Jumat, 05 Oktober 2007

SKETSA DAKWAH MUHAMADIYAH PONTANG TIMUR

Sketsa Dakwah Muhammadiyah Pontang Timur

PAK Asmuni, begitu jamaah masjid Baitul Mukminin memanggilnya. Seorang Guru SMP Negeri yang telah sekian lama mengabdikan diri sebagai Da’i Muhammadiyah di sebuah dusun kecil di kabupaten Jember Jawa Timur, tepatnya di Dusu Pontang Timur, Desa Pontang, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Tidak banyak orang tahu “Siapa Dia“, dan nampaknya dia pun tidak punya agenda publisitas, jauh dari hingar bingar dakwah populer, apalagi berpikir untuk tampil dalam acara Dakwah Televisi, seperti Da’i Selebrits. Yang dia inginkan hanyalah memberi sesuatu untuk umat, dan mendapatkan ridha Allah. Begitu komentar beberapa orang dekat dengannya.
Dia, bukahlah anak seorang ulama. Apalagi ulama terkenal. Bukan pula anak seorang da’i handal. Dia hanyalah salah seorang anak dari pasangan petani-desa dengan sembilan saudaranya yang lain. Ayah-ibunya bukan tokoh Muhammadiyah, apalagi orang penting di masyarakatnya. Mereka hanyalah bagian dari orang-orang awam yang hanya tahu bagaimana beribadah kepada Allah dengan kemampuannya yang serba terbatas. Tetapi, mereka tahu bagaimana seharusnya berbuat baik untuk anak-anaknya dan mendidik mereka untuk menjadi orang yang berguna.
Pak Amrin, begitu orang desa memanggil bapaknya. Salah seorang imam masjid yang dipilih dan dituakan, karena tidak ada yang lain. Dialah penancap tonggak gerakan dakwah kultural Muhammadiyah di dusun itu, dan nampaknya tongkat estafet yang pernah dia bawa diwariskan kepada salah seorang puteranya yang bernama “Asmuni“. Seorang yang – kemudian -- ternyata memiliki kepedulian yang nyaris sama dengan ayahnya. Dari kepedulian seorang Amrin, anaknya (Asmuni) serta koleganya, dakwah kultural Muhammadiyah mulai dan terus berkembang di dusun kecil yang sebelumnya hampir-hampir tidak dikenal orang, kecuali dari kesan kekumuhan dan citra buruknya sebagai dusun yang tertinggal.
Lalu, apa kaitannya dengan Muhammadiyah kita yang sebesar ini?
Pak Asmuni sendiri tidak pernah menyebut apa-apa. Dia tidak pernah sama sekali menyebut dakwahnya sebagai dakwah kulural, apalagi dakwah Muhammadiyah secara formal. Yang dia tahu hanyalah : Dia pernahdipilih sebagai Ketua Pimpinan (Muhammadiyah) Ranting Pontang Timur oleh sejumlah orang yang merasa dan secara formal menjadi anggota Muhammadiyah, “titik“ ! Dia, kata para jamaah masjid itu benar-benar telah berkhidmat dalam dakwah Muhammadiyah yang sangat jauh dari publisitas, tetapi hasilnya : “nyata“. Dengan segala keterbatasannya, masjid yang semual sepi, menjadi makmur, sebuah TK ABA, yang semula berada antara hidup dan mati, menjadi hidup subur, para anggota merasa tersantuni, gagasan Muhammadiyah mengalir dan membumi, masyarakat merasa nyaman dengan kehadirannya, dan, yang tidak kalah penting, hadir : “the living Islam“ (Islam yang hidup, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari), meskipun masih pada level yang sangat elementer.
Pak Lik Zarkasyi (adik kandung pak Amuni) dan Bu Lik Sholihah (isteri Pak Lik Zarkasyi) pun ikut meng’amini’ apa yang dikatakan orang tentang dan dilakukan oleh pak Asmuni. Mereka (berdua) bergerak di belakang beliau, membantu aktivitas dakwah Muhammadiyah yang beliau gagas dan lakukan bersama-sama dengan para kader Muhammadiyah. Tidak terkecuali “angkatan mudanya“ (Pemuda Muhammadiyah, NA dan IRM). Apa yang mereka lakukan? Disamping memakmurkan masjid dan mengurus TK ABA, adalah : melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dan, yang tidak kalah pentingnya : melakukan kegiatan “Pengembangan Wawasan Keislaman“ melalui pengajian rutin.
Komitmen mereka pun ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat. Hampir seluruh keluarga besar dan tetangga dekatnya bersedia membantu dengan seluruh kemampuan mereka. Bahkan, tidak tanggung-tanggung (para) aghniya’ di luar dusun Pontang pun banyak yang tergerak untuk membantu langkah dakwah nyata mereka dengan berbagai bantuan yang sangat mereka butuhkan. Pendeknya, mereka – kini – telah mendapatkan simpati dari banyak pihak yang sebelumnya tidak pernah mereka perhitungkan. Salah satu komentar mereka, dengan mengutip ayat al-Quran : “Wa man yattaqillâha yaj’al lahû mahrajan. Wa yarzuqhu min haitsu lâ yahtashib“. Kami yakin, dengan seyakin-yakinnya, kalau kita benar-benar bertaqwa kepada Allah, pasti selalu ada jalan keluar. Dan pasti Allah akan memberikan apa yang kita perlukan dari arah mana pun, yang kadang-kadang kita sendiri tidak pernah memperhitungkan sebelumnya.
Kalimat bijak ini, dan serangkaian kalimat bijak lain yang keluar dari ucapan-ucapan mereka terkadang kurang kita dengar. Tetapi, sungguh ! “Dari mereka kita bisa banyak belajar“. Kita, yang terkadang terlalu pongah dengan kegagahan-kegagahan simbolik kita, ternyata tidak pernah sebijak mereka. Dan kalau kita mau sedikit berendah hati, kita pun harus mengakui bahwa – barangkali -- karya-karya mereka jauh lebih bermakna dari apa yang selama ini selalu kita pertontonkan.
Pak Asmuni mungkin bukan satu-satunya. Tetapi, yang jelas, dia adalah salah satu anak panah Muhammadiyah yang perlu kita perhatikan. Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis, yang pernah bertemu dengan beliau bersama anak-isteri dan beberapa kawan sejawat di sebuah rumah tua, dengan beralaskan ubin sederhana, sering harus mengelus dada sambil bertanya pada diri penulis sendiri : “Kenapa orang-orang seperti ini dan juga para penyokong setianya sering hanya disebut dalam “catatan kaki“ dalam percaturan dakwahMuhammadiyah. Padahal, menurut pengamatan dan pemahaman penulis, justeru dari orang-orang seperti inilah Muhammadiyah “ada“, “hadir“ dan “diakui“.
Kita di sini, dan di mana saja, perlu belajar pada pak Asmuni, ayahnya-ibunya, saudara dan sanak kerabatnya, keluarga besar Muhammadiyah di dusun itu, yang telah mampu berbuat sesuatu untuk dirinya, keluarganya, umat Islam, masyarakat, dan tentu saja untuk “Muhammadiyah“ .

Yogyakarta, 11 November 2006

Muhsin Hariyanto Dosen Tetap FAI-UMY

Tidak ada komentar: