami ketika melaksanakan transaksi dengan Citi Bank. Khusus masalah riba, Allah dalam banyak ayat telah mengingatkan secara tegas, di antaranya surat al-Baqarah (2): 278-9 “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat dari( pengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Dalam pengucuran dana melalui produk mudharabah dan musyarakah, para bankir syariah tidak jauh berbeda dengan bankir konvensional. Mereka memilih hanya orang kaya saja yang dapat bagian. Artinya uang masyarakat yang dikumpulkan, hanya dinikmati oleh golongan berpunya. Sedangkan dalam membina dan menumbuhkan perekonomian rakyat, mestinya rakyat banyaklah yang lebih diutamakan. Sayangnya hal ini tidak dianggap penting oleh para bankir syariah, akibatnya tujuan perbankan sesuai dengan maqasidu syar’i tidak tercapai. Alasan bisa dicari, mungkin berkenaan dengan jaminan dan lain-lain.
Dalam membuat produk, kadang-kadang perbankan syariah membuat produk yang persis sama dengan bank konvensional. Anehnya kadang-kadang bisa melibatkan MUI. Akibatnya, kalau produk tersebut beredar di pasar tentu saja masyarakat Islam seperti disuguhi daging celeng, dan disebut sebagai daging halal yang dipotong secara islami. Biasanya para pemikir Yahudi yang selalu membuat sesuatu yang haram tapi dianggap halal dengan berbagai dalih. Umpamanya, mereka dilarang Allah memakan riba, lalu mereka ubah sedikit. Sesama Yahudi memang dilarang, tetapi dengan bangsa lain tidak dilarang. Atau riba itu mereka namakan dengan usury dan diharamkan, lalu mereka buat riba ringan dengan nama interest, lalu mereka sepakat menghalalkannya dengan berbagai alasan seperti value of time terhadap uang dan lainnya. Untuk membuat keputusan tersebut mereka selalu melibatkan rahib-rahib mereka.
Moral sebagai suatu acuan yang amat penting perlu menjadi pedoman utama bagi para bankir islami. Tanpa kekuatan moral, para bankir syariah akan terjebak ke dalam suatu bisnis islami yang tidak beretika. Akibatnya bukan hanya suatu institusi yang diangap tidak punya integritas di mata masyarakat, mungkin Islam sebagaimana agama yang terbaik dianggap tidak punya sistem yang benar. Sistem ekonomi syariah akan dianggap sebagai suatu utopis dan hayalan orang-orang tertentu. Bagaimana cara Islam bermuamalah yang beretika Islami, sebaiknya selalu menjadi wacana bersama dan kesediaan bersama untuk muhasabah, agar kebesaran agama Islam tetap dapat kita pelihara.
Para bankir islami tidak perlu arogan dan selalu siap ditegur. Sikap rendah hati perlu dianut. Allah menjelaskan “Saling berwasiat untuk mentaati kebenaran dan saling bewasiat dengan cara yang sabar” artinya apapun wasiat tersebut kalau mengandung kebenaran perlu diterima dengan hati yang lapang, tidak diterima dengan nada sinis atau dengan sifat arogan, karena itu akan membuat orang takabur. Allah tidak suka kepada orang yang takabur. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: