Senin, 01 Oktober 2007

RELASI ISLAM DAN DEMOKRASI

RELASI ISLAM DAN DEMOKRASI

Pada sekitar tahun 60-an seorang orientalis pernah memprediksikan bahwa Islam akan menjadi salah satu kekuatan politik yang sangat penting di dunia.[1] Pengamat yang lain memberikan sinyalemen adanya 'kebangkitan' Islam sebagai gerakan yang semakin go public, yang semakin inklusif.[2] Pada kenyataannya dapat dilihat bahwa Islam begitu marak dalam menentukan identitasnya. Begitu banyak aspek kehidupan yang dicarikan dasarnya dari akar Islam, baik yang sekunder (hadis) maupun yang primer (al-Quran). Ada kesan bahwa di setiap aspek kehidupan ini Islam harus memiliki kekhasannya sendiri.
Bersamaan dengan dinamika itu, dalam percaturan politik dunia, kehancuran ideologi komunis menyisakan demokrasi sebagai satu-satunya peradaban politik yang dewasa ini semakin kuat. Kesulitan untuk menyebut demokrasi sebagai ideal type membuka peluang bagi setiap wilayah di dunia ini untuk mencari sosok demokrasi yang operasional. Demokrasi di negara yang satu, kalau boleh dikatakan demikian, berbeda dari demokrasi di negara yang lain. Singkatnya, setiap kekuatan politik mengupayakan cita-cita demokrasi yang realistis bagi negaranya sendiri.
Dalam pengertian ini, Islam sebagai suatu kekuatan politik memiliki peluang besar untuk menggali kaedah-kaedah yang bernuansa demokratis. Di situlah kiranya dapat dilihat hubungan antara Islam dan demokrasi. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secukupnya tentang relasi antara Islam dan demokrasi.
Sebelum membahas relasi tersebut, perlu dicatat bahwa demokrasi dalam tulisan ini tidak mengandaikan polemik yang begitu mendetail. Demokrasi di sini cukup dimengerti sebagai suatu kesetaraan politik, perimbangan kekuasaan. Sedangkan Islam dalam hal ini perlu dilihat sebagai suatu kekuatan politik yang, lebih dari sekadar ideologi, memiliki deep driving force untuk menciptakan suatu iklim demokratis. Untuk melihat relasi antara Islam dan demokrasi, baiklah dilihat dahulu Islam sebagai suatu kekuatan politik; lalu, pokok-pokok gagasan tentang demokrasi; dan akhirnya landasan Islam bagi pokok-pokok tersebut, serta kesimpulan yang dapat ditarik tentang relasi antara Islam dan demokrasi.
Islam: Satu Kekuatan Politik
Memandang Islam sebagai suatu kekuatan politik mengandaikan pengertian bahwa Islam memiliki pemahaman integral akan yang duniawi dan yang ukhrawi.[3] Secara historis dapat dipahami bahwa Islam menghidupi aspek integral antara yang duniawi dan ukhrawi, antara yang ruhani dan jasmani. Di sini pantas dicatat bahwa gerakan Nabi (Muhammad) s.a.w. sendiri pada awalnya tidak memiliki relevansi politis yang jelas. Akan tetapi, pada akhirnya gerakan religius Nabi s.a.w. ini disegani juga oleh pedagang-pedagang besar di Mekah. Gagasan religius Nabi s.a.w. menjawab situasi Mekah secara total sehingga lambat laun gerakan Nabi s.a.w. sungguh-sungguh memiliki relevansi bagi kegiatan politik di tanah Arab itu.[4]
Dari perjuangan Nabi s.a.w. dapatlah dilihat bahwa gerakan religiusnya memang memiliki relevansi politis. Keterbukaan dan penghormatan kepada sesama manusia makhluk Allah, misalnya, baginya cukup menjadi basis penggerak untuk membuat komunitas pluralistik (dengan Piagam Medina). Hal inilah yang memungkinkan munculnya pemahaman bahwa Islam sebagai kekuatan politik tidak terlepas dari Islam sebagai suatu gejala teologis. Apa yang dihayati, dihidupi sebagai bagian keruhanian itu terwujud pula dalam kejasmanian. Dengan kata lain, Islam sebagai gejala teologis pun secara historis terimplementasi dalam Islam sebagai gejala ideologis. Itu berarti bahwa Islam memiliki ideologi-ideologi yang mendasari bagaimana ia hidup dalam tatanan sosial politik.
Lebih radikal lagi, dalam arti luas, dari sini juga dapat diterima bahwa agama (Islam) memiliki kaitan yang istimewa dengan negara.[5] Dalam arti tertentu, Islam menawarkan landasan yang kokoh sebagaimana ideologi lainnya memberikan dasar untuk penyelenggaraan negara.
Secara teoretis, dengan pola hubungan tujuan-sarana, mutlak-relatif, hubungan antara Islam dan negara tidak dapat dimengerti sebagai suatu pola hubungan statis. Artinya, keharusan adanya negara (Islam) tidak sekuat keharusan adanya agama Islam. Misalnya, kalau dari segi historis dapat ditemukan adanya negara Islam dalam arti sebagaimana dialami oleh Nabi s.a.w., tidak dapat dimutlakkan bahwa tatanan negara Islam itu diwujudkan dalam masa sekarang ini. (Hal itu akan serupa dengan pencarian demokrasi yang mengimpikan demokrasi asali: demokrasi Athena).
Pola hubungan yang dinamis antara Islam dan negara itu memungkinkan munculnya beberapa penafsiran dan gerakan dalam Islam sendiri. Kelompok yang lebih moderat tentu saja tidak memutlakkan institusi negara Islam sebagaimana ditafsirkan oleh kelompok fundamental. Bahkan, mungkin kebanyakan para tokoh muslim tidak menolak adanya kompromi bahwa negara Islam perlu dimengerti sebagai suatu negara yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Istilah negara Islam tidak perlu dimengerti sebagai negara yang segala-galanya diatur menurut kaedah Islam.[6]
Dengan penafsiran yang lebih terbuka itu (kalau tidak dapat dikatakan bahwa al-Quran dan hadis sendiri tidak menyebutkan soal negara Islam) Islam tidak dapat tidak perlu menemukan ide dasar dalam syari'ah bagi demokrasi. Harus diakui, demokrasi per se bukanlah gagasan Islam[7] tetapi tidak berarti bahwa Islam tidak compatible dengan gagasan itu. Islam justeru harus terbuka pada gagasan demokrasi yang sudah diakui secara universal sebagai satu peradaban yang layak diupayakan demi di dunia yang lebih baik. Kiranya dapat disebutkan di sini apa saja elemen-elemen demokrasi yang perlu ditemukan basisnya dalam Islam.
Demokrasi: Suatu Kesetaraan Politik
Begitu banyaknya ulasan tentang demokrasi memang dapat menimbulkan kesulitan kalau di antara ulasan itu ada pertentangan. Seorang penulis besar seperti Robert A. Dahl pun bahkan terkesan memakai pendekatan tesis-antitesis-sintesis yang cukup menimbulkan pertanyaan besar tentang apa itu sebenarnya demokrasi. Misalnya, gagasannya tentang poliarki menempatkan demokrasi pada tahap terakhir setelah poliarki. Sementara negara-negara yang dianggap sudah mengalami poliarki pun tidak mengalami apa-apa meskipun dikenal sudah sebagai negara demokratis. Di sini pengertian demokrasi seolah-olah dikaburkan juga.[8]
Akan tetapi, dari sekian banyak diskusi tentang demokrasi, kiranya ada saja pokok-pokok yang selalu dibahas sebagai elemen penting dalam demokrasi atau elemen penting yang perlu diupayakan oleh demokrasi. Dapat disebutkan di sini elemen demokratis itu sebagai berikut.[9]
1. Ada pengakuan kesetaraan antara seluruh individu.
2. Nilai-nilai yang melekat pada individu mengatasi nilai-nilai yang melekat pada negara.
3. Pemerintah merupakan pelayan masyarakat.
4. Ada aturan-aturan hukum.
5. Ada pengakuan atas nalar, eksperimentasi dan pengalaman.
6. Ada pengakuan mayoritas atas hak-hak minoritas.
7. Ada prosedur dan mekanisme demokratis sebagai cara mencapai tujuan bersama.
Dari prinsip-prinsip demokratis ini, kiranya dapat diterima bahwa demokrasi pada akhirnya mengandaikan adanya suatu kesetaraan atau keseimbangan politis. Itu berarti setiap elemen masyarakat memiliki kesempatan dan kemampuan yang relatif seimbang untuk memperjuangkan kepentingan politisnya. Dalam beberapa kajian tentang demokrasi, hal ini dapat dipahami sebagai salah satu unsur demokrasi tetapi mungkin juga justeru tidak dianggap sebagai padanan demokrasi.[10] Akan tetapi, akhirnya prinsip kesetaraan diterima sebagai basis demokrasi.
Dari paham kesetaraan inilah dapat diturunkan berbagai macam teori demokrasi yang akomodatif bagi gagasan Islam. Artinya, Islam sendiri memiliki basis yang kuat yang mendukung prinsip kesetaraan tersebut. Dengan seiringnya gerak rasionalitas dan inklusivisme Islam, Islam dapat memperkuat basis demokratis tersebut dengan syari'ahnya. Tentu saja, karena Islam memiliki syari'ah yang bersumber pada al-Quran, baiklah di sini sedikit saja disajikan kaedah-kaedah yang dapat dipakai sebagai legitimasi untuk demokrasi sebagaimana digagas oleh Kuntowijoyo.[11]
Kaedah-kaedah Demokrasi
Kaedah-kaedah demokrasi di sini kiranya perlu dikembalikan kepada pengertian demokrasi yang mengandaikan prinsip kesetaraan. Prinsip ini dapat diderivasikan pada QS al-Hujurât (49): 13
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,
yang menunjukkan teosentrisme dalam Islam yang menyatakan kesatuan sebagai awal eksistensi manusia. Pluralitas kebangsaan yang terjadi pada akhirnya harus dikembalikan kepada prinsip asali dengan kaedah ta'arruf (saling mengenal). Kaedah ini jelas mengandaikan adanya kesamaan, kebebasan, dan juga komunikasi dialogis tanpa dominasi satu kelompok terhadap yang lain. Hal ini jelas sangat penting bagi suatu demokrasi yang efektif.
Kaedah yang kedua diasalkan pada QS asy-Syûrâ (42): 38
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka,
dan Âli 'Imrân (3): 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya,
yang mengungkapkan kewajiban musyawarah dalam Islam.[12] Prinsip rupanya juga diperkuat oleh sumber sekunder syari'ah, yaitu penghayatan yang dilakukan oleh Nabi s.a.w. sendiri. Kaedah musyarawah ini (syura) sifatnya inklusif karena terbuka juga bagi kelompok non-muslim.
Kaedah berikutnya adalah ta'awun yang didasarkan pada QS al-Mâidah (5): 2
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا ءَامِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya,
yang menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi 'kepentingan' Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Di sini prinsip untuk demokrasi dimengerti secara positif sebagai prinsip untuk membangun iklim yang 'bajik' (yang mendatangkan kebaikan) bagi kehidupan “umat” (komunitas). Untuk itulah diperlukan kerja sama juga secara positif baik dalam level komunitas kecil maupun dalam level makro. Prinsip ini bermanfaat sebagai proses demokratisasi di setiap tingkat komunitas.
Kaedah berikutnya banyak dijumpai dalam al-Quran sebagai padanan akar kata 'shahîh', yaitu mashlahah. Kaedah ini berfungsi sebagai suatu moral force supaya setiap individu berbuat baik dan menghindari keburukan (al-amr bi al-ma'rûf wa an-nahy ‘an al-munkar), sehingga menguntungkan pihak lain. Di sini Islam berperanan secara tidak langsung, dalam arti melalui individu atau kebudayaan (meskipun Kuntowijoyo menyatakan bahwa sebenarnya agama juga berperan langsung dalam proses demokratisasi).
Kaedah lainnya adalah 'Adl atau adil, yang ditemukan dalam QS an-Nisâ' (4): 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,
dilanjutkan juga pada QS al-An'âm (6): 152. Tentu saja prinsip keadilan ini self-evident penting sebagai elemen demokrasi. Keadilan di sini mencakup keadilan sosial (distributive justice) maupun keadilan ekonomi (productive justice). Cakupan ini diulas lebih lanjut dalam kajian tentang demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi oleh Kuntowijoyo.
Kaedah demokrasi terakhir yang disebutkan oleh Kuntowijoyo adalah Taghyîr atau perubahan. Kaedah ini dapat ditemukan dalam QS ar-Ra'd (13): 11 yang menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup. Kaedah ini mengingatkan sejarah demokrasi di Athena yang diwarnai oleh tuntutan pergantian anggota “Dewan Lima Ratus”. Elemen ini tidak dapat dihindari oleh demokrasi yang tidak mengakomodasi kecenderungan status quo.[13] Demokrasi menuntut suatu perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan. QS al-Insyiqâq (84): 19
لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ
sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),
mendukung peran manusia dalam berproses untuk berubah, bagaimanapun perubahan itu akan berlangsung.
Tentu dari sekian sumber syari'ah itu tidak ada satu pun yang menyebutkan demokrasi.[14] Dalam batas tertentu memang kaedah ini terkesan menjadi rasionalisasi untuk menyatakan bahwa Islam itu compatible dengan demokrasi. Akan tetapi, hal itu memang perlu dilakukan sebagai upaya kontak dengan arus perkembangan tetapi tetap berbasis. Di sini diperlukan 'dialog' antara Islam sebagai satu kekuatan politik yang besar dan demokrasi sebagai suatu sistem peradaban yang diakui secara universal menjadi cita-cita. Bagaimana sebaiknya Islam 'berdialog' dengan demokrasi?
Islam dan Demokrasi: Suatu Nisbah
Sebelum meninjau nisbah antara Islam dan demokrasi, kiranya perlu disampaikan terlebih dahulu setidak-tidaknya dua catatan penting yang harus diperhatikan. Pertama, Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan dalam level yang setingkat. Artinya, Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat dilihat dengan mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang meliputi cult, creed, code, community. Demokrasi tidak memiliki elemen-elemen seperti itu sehingga tidak seimbanglah kalau dibandingkan dengan Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, demokrasi hanyalah bagian kecil dari sistem kepercayaan dalam Islam.
Kedua, demokrasi sendiri tidak memiliki arti yang secara tepat disetujui bersama. Kalau demikian, artinya tidak ada basis pijakan yang mutlak wajib dipakai sebagai penentu kajian relasi antara Islam dan demokrasi. Demokrasi tidak dapat menentukan suatu ideal type bagi dirinya sendiri baik dalam definisi maupun dalam implementasinya. Sebagai implikasinya, Islam pun dapat memberi pengertian, memberi isi kepada apa yang disebut demokrasi sesuai dengan kerangka pemahaman yang bernafaskan Islam. Dengan demikian, Islam juga berhadapan dengan instansi lain yang juga memiliki kans untuk memberi penafsiran atas demokrasi.
Kedua catatan ini cukup penting titik tolak untuk melihat sifat relasi antara Islam dan demokrasi. Islam dan demokrasi bukanlah dua entitas yang dapat dipertentangkan begitu saja atau sebaliknya, dianggap 'satu blok'. Di satu sisi, dapat dikatakan demokrasi itu compatible dengan Islam, tetapi, di lain sisi, harus diberi catatan bahwa kecocokan itu ada dalam batas-batas tertentu. Islam tetap memiliki aspek yang dapat memberi kesan ketidaksesuaian demokrasi. Baiklah diungkapkan di sini beberapa penjelasan sebagai berikut.
Islam versus Demokrasi?
Berkenaan dengan catatan pertama, bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat dibandingkan dalam level yang setingkat, kiranya perlu diakui adanya pola hubungan subordinatif dalam paradigma Islam. Pola hubungan subordinatif ini menempatkan Islam sebagai substansi mutlak sedangkan negara menjadi relatif. Di hadapan negara, Islam bersifat mutlak dalam arti bahwa negara dapat menjadi ekspresi nilai-nilai perenial Islam.[15]
Dari pola hubungan yang demikian juga dapat dimengerti bahwa Islam menjadi tujuan sedangkan negara merupakan sarana saja (betapapun pentingnya sarana itu). Padahal, demokrasi hanyalah satu dari sekian piranti penyelenggaraan negara. Karena itu, dalam batas tertentu dapat dikatakan bahwa Islam pun bersifat mutlak terhadap demokrasi. Kemutlakan Islam kiranya terletak pada kompleksitas dan kelengkapan (setidak-tidaknya menurut klaim agama) sistem gagasannya. Dengan klaim ini Islam memiliki legitimasi untuk memberikan kerangka hidup yang lebih menyeluruh daripada demokrasi. Perbedaan keluasan ini akan menempatkan demokrasi di hadapan hukum dan ajaran Islam. Dengan kata lain, demokrasi dihadapkan pada teologi Islam.
Relasi antara demokrasi dan gagasan teologis Islam (konsisten dengan prinsip tauhîd) juga bersifat subordinatif. Artinya, aspek teologis Islam menjadi otoritas tertinggi dan itu berarti demokrasi pun harus menyesuaikan diri dengan "jiwa dari hukum yang diwahyukan".[16] Kalau demikian, memang harus diakui bahwa antara Islam dan demokrasi ada perbedaan esensial. Demokrasi yang muncul sebagai hasil olah pikir manusia membuka peluang besar bagi perubahan nilai oleh masyarakat dan dapat saja perubahan ini justeru merongrong nilai abadi dalam Islam.[17]
Kiranya di sinilah letak potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi, yaitu ketika gagasan-gagasan teologis dalam Islam sendiri berhadapan dengan gagasan demokrasi (yang tentunya tidak dilandasi perwahyuan transendental). Kasus Mahmud Mohamed Taha (yang dihukum gantung karena menyuarakan hak untuk berpindah agama) dapat menjadi contoh jelas untuk menggambarkan betapa institusi keagamaan, biar bagaimanapun, memiliki sistem kepercayaan yang dapat bertentangan dengan gagasan demokrasi.[18]
Demokrasi Islami
Berkenaan dengan catatan kedua, bahwa demokrasi tidak memiliki arti secara tepat yang disetujui bersama, dapat dikatakan bahwa demokrasi compatible dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti karena adanya kemungkinan bagi Islam untuk memberi pemaknaan terhadap demokrasi. Memberi makna kepada demokrasi berarti menginklusikan demokrasi dalam Islam atau lebih tepatnya memberi warna islamiah pada demokrasi. Di sini dapat dipahami bahwa syari'ah demokratis menjadi deep driving force yang menentukan pola tingkah laku manusia. Demokrasi tidak dipandang sebagai satu 'budaya' luar (Barat misalnya) tetapi memang secara internal ada dalam Islam sehingga harus dieksternalisasikan dalam semangat syari'ah Islam. Dengan demikian, mungkin akan tampak bahwa demokrasi diberi atribut Islam: “demokrasi islami”.
Dalam hal ini, demokrasi tidak lagi menjadi kutub yang dihadapi Islam sehingga tidak ada konflik antara keduanya. Kalau ada konflik, hal itu hanya akan memposisikan demokrasi sebagai medium antara Islam dan kekuasaan politik lainnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dalam pergumulan Islam dengan kekuatan militer di indonesia.[19] Demokrasi menjadi medium pergulatan interpretasi antara aspek-aspek teologis Islam dan aspek-aspek kekuatan politik yang lain. Kedua kekuatan politik ini memang memiliki hak untuk menginterpretasikan demokrasi dan dengan interpretasi itulah keduanya dapat bersitegang.
Dengan demikian, letak konflik bukan antara Islam dan demokrasi, melainkan antara Islam dan kekuatan politik lain. Islam dan demokrasi, biara bagaimanapun, dalam batas catatan kedua tadi, bertalian kuat sehingga dapat dikatakan bahwa Islam compatible dengan demokrasi dan sebaliknya. Syari'ah demokratis memberi legitimasi pada demokrasi untuk disebut sebagai sistem gagasan yang islamiah. Selain itu, secara historis Islam sendiri memiliki tradisi yang menunjukkan ciri-ciri demokrasi. Keadaan bahwa kepemimpinan ditetapkan atas dasar achievement, proses pemilihan terbuka, hak dan kewajiban rakyat yang sama, pengakuan hak pada golongan agama lain, secara historis menunjukkan keunggulan Islam sebagai kekuatan politik yang luar biasa pada masanya.[20] Keadaan ini menjadi salah satu gambaran bagaimana Islam mewujudkan demokrasi dengan ciri-ciri demokratis yang dimilikinya. Aspek historis yang menjadi tradisi pada masa awal perkembangan Islam itu menunjukkan peluang adanya Islam demokratis.
Islam Demokratis: Suatu Antisipasi
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dilihat bahwa sebenarnya potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi terletak pada bagaimana kedua substansi itu ditafsirkan. Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa menyebut Islam berarti menunjukkan unsur teologis, sedangkan menyebut demokrasi (sebagai istilah umum tanpa atribut Barat atau pun Islam) berarti mengacu pada sistem gagasan 'sekular' yang tanpa gagasan teologis pun dapat bertahan. Jika salah satu, apalagi keduanya, substansi itu dibatasi secara kaku, terjadilah kontradiksi antara Islam dan demokrasi.[21]
Demokrasi memang menimbulkan banyak pertanyaan filosofis untuk menentukan batasan-batasannya.[22] Kerumitan titik pijak diskusi demokrasi ini memberi kesan bahwa demokrasi memang tidak dapat diidentikkan dengan atribut-atribut tertentu. Dalam hal ini, demokrasi memang kiranya tidak perlu diidentikkan dengan demokrasi liberal Barat (walaupun dalam banyak kesempatan diklaim bahwa peradaban yang mutakhir dewasa ini adalah demokrasi liberal Barat). Kembali ke awal tulisan ini, sebagai prinsip dasar cukuplah diandaikan bahwa demokrasi adalah perimbangan politik.
Dalam pelaksanaannya, variasi akan terjadi di mana-mana sehingga memang tidak dapat ditentukan model negara demokrasi yang akurat. Dengan demikian, Islam dapat berinteraksi dengan demokrasi. Akan tetapi, interaksi itu pun akan mengalami stagnasi kalau Islam ditafsirkan secara kaku atau tradisional. Dengan kata lain, dialog Islam dan demokrasi akan mengalami kebuntuan kalau teologi Islam sendiri tidak mengalami transformasi. Kebuntuan ini disebabkan bukan oleh sifat statisnya demokrasi, melainkan oleh kemacetan Islam dalam merumuskan kembali identitasnya, yang dalam hal ini teologinya.
Masa depan Islam sedikit banyak akan ditentukan oleh bagaimana teologi Islam dapat memberi makna pada arus kemajuan.[23] Untuk itulah Islam tidak dapat tidak mengupayakan suatu teologi transformatif sehingga Islam memberikan ruang kebebasan yang diperlukan untuk menanggapi perkembangan zaman[24]. Di sini, Islam perlu merumuskan pandangan-pandangan terhadap misalnya sekularisasi, martabat manusia, solidaritas, kerja sama antar agama mengingat adanya pluralitas agama.
Termasuk di dalamnya juga Islam perlu menjadi terbuka untuk memegang syari'ah secara wajar. Artinya, sumber-sumber syari'ah itu perlu dilihat secara proporsional, yang berarti mempertimbangkan aspek historis. Dengan demikian, dapatlah ditemukan mana yang sungguh-sungguh perenial dan mana yang bersifat spasial dan temporal.[25] Jadi, dapat dibedakan antara yang mutlak dan relatif sehingga tidak ada pemutlakan antara keduanya (yang cenderung menimbulkan ciri ideologis dalam Islam).
Usaha ini akan menghindarkan Islam dari bahaya stagnasi dan arogansi sebagaimana pernah dialami oleh institusi Gereja. Sebut saja salah satu gagasan teologisnya yang seringkali dijadikan contoh landasan kemandegan Katolik, yaitu gagasan extra ecclesiam nulla salus.[26] Aksioma teologis semacam ini memandulkan Gereja sebelum Konsili Vatikan II secara resmi memberi angin segar keterbukaan. Gereja lambat laun memperbaharui diri menggumuli hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Keadaan kondusif itu memerlukan suatu reinterpretasi terhadap gagasan-gagasan dasar teologis maupun gagasan-gagasan dasar sekularisasi dunia.
Usaha reinterpretasi terhadap Islam atau membuat semacam teologi transformatif itu juga akan memantapkan kekuatan politis Islam baik dalam tataran teori maupun dalam implementasinya. Secara teoretis dapatlah disimpulkan bahwa Islam tetap memandang demokrasi sebagai bagian penting peradaban manusia.[27] Dalam ungkapan yang lebih lugas bahkan dapat dikatakan Islam dan demokrasi tidak dapat dipisahkan (meskipun tentu saja dapat dibedakan), sebagaimana doktrin Islam menunjuk adanya keterkaitan yang begitu kuat antara Islam dan negara. Karena itu, secara teoretis hubungan Islam dan demokrasi tidak pernah dicemaskan. Relasi antara Islam dan demokrasi juga lebih bersifat positif. Setidak-tidaknya, syari'ah demokratis lebih menonjol jika dibandingkan dengan syari'ah nondemokratis.[28]
Praksis Islam Demokratis
Lain halnya kalau pola hubungan Islam dan demokrasi ditilik dari sisi politik praktis. Kadang kala yang terjadi justeru syari'ah yang nondemokratis lebih menonjol. Setidak-tidaknya penghayatan syari'ah itu tidak sesuai dengan semangat demokrasi.[29] Kalau sudah pada taraf implementasi, biasanya pertimbangan pragmatis akan lebih banyak berperan. Usaha teoretis untuk secara murni menghayati Islam dapat saja direduksi sebagai suatu kegiatan politik belaka. Padahal, sebagaimana ditekankan sebagai prinsip tawhid, kegiatan politik sebenarnya menjadi manifestasi Islam sebagai gejala teologis.[30]
Dalam hal ini, dapat dimengerti bahwa manifestasi Islam tersebut memang tidak dapat dibakukan dalam satu wadah. Sejarah Indonesia menyaksikan bahwa Islam di Indonesia memiliki kekayaan wadah yang seringkali oleh pengamat disederhanakan sebagai Islam kultural dan Islam skriptural. Lepas dari polemik penyederhanaan itu, dapat dikatakan di sini bahwa praktik yang dilakukan oleh Islam memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Tentu saja, pertama-tama karena Islam memiliki basis masa yang sangat besar.
Dapat dikatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia bergantung pada soliditas Islam. Kalaupun dimasukkkan juga unsur militer, militer pun (karena sebagai angkatan bersenjata secara teoretis tidak memiliki legitimasi untuk suatu demokrasi) akan bergantung juga pada gerak Islam. Kalau demikian, tidak dapat tidak Islam harus menjadi promotor bagi perjuangan demokrasi. Akan tetapi, peran ini tidak akan efektif selama Islam tidak membuka dialog dengan kekuatan politik lainnya. Karena itu, Islam tetap dituntut menjadi Islam yang demokratis.
Dalam praktik sehari-hari, agaknya Islam demokratis bukanlah realitas semu di kalangan grass-root. Nilai-nilai demokratis sudah dihayati oleh kelompok besar Islam. Kalau pada kenyataannya suasana demokrasi itu tidak terjadi dalam percaturan politik di Indonesia, itu berarti bahwa di tingkat elitlah Islam mengalami kemacetan.[31] Elit Islam tidak perlu dibatasi pada pimpinan di pemerintahan, karena termasuk juga dalam kelompok ini para kaum terpelajar, pers, maupun tokoh (pemimpin) umat lokal.
Dengan mengandaikan bahwa budaya politik demokratis (bukan sekadar penghayatan nilai-nilai demokrasi, melainkan juga soal institusi) lahir dari atas,[32] kiranya dapatlah ditegaskan perlunya konsolidasi di tingkat elit Islam. Tentu saja, karena begitu ragamnya elit Islam ini, konsolidasi bukanlah sesuatu yang mudah dan cepat dicapai. Pada kenyataannya, konsolidasi itu juga perlu dilakukan justeru dengan membangun jaringan lintas agama. Di sini, diperlukanlah suatu dialog antar agama.
Dialog itu tidak cukup dilakukan dalam tataran teologis (sehingga yang berdialog hanyalah para teolog) tetapi juga perlu mencakup tingkat politis. Dalam hal ini, diperlukan semacam koalisi yang dapat menunjang penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sebagai negara yang mau tidak mau dikategorikan sebagai negara Dunia Ketiga.[33] Dengan strategi ini, Islam tetap memiliki peluang untuk mewujudkan syari'ah demokratis, sambil sendiri mengembangkan Islam yang demokratis. Dengan demikian, semakin berterimalah bahwa jalan menuju demokrasi bagi Islam di Indonesia adalah jalan yang sangat panjang, yang tidak mungkin ditempuh dengan semangat eksklusif. Karena itu, wanted: Islam inklusif, Islam demokratis.
Bahan Bacaan:
Agus Edi Santoso (ed.) 1997. Tidak Ada Negara Islam (Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem). Jakarta: Penerbit Djambatan.
Ahmad Suaedy. et al. (ed.). 1994. Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Penerbit Institut Dian/Interfidei.
Arief Afandi (ed.). 1997. Islam: Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dahl, Robert A. 1989. Democracy and Its Critics. New Haven & London: Yale University Press.
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (ed.). 1981. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES.
Dunn, John (ed.). 1992. Democracy The Unfinished Journey. New York: Oxford University Press.
Esposito, John & John O. Voll. 1996. Islam & Democracy. New York: Oxford University Press.
Fahmy Huwaydi. 1996. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar Politik Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Terjemahan oleh Muhammad Abdul Gofar E.M.
Hamid Enayat. 1982. Modern Islamic Political Thought. Austin: University of Texas Press.
Harrison, Ross. 1993. Democracy. London and New York: Routledge.
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Lewis, Bernard. 1994. Bahasa Politik Islam. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan oleh Ihsan Ali-Fauzi.
Lijphart, Arend. 1977. Democracy in Plural Societies. New Haven: Yale University Press.
Mahmoud Mohamed Taha. 1996. Syari'ah Demokratik. Surabaya: ELSAD. Terjemahan oleh Nur Rachman.
Mardiatmadja, B.S. 1997. "Sosiologi Agama". Diktat perkuliahan "Agama dan Masyarakat" pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Maulana Muhammad Ali. 1996. Islamologi (Dinul Islam). Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah. Terjemahan oleh R. Kaelan dan H. M. Bachrun.
M. Imam Aziz. et al. (ed.). 1993. Agama, Demokrasi & Keadilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad AS Hikam. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Nurcholish Madjid. 1995. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Ramage, Douglas E. 1996. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance. New York & London: Routledge.
Watt, W. Montgomery. 1968. Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Catatan:
[1]Bandingkan: “Introduction”, W. Montgomery Watt, Islamical Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968)
[2]Bandingkan: Bagian kesimpulan Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (New York and London: Routledge, 1996)
[3]Bandingkan: Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), hlm. 188. Lihat juga Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hlm. 4-6.
[4]Bandingkan: W. Montgomery Watt, op.cit., hlm. 3-30.
[5]Menarik untuk diperhatikan bahwa relatif banyak literatur membahas soal interpretasi terhadap suatu negara Islam (Islamic state). Bandingkan: Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 3-4 tetapi juga Bandingkan: Nurcholish Madjid, op.cit., hlm.188-189.
[6]Gagasan tentang tidak adanya negara Islam disampaikan oleh Amien Rais yang mendapat dukungan dari Mohamad Roem. Bandingkan: Agus Edi Santoso (ed.), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1997), hlm. 1-11.
[7]Bandingkan: M. Imam Aziz, et. al. (ed.), Agama, Demokrasi & Keadilan (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 63-66.
[8]Bandingkan: Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics (New Haven & London: Yale University Press, 1989), hlm. 213-224.
[9]Mahmoud Mohamed Taha, Syari'ah Demokratik (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), hlm. 232-233.
[10]Bandingkan: John Dunn (ed.), Democracy The Unfinished Journey (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 73, 115.
[11]Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 91-105.
[12]Lihat juga Bernard Lewis, op.cit., hlm. 194-202.
[13]Bandingkan: John Dunn (ed.), op.cit., hlm. 1-16.
[14]Bandingkan: M. Imam Aziz, loc. cit.
[15]Hal ini juga dapat dibandingkan dengan pola hubungan Islam dan budaya misalnya. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya. Lih. Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 36.
[16]Maulana Muhammad Ali, Islamologi: Dinul Islam (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1996), hlm. 106.
[17]Lihat: Ahmad Suaedy, et al. (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat (Yogyakarta: Penerbit Institut Dian/Interfidei, 1994), hlm. 271-273.
[18]ibid.
[19]Dalam sejarah Indonesia dapatlah dilihat bagaimana konflik muncul antara militer dan Islam. Kelompok militer cenderung melihat Islam sebagai kekuatan politik yang mengancam kesatuan bangsa Indonesia. Bandingkan: Douglas E. Ramage, op. cit. khususnya sub-bab "The armed forces as defenders of Pancasila".
[20]Bandingkan: Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 188-189.
[21]Bandingkan: John L. Esposito & John O. Voll, Islam & Democacy (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 21.
[22]Bandingkan: Ross Harrison, Democracy (London & New York: Routledge, 1993), hlm. 1-13.
[23]Bandingkan: B.S. Mardiatmadja, "Sosiologi Agama", hlm. 34.
[24]Bandingkan: Muhammad AS Hikam, op. cit., hlm. 216-228. Juga Ahmad Suaedy, op. cit., hlm. 273.
[25]Bandingkan: Djohan Effendi dan Ismed Natsir (eds.), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 26.
[26]Aksioma yang sudah kadaluwarsa ini dipakai sebagai penegasan pentingnya keanggotaan dalam Gereja. Dengan interpretasi baru terhadap Gereja, aksioma ini memang tidak menyangkal adanya keselamatan orang yang berkehendak baik meskipun tidak menjadi anggota Gereja (pada tahun 1949 Pius XII mengeluarkan surat kepada Uskup Agung Boston berkenaan dengan kasus imam Leonard Feeney yang membuat ajaran sesat berkenaan dengan aksioma ini; lih. J. Neuner & J. Dupuis (ed.), The Christian Faith in The Doctrinal Documents of The Catholic Church (Bangalore: Theological Publications in India, 1982), hlm. 240-241). Dengan demikian, Gereja tidak memiliki hambatan untuk berdialog, kerja sama dengan kelompok lain dalam menanggapi dunia yang terus berkembang ini.
[27]Amien Rais menegaskan bahwa demokrasi menjadi satu-satunya cara untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Umat Islam hanya bisa aman membangun masa depan jika menerapkan demokrasi. Bandingkan: Arief Afandi (ed.), Islam: Demokrasi Atas Bawah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 122-123.
[28]Gagasan positif tentang relasi antara Islam dan demokrasi dipaparkan secara komprehensif dalam Fahmy Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar Politik Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 7-14 dan 151-257.
[29]Bandingkan: Ahmad Suaedy, et. al. (eds.), op. cit., hlm. 273.
[30]Dalam arti ini jugalah dikatakan bahwa Islam compatible dengan demokrasi, yaitu bahwa Islam mendapatkan nilai-nilai dasar demokrasi itu dalam Al-Quran. Dengan kata lain, demokrasi mendapatkan legitimasi teologis dari Islam. Bandingkan: Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (Austin: University of Texas Press, 1982), hlm. 125-129.
[31]Bandingkan: Arief Afandi, op. cit. hlm. 118-119.
[32]Gagasan serupa dikemukakan dalam laporan seminar Franz Magnis-Suseno berjudul "Bangun Institusi Demokratis", KOMPAS, Jumat, 4 Desember 1998, hlm. 9.
[33]Pluralitas negara Indonesia menuntut adanya koalisi yang crosscutting, yang melibatkan seluruh elemen-elemen penting dalam masyarakat sehingga penyelenggaraan negara memperkecil kuantitas bahwa sekelompok masyarakat tidak dapat menikmati proses demokrasi. Bandingkan: Arend Lijphart, Democracy in Plural Societies (New Haven: Yale University Press, 1977), hlm. 1-31.

Tidak ada komentar: