Jumat, 05 Oktober 2007

MENUJU BISNIS BERETIKA ISLAM

Menuju Bisnis Beretika Islam

DIAM-diam persoalan etika bisnis rupanya diidam-idamkan juga di Indonesia. Sudah waktunya bagi para pengusaha untuk memperhatikan etika dalam berbisnis. Dalam melakukan bisnis jangan hanya mengejar keuntungan tapi juga harus memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan. Demikian kata Direktur Eksekutif Indonesia Business Links (IBL) Yanti Koestoer, di Jakarta, Jumat (3/12/2004).
Dipandang dari segi etika, memang tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) tidak hanya sekadar menyangkut pengembangan komunitas (community development/CD). Tidak juga sekadar kegiatan sosial (charity). Pengertian CSR jauh lebih luas dari itu. Di dalamnya juga termasuk memperlakukan karyawan dengan baik dan tidak diskriminatif serta tidak melanggar HAM.
Demikian pula, perlakuan terhadap pemasok harus baik. Jangan berbuat aniaya terhadap para pemasok. Juga, sistem pelaporan keuangan tunggal, tidak doubel atau beberapa laporan untuk mengelabui pemerintah dan petugas pajak. "Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana perusahaan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di sekitar lokasi perusahaan berdiri," tutur Yanti.
Ketua Umum IBL, Pradakso Hadiwidjojo, juga mengatakan pentingnya menjalankan perusahaan dengan etika. "Kalau ingin sukses dan berkelanjutan, maka bisnis itu harus dijalankan dengan etika, termasuk di dalamnya CSR. CSR bukanlah sumber biaya atau pemborosan. Sebaliknya, CSR itu ikut memperbagus dan mempercantik perusahaan," tandasnya sambil mengakui bahwa di Indonesia, CSR masih terbilang baru.
Agaknya, perbincangan soal etika bisnis itu akan semakin mengemuka mengingat arus globalisasi semakin deras terasa. Globalisasi memberikan tatanan ekonomi baru. Para pelaku bisnis dituntut melakukan bisnis secara fair. Segala bentuk perilaku bisnis yang tidak wajar seperti monopoli, dumping, nepotisme dan kolusi tidak sesuai dengan etika bisnis yang berlaku.
Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip agama dan nilai-nilai etika seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi. Manajemen yang tidak memperhatikan dan tidak menerapkan nilai-nilai agama (nilai-nilai moral), hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu survive dalam jangka panjang.
Etika bisnis ialah pengetahuan tentang tata cara ideal mengenai pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal. Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan etika bisnis dalam dua hal: (1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber utama hukum, peraturan dan kode etik. (2) Agama dan budaya lebih independen dalam etika bisnis dibanding jenis etika bisnis lainnya.
Syariah Islam, misalnya, memberikan aturan umum dan standar etika yang berhubungan dengan konsep bisnis, seperti dalam hal kepemilikan, keadilan, harga, persaingan, dan hubungan antara pemilik dengan karyawan. Secara normatif, nilai-nilai dasar yang memberikan pedoman dalam perilaku bisnis Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai a trading manager, perilaku bisnis Nabi, seperti digambarkan oleh Aisyah ra, adalah memiliki motivasi dan perilaku Qur’ani, di antaranya: berwawasan ke depan dan menekankan perlunya perencanaan (QS 59: 18).
Dalam konsep etika demikian, hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); mengutamakan kepentingan umum (public interest), misalnya dengan penekanan pada penunaian zakat, infak dan sedekah; menekankan perlunya profesionalisme dalam berbisnis, misalnya dalam hal komitmen pada kualitas, produktivitas kerja, efektivitas, efisiensi, dan tertib pembukuan.
Profesionalisme telah dicontohkan dalam keseluruhan perjuangan Nabi Muhammad, bahkan dalam semua bidang kehidupannya. Hal itu merupakan tuntunan moral dan etika Qur’ani. Tidak hanya dalam berbisnis (QS 2: 282-283); tapi juga dalam memenuhi komitmen (janji) dengan tepat (QS 3: 152; QS 4: 122; dan QS 30: 6); dalam memenuhi takaran, mempertahankan kejujuran dan keadilan dalam bermuamalah (QS 87: 1-3); dalam mengutamakan efisiensi terkait penggunaan sumber daya, tapi tidak kikir (QS 17: 26-27); dalam menegakkan kedisiplinan kerja (QS 24: 51-52; QS 18: 85-89).
Nabi Muhammad juga dinamis dan selalu adaptif menghadapi perubahan (QS 2: 138; QS 2: 30). Ulet, bekerja keras, sabar dan pantang menyerah (QS 2: 155-157; QS 3: 186). Menekankan perlunya ukhuwah dan pemeliharaan hubungan baik antarsesama manusia (QS 3: 103-104; QS 6: 159-165).
Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur’an, hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih. Terdapat empat prinsip etika bisnis Islami: (1) Prinsip tauhid yang memadukan semua aspek kehidupan manusia, sehingga antara etika dan bisnis terintegrasi, baik secara vertikal (hablumminallah) maupun secara horizontal (hablumminannas). Sebagai manifestasi dari prinsip ini, para pelaku bisnis tidak akan melakukan diskriminasi di antara pekerja, dan akan menghindari praktik-praktik bisnis haram atau yang melanggar ketentuan syariah.
(2) Prinsip pertanggungjawaban. Para pelaku bisnis harus bisa mempertanggungjawabkan segala aktivitas bisnisnya, baik kepada Allah SWT maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memenuhi tuntutan keadilan. (3) Prinsip keseimbangan atau keadilan. Sistem ekonomi dan bisnis harus sanggup menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. (4) Prinsip kebenaran. Dalam prinsip ini terkandung dua unsur penting, yaitu kebajikan dan kejujuran. Kebajikan dalam bisnis ditunjukkan dengan sikap kerelaan dan keramahan dalam bermuamalah, sedangkan kejujuran ditunjukkan dengan sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun.
Integrasi etika bisnis Islami dalam proses bisnis secara keseluruhan akan berdampak pada beberapa pengaturan. Di antaranya: menentukan standar etika dari konsep bisnis yang berlaku; menentukan praktik bisnis yang etis dan tidak etis; menentukan bentuk lembaga bisnis yang sah dan sesuai ketentuan syariah; menentukan prinsip dan prosedur akuntansi yang sesuai dengan syariah Islam; dan menekankan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial (CSR) terhadap masyarakat.
Dengan menggunakan etika bisnis Islami sebagai dasar berperilaku, baik oleh manajemen maupun oleh semua anggota organisasi, maka perusahaan akan mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM yang berkualitas adalah yang memiliki kesehatan moral dan mental, punya semangat dalam meningkatkan kualitas amal (kerja) di segala aspek, memiliki motivasi yang bersifat inner, mampu beradaptasi dan memiliki kreativitas tinggi, ulet dan pantang menyerah, berorientasi pada produktivitas kerja, punya kemampuan berkomunikasi, mengutamakan kerapian dan keindahan kerja. Jika akal dikendalikan iman, akan membuat seseorang dalam berbisnis tetap berpedoman pada standar etika yang diyakininya.
Bila memiliki SDM yang berkualitas, maka akan lahir strategic cost reduction (SCR) atau strategi pengurangan biaya, di mana SDM akan memfokuskan pengurangan biaya pada penyebab timbulnya pemborosan yaitu kualitas yang rendah. Peningkatan kualitas, keandalan dan kecepatan dalam menghasilkan produk, mengakibatkan pengurangan total biaya yang dibebankan kepada costumer. SCR ini memiliki karakteristik bagus, yaitu bertujuan menempatkan perusahaan pada posisi kompetitif, berlingkup luas, berjangka panjang, bersifat kontinyu, bersifat proaktif, berfokus ke seluruh value chain.
SDM yang berkualitas itu tentu sangat penting. Karyawan (anggota organisasi) adalah penentu akhir keberhasilan SCR dalam jangka panjang. Keseriusan manajemen puncak amat menentukan efektivitas program pengurangan biaya, dan mindset sebagai landasan SCR.
Untuk memiliki SDM yang berkualitas, perlu adanya pemberdayaan karyawan (employee empowerment), di mana hal ini merupakan langkah strategis untuk mewujudkan pengurangan biaya dalam jangka panjang. Pemberdayaan karyawan yang terintegrasi dengan etika bisnis Islami diharapkan akan melahirkan rasa percaya antara manajer dengan karyawan.
Dalam konteks demikian, setiap anggota organisasi akan melakukan setiap pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab dan jujur. Dalam diri anggota organisasi terdapat keyakinan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, sehingga harus bertanggung jawab atas pekerjaan/tugas yang diberikan kepadanya, baik bertanggung jawab kepada Allah maupun kepada atasan di tempat mereka bekerja.
Jadi, sebetulnya, untuk pengurangan biaya dalam jangka panjang, dibutuhkan perubahan perilaku karyawan.
Karyawan merupakan kunci sukses dalam strategi pengurangan biaya. Keberhasilan manajemen dalam pemberdayaan karyawan amat ditentukan oleh kesadaran para karyawan terhadap perlunya nilai-nilai kebenaran dan moral (nilai-nilai etika) sebagai landasan berperilaku dalam kaitan dirinya sebagai pelaku bisnis.
Dengan demikian, pemberdayaan karyawan yang didasarkan pada etika bisnis Islami merupakan langkah strategis untuk pengurangan biaya dalam jangka panjang. Di sinilah, di antaranya, sangat pentingnya penerapan etika dalam bisnis. Semoga hal itu cepat disadari oleh para pelaku bisnis di negeri ini.
Direktur Lembaga Tafsir Etika Sosial (LTES) Yogyakarta

Tidak ada komentar: