Senin, 22 Oktober 2007

INKLUSIVISME POLITIK

INKLUSIVISME POLITIK

Sejak detik-detik awal setelah runtuhnya rezim Soeharto, muncul antusiasme cukup luas terhadap demokrasi. Banyak kalangan, jika tidak boleh dikatakan seluruhnya, meyakini pandangan, demokrasi dan pemilu akan menyediakan solusi bagi problem ekonomi dan politik yang tengah menghantam negeri ini.

Namun, kini kita disadarkan, transisi demokrasi memang fase yang sulit. Kesulitan itu sebagian karena transisi demokrasi bukan hanya menuntut perubahan dalam institusiinstitusi politik, tetapi juga perubahan dalam kultur politik. Pada masyarakat di mana konsep kekuasaan dan kepemimpinan mengakar kuat dalam keyakinan-keyakinan keagamaan, seperti Indonesia, transformasi kultur politik menuntut suatu refleksi teologis yang serius. Pertarungan berbagai paham dan tafsir keagamaan berlangsung secara terbuka, yang berimplikasi terhadap perkembangan politik.

Selama hampir empat dekade, rezim otoritarian Orde Baru melakukan depolitisasi dan domestikasi Islam. Kesarjanaan dan kesalehan personal didorong sedemikian rupa, tetapi pada saat yang sama wacana politik Islam dibatasi ketat. Ironisnya, ekspansi pendidikan dan refleksi sebagian sarjana Muslim tentang peran Islam dalam sistem dunia modern ternyata punya kontribusi signifikan terhadap perkembangan gerakan demokrasi yang muncul sebagai kekuatan politik penting menyusul krisis ekonomi tahun 1997.

Generasi baru sarjana Muslim, awalnya dilokomotifi Nurcholish Madjid, mengembangkan basis dan komitmen teologis guna menyokong demokrasi, pluralisme agama, dan kultural. Gelombang intelektualisme ini masuk ke doktrin dan peradaban Islam untuk menguak wawasan keindonesiaan dan kemodernan, termasuk soal relasi Islam dan negara.

Relasi Islam dan demokrasi

Sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, secara tak terelakkan terjadi ledakan partisipasi warga melalui mobilisasi retorika Islamisme yang memunculkan Islam politik di Indonesia. Geliat arus Islam politik begitu mengharu-biru, sehingga seolah menafikan model perjuangan kultural yang telah tumbuh sebelumnya. Lebih dari itu, retorika Islamisme cenderung agresif dan mengesankan sebagai suatu tafsir tunggal, termasuk menyangkut relasi Islam dan negara. Padahal, setidaknya, ada tiga arus pemikiran yang menganalisis hubungan antara agama dan negara.

Pertama, analisis yang menyebutkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari negara. Kendati keduanya menempati ruang berbeda, Islam dan negara secara organik saling terkait. Islam merepresentasi bukan hanya agama, tetapi juga negara. Para pendukung pola ini mengidentikkan Islam dengan D3, yakni din, dunya, daulah (agama, dunia, negara). Dengan demikian, pemimpin agama dan negara menikmati status yang sama, meski peran mereka berbeda. Mereka sama-sama bertanggung jawab mewujudkan pemerintahan yang baik.

Kedua, analisis yang meneguhkan, agama dan negara itu terpisah, serta tak dapat dicampuradukkan. Ini merupakan konsep dasar sekularisme, cara memahami dan mengelola negara yang tipikal Barat. Namun, sebenarnya filosofi ini punya basis dalam Islam; hanya tidak sekuat di Barat. Model ini menekankan, seluruh urusan publik harus diatur secara rasional dan sekuler, sementara agama dianggap ada dalam domain privat. Karena itu, agama tidak dapat ikut campur secara legal atau formal dalam proses politik.

Ketiga, arus pemikiran yang cukup unik karena menegaskan, agama dan negara saling tumpang tindih. Biasanya, pemikiran semacam ini menjadi dasar masyarakat Syi'ah. Bagi mereka, dalam kenyataannya antara agama dan negara memang sulit dibedakan, apalagi dipisahkan.

Watak relasi Islam dan demokrasi juga sama kontroversialnya. Ada kalangan yang memandang Islam sebagai anti-demokrasi, bahkan superior terhadap demokrasi. Sebab, ajaran-ajaran agama diyakini bersifat Ilahiah dan kebenaran final ada di tangan Tuhan seperti terdapat dalam kitab-kitab suci, para Nabi, dan pemimpin agama. Mereka tidak mengakui suara rakyat (vox populi). Karena itu, bentuk pemerintahannya bersifat teokratik dan dikelola oleh orang-orang agama yang bertindak atas nama Tuhan.

Pandangan lain menyebutkan, meski Islam bersumber dari Tuhan, namun ajarannya kompatibel dengan demokrasi. Sejarah Nabi Muhammad SAW dan kandungan al Quran penuh praktik dan pesan doktrin yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Misalnya, akuntabilitas publik, check and balances, dan prinsip-prinsip lain yang menjadi fondasi demokrasi modern.

Pengalaman Indonesia merupakan contoh menarik tentang kompatibilitas Islam dan demokrasi. Islam masuk Indonesia melalui para saudagar asing, sehingga tradisi dan budayanya banyak dipengaruhi suasana dagang, seperti egalitarianisme, dinamisme, entrepreneurship, dan bebas. Semua itu berpengaruh terhadap ideologi dan praktik Islam secara signifikan. Akibatnya, masyarakat Indonesia memiliki pandangan yang cukup egalitarian, suatu unsur penting bagi berfungsinya demokrasi. Meski Islam adalah agama mayoritas, para pendiri negeri ini sepakat-dan didukung masyarakat luas-Republik Indonesia tidak akan menjadi negara teokrasi. Sebaliknya, mereka bersepakat negara Indonesia hendaknya berasaskan nilai-nilai kepahlawanan, kemanusiaan, dan keagamaan sekaligus. Tentu saja ini pilihan tepat mengingat Indonesia bukan saja multi-etnik, tetapi juga multi-agama.

Kondisi prasyarat

Pilihan itu berimplikasi pada pengakuan bahwa perbedaan merupakan kondisi prasyarat agar demokrasi berfungsi secara sukses. Kita mengakui agama dan politik berbeda, namun kita juga meyakini keduanya memiliki relasi fungsional yang akan membantu menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Agama memainkan peran penting dalam domain privat, sementara, urusan pemerintahan diatur menurut cara dan institusi modern serta negara-negara demokratis di seluruh dunia.

Dengan kata lain, Islam lebih mengedepankan dukungan moral daripada sebagai ideologi negara. Hal itu bisa dibuktikan sepanjang sejarah, Islam Indonesia berjuang melawan kekuatan luar atau tiran-tiran yang memimpin negeri ini, dan menjadi kekuatan pendobrak masyarakat vis-a-vis pemerintahan yang zalim. Menjamurnya organisasi-organisasi keagamaan yang punya akar rumput pada tahun-tahun terakhir, membuktikan betapa Islam sepenuhnya committed terhadap pengembangan civil society.

Memang, jauh panggang dari api untuk mengatakan demokrasi telah berfungsi. Namun, era reformasi jelas merupakan jendela kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik. Menjamurnya partai-partai politik mengindikasikan, jalan menuju demokrasi telah terbuka, kendati kita menyadari banyak rintangan tak terelakkan yang harus dihadapi. Rintangan semacam itu ternyata juga dihadapi tiap negara yang berusaha membangun masyarakat demokratis. Persoalannya adalah bagaimana agar munculnya retorika Islamisme atau kehadiran partai-partai agama ini tidak menjadi penghambat proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.

Ada kekhawatiran yang cukup beralasan, seperti dikemukakan Mark R Woodward, guru besar politik Asia Tenggara asal Arizona State University, munculnya retorika Islamisme di Indonesia justru akan mendorong eksklusivitas keberagamaan yang meruntuhkan sendisendi demokrasi. Dalam bahasa Woodward," The emergence of Islamist rhetoric and selfproclamed jihads are the most troubling developments in the new Indonesia" (SAIS Review, 2001).

Oleh karena itu, mutlak diperlukan inklusivisme politik dan politics of tolerance yang memungkinkan partai-partai politik bisa diakses semua orang tanpa membedakan agama.

Dalam konteks itu, agama hendaknya tidak dijadikan variabel pembeda yang justru dapat meruncingkan politik aliran. Agar dapat memberi sinar pencerahan, agama perlu mengambil jarak dari politik. Sungguh kita perlu menyepakati, tidak ada gerakan keagamaan yang akan diterima sebagai suatu gerakan politik. Sebab, jika tidak, para politisi akan berlindung di balik agama dan memangsa kehidupan masyarakat, sebagaimana telah mereka lakukan. Sejak dulu, para manipulator telah mempergunakan agama untuk memperbudak manusia.

Sementara agama mempunyai peran penting sebagai kekuatan sosial dan moral. Arena politik hendaknya menjadi ruang partai-partai politik. Hal ini akan memungkinkan Islam berfungsi sebagai kekuatan moral dan kontrol kekuasaan, serta menghindar jangan sampai dijadikan alat perebutan kekuasaan.

Relasi antara negara dan agama di dunia Islam masih akan terus dihadapkan pada sejumlah tantangan. Kita harus menavigasi antara keduanya agar tidak terperosok ke dalam sekularisme absolut atau fundamentalisme ekstrem.

Tidak ada komentar: