Jumat, 05 Oktober 2007

MENGEMBANGKAN FIKIH BERWAWASAN ETIKA

Mengembangkan Fikih Berwawasan Etika

Fikih pada mulanya mempunyai arti sangat luas daripada yang umumnya dipahami saat ini. Semula sesuai dengan arti lughawi-nya, fikih bermakna al-fahmu, paham atau mengetahui. Memahami atau mengetahui baik yang berkaitan dengan urusan tauhid/teologi, tasawuf/akhlak, maupun hukum. Namun, kemudian akibat perkembangan ilmu dan pergumulan pemikiran, fikih menciut artinya dari yang semula mencakup aspek teologis, akhlak dan hukum, kepada perihal hukum saja. Akibatnya, fikih lebih bernuansa legal-formal, daripada etis atau sosial. Sebab, sifat hukum adalah mengikat/memaksa. Inilah kemudian yang menyebabkan fikih terkesan rigid, kaku tidak fleksibel. Dalam arti fikih kehilangan wawasan etisnya.
Fikih sendiri sebagai salah satu produk manusia, tentunya tidak terlepas dari sifat pengetahuan atau ilmu yang menerima pengembangan lebih lanjut. Ia tidaklah absolut, namun nisbi. Artinya, fikih dapat dikritisi bahkan dirombak total, akibat tidak selaras lagi dengan misi pembebasan manusia (rahmatan li al-`âlamîn) .
Jika diperhatikan, formalisasi fikih/hukum Islam di Indonesia saat ini, terutama di Nanggroe Aceh Darussalam, tampaknya hanya ditegakkan secara formal dan tanpa roh (baca: moralitas). Akibatnya, usaha membakukan antara pesan moral dan dimensi hukum sebagai proses institusionalisasi pesan-pesan etika tersebut justeru lebih banyak dipengaruhi oleh logika hukum, sehingga baik dan buruk itu selalu ditentukan oleh otoritas. Padahal, persoalan moralitas (kesadaran etik) merupakan kesadaran tentang baik buruk yang dihayati oleh hati nurani (kesadaran internal) dan tidak penting untuk melihat ada atau tidak adanya otoritas eksternal yang menekan (to pressure) untuk menegakkannya.
Inilah yang merupakan kelemahan dasar dalam memandang agama selama ini. Karena Islam hanya dipandang semata-mata sebagai teks verbal dan bukan pada wawasan etiknya. Gagasan untuk menyatukan kembali antara fikih dengan etika atau fikih dengan teologinya pernah dilontarkan Fazlurrahman, seorang pemikir Islam progresif. Gagasan untuk menyatukan kembali antara fikih dengan wawasan etis ini penting sebab, sepertinya, fikih itu asyik kita geluti sebagai yang terpisah atau terisolasi dari wawasan etis (wawasan yang bersifat etika) yang merupakan landasan etis dari fikih itu sendiri.
Dengan kata lain, untuk memperbaharui pemahaman Islam, khususnya fikih, adalah dengan menghidupkan kembali wawasan etik ini. Betapapun, tanpa wawasan etik ini, Islam akan mandul, akan berhenti sebagai agama yang terpaku pada huruf-huruf dalam teks kitab suci, tanpa ada kaitan dengan realitas kongkret ataupun dengan sistem yang menjadi dasar semua itu.
Oleh karena itu, agar fikih dapat memberikan jawaban yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan, sangat perlu dibangun sebuah fikih yang berwawasan etis, melandaskan fikih pada maqâshid syarî`ah, tujuan diterapkannya suatu hukum.
Maqâshid syarî`ah telah dikenal luas dalam ushul fikih. Namun, pengembangan maqâshid, dalam bentuk contoh-contoh konkrit dalam konteks kekinian masih sangat terbatas, belum begitu luas. Misalnya dalam menanggapi masalah prostitusi. Bagaimana fikih melihat masalah ini dalam konteks negara. Dalam hal ini, bukan sekedar menelorkan keputusan hukum/fatwa haram, tapi bagaimana memandang masalah prostitusi berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Bila sekadar fatwa haram kemudian berujung pada pemberantasan dan pemusnahan prostitusi, tentu kurang etis. Tapi bagaimana meminimalisir praktek prostitusi besar-besaran dengan bentuk penyediaan lapangan pekerjaan dan memberikan pelatihan kerja dengan intensif. Melihat faktor di balik praktek prostitusi itu, akan melahirkan semisal bentuk lokalisasi dan pembinaan kerja pada para pelacur. Maslahat yang tampak adalah tidak mematikan kerja mereka secara “kejam”, tapi meminimalisir dan berusaha mengalihkan kepada bentuk kerja yang lebih bermartabat dan menjanjikan. Jadi hukum fikih dalam kasus di atas menjadi bisa bernuansa humanis, liberty (membebaskan) dan transenden/bermartabat. Ini visi fikih etis, dengan mendasarkan pada metode maslahat.
Hal lain, misalnya berkenaan dengan operasi ganti kelamin, seperti yang terjadi pada Dorce, di mana pernah dihukumi haram oleh forum Bahts al-Masâ’il NU. Ia tetap dihukumi seperti asalnya, sebagai laki-laki padahal realitasnya, telah menjadi berjenis kelamin perempuan, tentu hukum itu tidak humanis, tidak libertis. Tapi jika kemudian melihat realitasnya, pasca operasi itu tentu menjadi lain hukumnya, ia dihukumi sebagai perempuan dan boleh menikah dengan laki-laki. Di mana menikah merupakan jalan yang baik. Inilah fikih yang berwawasan etis: humanis, libertis dan transenden/bermartabat.
Satu contoh lagi misalnya, bagaimana fikih memandang masalah korupsi dan hukumannya. Jika mendasarkan pada wawasan etis, maka korupsi dihukumi sebagai kejahatan besar/al-kabâ’ir (dosa besar) karena merugikan masyarakat dan bahkan negara. Hukumannya pun bisa melebihi pencurian, bukan cuma sekadar hukum menakutkan “bila kelak mati, jasadnya jika ia muslim tidak disholati.” Tapi bagaimana sebelum ajalnya, ia telah merasakan sanksi hukuman yang tegas. Di mana hal ini bisa menjadi pelajaran baginya agar tidak mengulangi dan bagi orang lain agar tidak mencontohnya. Ini bila dijalankan secara serius akan membawa ketenteraman dan bisa menciptakan good governance dan memberi secercah harapan akan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Pertimbangannya karena dampak yang diakibatkan tindakan korupsi sangatlah luas.
Jadi, memperhatikan hal di atas, hal penting yang perlu dilakukan adalah optimalisasi peran ushûl al-fiqh dengan mengembangkan metodologi yang dapat menangkap pesan-pesan etik dan moral, --menuju pada keadilan, ketenteraman dan kesejahteraan individu dan masyarakat. Masalah inilah yang seharusnya menjadi kata kunci dalam pengembangan metodologi Islam saat ini.
Bagaimanapun, seperti diungkapkan oleh Masdar F. Mas’udi, bahwa agama tidak seharusnya dipahami sebagai konsep hukum dalam arti legal, tetapi harus dipahami sebagai konsep moral atau etika. Memang harus diakui bahwa tidak ada sebuah terminologi yang ekuivalen terhadap apa yang dikenal dengan konsep etika. Secara umum, etika sering dipahami dengan ketentuan tentang baik dan buruknya sesuatu; yang mana prasangka dan perasaan-perasaan tertentu berada di bawah kekuatan moral (Kompas & P3M: 2004).
Mashlahah sebagai Metode Sentral
Dalam mengembangkan metode yang menekankan wawasan etis dengan harapan bisa memenuhi maksud di atas, menurut saya, mashlahah sebagai salah satu metode ushul fikih selama ini dengan rekonstruksi, perlu dinaikkan derajat dan posisinya menjadi metode sentral ushûl al-fiqh (al-Manhaj al-Asasiyyah li Ushûl al-Fiqh) . Sebab, ternyata, semua bentuk pemahaman terhadap teks agama, juga didasarkan pada dimensi maslahat, dalam arti untuk meraih kemanfaatan dan/atau untuk menghindarkan kemafsadatan (jalb al-mashâlih wa dar al-mafâsid) . Bahkan pun al-kulliyyyât al-khamsah dalam fikih, menurut satu pendapat dapat diringkas dalam jalb al-mashâlih.
Meskipun pemahaman atas kemaslahatan yang dimaksudkan oleh penafsir-penafsir maupun mazhab-mazhab, tidaklah seragam, ini menunjukkan betapa maslahat menjadi acuan setiap pemahaman keagamaan. Ia menempati posisi yang sangat penting. Oleh karena nilai maslahat menjadi acuan tersebut, maka pengembangan dan penempatan metode mashlahah pada posisi sentral metode ushul fikih sangat perlu dipertimbangkan. Talfîq Manhajî, yakni penggabungan/pemakaian selektif metode ushul fiqh dalam sebuah kasus bisa mengawal operasionalisasi gagasan manhaj al-mashlahah sebagai metode sentral. Karena dalam talfîq manhajî sudah terlihat peran atau optimalisasi ushûl al-fiqh. Sebab kenyataannya di tubuh NU/Nahdyiin sendiri talfîq masih sekadar dominasi talfîq qaulî –pengambilan/pemilihan hukum secara selektif dari berbagai pendapat dalam suatu kasus. Padahal talfîq qaulî semacam ini belumlah mencukupi/memuaskan.
Dalam memposisikan mashlahah sebagai metode sentral ushul fikih, maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
Pertama, kita memposisikan teks, akal dan konteks/realitas yang lalu dan kekinian secara holistik (melingkar). Dan mashlahah sebagai sentral di dalam lingkaran ini. Kita cari maslahat ini melalui penggalian terhadap teks oleh akal dengan melihat kepada konteks historis maupun konteks kekinian. Atau maslahat bisa digali dari realitas dan dikaitkan dengan teks dengan melihat substansi-substansi/prinsip-prinsip universalnya. Maslahat yang dilahirkan dari lingkaran “kehamilan” ini berwujud “bayi yang suci (al-maulûd yûladu `ala al-fitrah) ” yakni keadilan, kasih-sayang, kedamaian dan kesejahteraan.
Kedua, yang dijadikan pertimbangan hukum adalah substansi teksnya, bukan bunyi tekstualnya (al-`ibrah bi al-maqâshid la bi al-alfâzh) . Maqâshid al-syarî`ah menempati posisi utama dalam ijtihad. Penguasaan terhadap maqâshid al-syarî`ah ini menjadi salah satu syarat utama bagi mujtahid.
Ketiga, dalam menghadapi nash yang berbenturan dengan realitas kekinian, maka yang dilakukan adalah memerankan maslahat atas nash (naskh al-nushûsh bi al-maslahah) .
Keempat, dalam menggali dan menebarkan kemaslahatan publik, maka yang diperlukan adalah melibatkan pelbagai pakar di bidangnya masing-masing, yang hasilnya menjadi sebuah kesepakatan bersama, ijmâ`. Jadi dalam merumuskan maslahat diperlukan kesepakatan bersama (al-`ibrah `an al-mashlahah bi al-ijmâ`/tahqîq al-nushûsh bi `aql al-mujtama`). Dalam memandang maslahat tidak menimbulkan bentuk diskriminatif, dalam arti maslahat yang dimaksud untuk kepentingan bersama, karena pada dasarnya mashlahah al-`âmmah majmû`ah min al-mashlahah al-khâshshah, mashlahah publik adalah merupakan kumpulan dari maslahat personal/domestik.
Dengan demikian, fikih akan kembali menyatu dengan wawasan etisnya, yang menjadi landasan bagi perumusan fikih itu sendiri. Dengan begitu, diharapkan fikih benar-benar lebih memenuhi kebutuhan

Tidak ada komentar: