Senin, 22 Oktober 2007

ISLAM DAN DEMOKRASI

ISLAM DAN DEMOKRASI

Demokrasi pada substansinya adalah sebuah proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus tata kehidupan komunal mereka. Dan tentu saja yang akan mereka angkat atau pilih hanyalah orang yang mereka sukai.

Mereka tidak boleh dipaksa untuk memilih suatu sistem ekonomi, sosial atau politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai. Mereka berhak mengontrol dan mengevaluasi pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang.

Apakah demokrasi bertentangan dengan Islam ??

Bila kita memahami substansi dari demokrasi, tentu kita akan mengakui bahwa pada dasarnya ia justru berasal dari Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang makmum di belakangnya.
“Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepada mereka sekalipun hanya sejengkal…” lalu beliau menyebutkan yang pertama di antaranya, “seseorang yang mengimami suatu kaum yang mereka tidak suka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah)
Jika dalam shalat saja persoalannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai persoalan kehidupan yang lain seperti politik ? Dalam sebuah hadist disebutkan :
“Sebaik-baik para pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian, dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, yang kalian mengutuk mereka dan mereka mengutuk kalian” (HR. Muslim)
Persoalan politik dan demokrasi tidak dapat dilepaskan dari wacana kepemimpinan. Pemimpin dalam perspektif Islam merupakan wakil rakyat, atau lebih tepatnya pegawai dan pelayan rakyat.
Pemimpin dalam Islam bukan penguasa ma’shum yang terhindar dari kesalahan, karena Islam tidak menganut teokrasi yang melegitimasi kekuasaan pemimpin atas nama Tuhan. Pemimpin adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar, bisa adil dan pilih kasih ataupun diskriminatif. Menjadi kewajiban kaum muslimin untuk meluruskan pemimpin yang berbuat salah dan mengoreksi penyimpangannya.
Demikianlah demokrasi yang ideal, namun tidak ada salahnya bagi umat manusia untuk para pemikir dan pemimpin untuk mencari alternatif sistem lain yang lebih ideal dan lebih baik, tapi harus aplikable dalam kehidupan manusia.
Tidak ada salahnya jika kita mengambil pelajaran dari sistem demokrasi, sebagai sarana mewujudkan keadilan dan syura, menghormati hak – hak umat manusia, memotong langkah para tiran di muka bumi. Pendapat seperti ini telah dikemukakan para mufti dan ulama Islam kaliber dunia seperti Dr. Yusuf Al Qardhawi, Syeikh Mahmud Syaltut, Hasan Al Banna, Abbas ‘Aqqad, Syeikh Ghazali, Dr. Fahmu Huwaidi.
Tentunya demokrasi yang kita asumsikan dan anut disini bukan demokrasi sekuler melainkan demokrasi Islami yang bermakna dan bernuansa perikemanusiaan, universal, religius, moralis, spiritual dan material sekaligus sebagaimana yang ditekankan oleh Dr. Dhiyaudin Ar Rayyis.
Diantara kaidah penetapan hukum yang berlaku mengatakan, “apabila yang wajib tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib.” Tujuan – tujuan syariat (maqashid syari’ah) yang menuntut adanya suatu sarana untuk mewujudkannya, maka sarana itu termasuk dalam kategori hukum tujuan tersebut.
Tidak ada larangan syari’ah untuk mengambil pemikiran, ide dan teori maupun metode teknis dari non muslim, selama tidak melanggar kaedah Islam. Sewaktu perang al-Ahzab, Nabi SAW mengambil ide taktik perang dengan menggali parit, padahal taktik ini sejak semula biasa dipergunakan bangsa Persia.
Beliau juga memanfaatkan tawanan perang Badar dari orang-orang musyrik yang bisa baca tulis, untuk mengajari putra-putra Islam. Inilah yang disebut hikmah dan hikmah adalah barang yang hilang dari orang mukmin yang sepantasnya ditemukan lagi. Seorang mukmin lebih berhak atas barang hikmah tersebut.
Demikian pula sistem demokrasi tidak terlepas dari proses pemilihan pemimpin. Jika kita memperhatikan sistem pemilihan umum atau pemberian suara maka kita melihat ternyata menurut Islam hal ini termasuk salah satu bentuk pemberian kesaksian atas kelayakan kandidat wakil rakyat. Maka setiap pemilih sebenarnya harus memenuhi persyaratan seorang saksi, seperti syarat adil. Firman Allah SWT,
“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.” (At-Thalaq : 2)
dengan jumlah sebanyak-banyaknya.
Siapapun yang memberikan suara kesaksian kepada kandidat yang tidak layak untuk dipilih, berarti dia telah melakukan dosa besar, karena sama dengan memberikan kesaksian palsu.
Siapa yang memberikan kesaksian atau suara kepaa kandidat dengan pertimbangan nepotisme, primordialisme, kronisme semata yaitu karena kandidat itu termasuk kerabatnya, atau orang yang berasal dari satu daerah atau karena mendapatkan keuntungan pribadi, tanpa melihat sisi pribadi dan kapasitasnya berarti dia menyalahi perintah Allah,
“Hendaklah kalian tegakkan keadilan itu karena Allah,” (At-Thalaq : 2)
Siapa yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput), sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjai kalah dan suara mayoritas jatuh kepaa kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti dia telah mengkhianati perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dia dibutuhkan untuk memberikan kesaksiannya. Firman Allah SWT,
“Janganlah para saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.” (Al Baqarah : 282), “dan janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan persaksiannya, dan barangsiapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.” (Al Baqarah : 283)
Dengan menambahkan petunjuk-petunjuk Islami tentang pemilihan umum ini, maka jadilah ia sebagai tatanan Islam, sekalipun pada dasarnya sistem ini kita adopsi dan impor dari luar.
Seruan untuk memberlakukan sistem demokrasi bukan berarti harus menolak kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi manusia. Prinsip kedaulatan penetapan hukum hanya milik Allah merupakan prinsip Islam yang pokok. Orang yang beriman yang menyerukan demokrasi sama sekali tidak pernah berfikir untuk bisa melintasi batas hukum ketetapan Allah. Karena yang mereka targetkan adalah untuk menolak diktatorisme yang berkuasa, menolak kekuasaan rezim dan status quo tirani yang sewenang-wenang.
Tentang jargon golongan Khawarij bahwa tidak ada hukum kecuali milik Allah, memang pendapat yang benar. Tetapi yang tidak benar adalah tindakan mereka yang meletakkan jargon ini tidak pada tempatnya dan penggunaan kalimat ini sebagai dalil untuk menolak pengangkatan manusia sebagai juri arbitrase dan rekonsiliasi (ishlah) jika terjadi perselisihan. Tentu saja hal ini bertentangan dengan nash Al Qur’an yang membolehkan mengangkat manusia sebagai pengadil (juri) di antara suami istri yang sedang cekcok dan berselisih.
Orang muslim yang mengajak kepada sistem demokrasi, dengan pertimbangan karena demokrasi itu merupakan bentuk penetapan hukum yang menyatu dengan prinsip-prinsip politik Islam. Prinsip-prinsip dalam memilih seorang pemimpin dan menetapkan syura, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, melawan kesewenang-wenangan, menolak kedurhakaan, terutama jika kedurhakaan itu sudah menjurus kepada kufur secara jelas berdasarkan bukti atau dalil yang pasti.

Tidak ada komentar: