Senin, 01 Oktober 2007

KAFA'AH

Kafa'ah

Kafa'ah adalah kesetaraan. Para ulama dan cendekiawan menekankan perlunya kesataraan dalam membina rumah tangga. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang aspek-aspek kesetaraan itu. Dulu banyak ulama menekankan perlunya kesetaraan dalam garis keturunan, di samping dalam tingkat sosial, ekonomi, akhlak dan tentu saja dalam agama. Perempuan bangsawan misalnya, hanya boleh dikawini oleh lelaki bangsawan pula.
Penetapan ini lahir pada masa hak-hak asasi manusia belum lantang dikumandangkan. Ketika itu, masyarakat masih memandang adanya pengaruh yang cukup berarti dalam keharmonisan rumah tangga, jika kesetaraan dalam bidang status sosial (keturunan) tidak terpenuhi. Perempuan bangsawan boleh jadi enggan patuh kepada suami yang status sosialnya lebih rendah darinya.
Kita tidak dapat menyangkal terdapat pengaruh yang cukup besar dari garis keturunan seseorang kepada anak cucunya, karena gent keturunan yakni dapat diwariskan, sedang tentu saja setiap orang mendambakan anak cucunya lahir dari hasil perpaduan antar suami istri yang memiliki garis keturunan baik-baik agar anak-anak mereka menjadi baik-baik, cerdas dan tampan pula.
Namun perlu dicatat, orang tua yang baik-baik tidak otomatis menjadikan anaknya baik-baik pula. Nabi Nuh as melahirkan anak yang dinilai oleh Alquran sebagai anak durhaka, sehingga walaupun ia merupakan anak kandung salah seorang nabi utama (Ulil Azmi min ar-Rusul), namun Allah tidak menilainya sebagai anggota keluarga Nabi Nuh as. (Alquran Surat Hud (11) ayat 45).
Lantas, bagaimana pendapat para imam mazhab terhadap keseteraan itu? Perkawinan antara seorang perempuan bangsawan atau memiliki garis keturunan yang diakui berbobot dengan lelaki yang tidak setara dengannya dalam hal tersebut, tidaklah dapat dinilai tidak sah. Begitu pendapat keempat ulama mazhab Sunni; Maliki, Syafi'i, Hanbali dan Hanafi, karena mereka hanya berpendapat kafa'ah merupakan syarat kelaziman.
Nabi Muhammad SAW jauh sebelum masa kita menjelaskan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan. Sabda beliau: ''Perempuan (biasanya) dinikahi karena empat faktor, karena hartanya, karen keturunannya (kebangsawanannya), karena kecantikannya dan karena keberagamaannya. Maka, raihlah yang memiliki agama, (kalau tidak) engkau akan merugi. (HR Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah).
Kalau dulu banyak yang menekankan faktor kesetaraan dalam hal keturunan atau kebangsawanan, maka kini yang lebih dituntut adalah dalam hal pandangan hidup, agama, budaya, pendidikan dan usia. Perkawinan yang semata-mata didasari karena cinta, hanya akan menyenangkan beberapa waktu, karena seringkali apa yang dinamakan cinta bukan cinta sejati, melainkan nafsu terselubung yang segera memudar.
Perkawinan yang didasari semata-mata karena harta, akan menyengsarakan pada sebagian besar masa, karena tidak ada yang dapat menjamin kesinambungan harta, sedang perkawinan yang berdasar kesamaan agama dan pandangan hidup, akan membahagiakan sepanjang masa, karena tuntunan agama langgeng melampaui batas usia manusia dan pandangan hidup akan menyertai manusia sepanjang hidupnya. dam/dikutip dari buku Perempuan karya M Quraish Shihab Terbitan Lentera Hati Jakarta

Tidak ada komentar: