Selasa, 23 Oktober 2007

TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI PEMAHAMAN ATAS TEKS

TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI
PEMAHAMAN ATAS TEKS

A. Pendahuluan

Kekuatan persyarikatan Muhammadiyah antara lain terletak pada kemampuan melakukan harmonisasi antara gerakan tajdid dengan mengandalkan paradigma kontekstualitas dan pemurnian pemahaman terhadap Islam dengan bertumpu pada paradigma tekstualitas. Upaya harmonisasi tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi, memelihara, dan mentaati batas-batas kedua kawasan gerak tersebut dengan cermat. Tentu saja upaya demikian merupakan keniscayaan yang harus dilakukan secara berkelanjutan, karena pada tingkat detilnya belum tergarap dengan baik, termasuk tekstualisasi dan kontekstualisasi teks-teks al-Quran maupun hadis dalam bidang aqidah, ibadah, mu’amalah dan akhlaq.

B. Pengertian Kontekstualitas dan Tekstualitas

Dalam bahasa Inggris kata context antara lain berarti circumtances in which an event occurs – lingkungan di mana suatu peristiwa berlangsung-, sedang kata contextual diartikan sebagai according to the context – menurut atau sesuai dengan konteks (Hornby, 1979 : 130). Memahami teks-teks Islam secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosiohistoris. Bagaimana kemudian ketika lingkungan sosiohistoris tersebut berubah? Dalam hal ini tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya. Upaya demikian disebut dengan kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam. Berbeda dengan ini, memahami teks-teks Islam tanpa mengaitkannya dengan lingkungan keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut memahaminya secara tekstual. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama, Memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legas spesifiknya dan moral idealnya dengan cara melihat kaitannya dengan melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah, Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun.

Kedua, Memahami lingkungan baru yang padanya teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus membandingkannya dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya.

Ketiga, Jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial daripada persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal- spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya (bandingkan dengan Rahman, 1982 : 5 – 7 )

Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam tersebut absah ? Jika absah, sampai di mana batas-batasnya serta apa signifikan bagi eksistensi pemahaman tersebut?

C. Dasar-dasar Kontekstualisasi Teks-teks Islam

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam tersebut menjadi niscaya, sekaligus absah. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Saw bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran-kehadiran nash-nash (teks-teks) yang menyebabkan sebagianya bersifat tipikal, pranata dhihar, misalnya dengan ungkapan sebagai berikut: أنت علي كظهر أمي – bagiku engkau bak punggung ibuku – adalah sangat tipikal Arab.
2. Nabi Saw sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan hukum secara berlawanan satu sama lain atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda, misalnya ziarah kubur, yang semula dilarang kemudian diperintahkan (riwayat Muslim).
3. Di masa Umar bin Khatab talak tiga sekali ucap yang semula jatuh satu, diputuskan jatuh tiga adalah cerminan adanya kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam.
4. Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d’tre kehadiran Islam itu sendiri.
5. Pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara tekstual berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru diintrodusir oleh nash sendiri.
6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untu mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.
7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkanpada upaya pemahan teks-teks Islam secara kontekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi trade mark dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan Ridla (1935 : 211) berbunyi: الاٍسلام دين العقل و الفكر – Islam itu agama rasional dan intelektual.
8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang mengandung kemaslahatan) yang dirumuskan dengan kaidah: العادة محكمة - Tradisi itu dipandang sebagai sesuatu yang legal (Suyuti, Tanpa tahun, : 89).
9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku spanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teksnya yang terbatas itu memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui unterpretasi yang tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat teraktualisasikan secara optimal. Aktualisasi secara optimal hanya dimungkinkan melalui interpretasi kontekstual terus menerus.

Dengan alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan keniscayaan dan absah.

Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam sering diajukan dengan menyatakan jika pemahaman tersebut bersifat kontektual tentu tidak universal, dan pada gilirannya nanti cetak biru (blue print) Islam itu tidak akan ada lagi bekasnya. Keberatan semacam itu tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar, jika kontekstualisasi itu diberlakukan terhadap keseluruhan pemahaman teks-teks Islam, maka Islam akan kehilangan cetak birunya. Salah, karena kontekstualisasi itu tidak diberlakukan pada semua aspek pemahaman teks-teks Islam, ada batas-batas yang harus dijaga. Batas-batas ini adalah sebagai berikut :

Pertama, Untuk bidang ibdah murni (Ibadah Mahdlah) dan aqidah tidak ada kontekstualisasi, dalam arti penambahan ataupun pengurangan untuk kepoentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu, karena yang demikian berarti membuat bid’ah, khurafat dan tahayyul yang jelas-jelas dilarang dalam Islam.

Kedua, Untuk bidang di luar ibadah murni dan aqidah, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik yang baru yang menggantikan legal-spesifik lamanya.

Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks Islam tidak akan kehilangan cetak birunya yang terletak pada norma-norma bidang ibadah murni dan aqidahnya serta terletak pada moral ideal bidang di luar keduanya. Demikian pula pemahaman teks-teks Islam tidak akan kehilangan sifat universalnya, karena tetap terpeliharanya cetak biru tersebut yang memang bersifat universal.

Signifikansi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam adalah jelas yaitu agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki elan vital dalam menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era globalisasi dewasa ini.

D. Kontekstualisasi Hadis-hadis Bidang Ibadah

Para ahli hadis membuka pintu yang amat lebar bagi penolakan terhadap hadis itu sendiri, ketika mereka menyatakan bahwa menolak suatu hadis masyhur tidak menyebabkan kekufuran (al- Khathib, TTh : 302), apalagi ahad padahal sebagian besar hadis berstatus masyhur dan ahad. Kekufuran baru terjadi jika penolakan itu ditujukan pada hadis mutawattir, yang jumlahnya amat sedikit itu. Pintu itu juga dibuka sendiri oleh Nabi Saw ketika beliau mengajukan pembelaan diri terhadap anjuran untuk tidak perlu mengawinkan bunga kurma yang kemudian keliru dengan pernyataannya Kalian lebih tahu urusan duniawi kalian. Dengan demikian seluruh hadis yang berkaitan dengan keduniawian, dapat dilakukan penolakan, jika didapat pengetahuan yang berlawanan yang lebih akurat tentangnya. Berdasarkan hal demikian, persoalan kontekstualisasi terhadap hadis merupakan persoalan yang lebih ringan daripada penolakan terhadap hadis itu sendiri, dalam arti ditolak saja boleh apalagi sekadar dikontekstualisasikan dengan realitas obyektif kekinian dan kedisinian.

Terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan bidang ibadah, kontekstualisasi hanya boleh dilakukan berkaitan dengan :

1. Aspek teknik, sepanjang teknik dimaksud bukan bagian dari ibadah itu sendiri. Sekedar contoh adalah kontekstualisasi syahadatul hilal dengan menggunakan ilmu falak; sebagai alternatif lain dari teknik ru’yatul hilal. Demikain pula penggunaan sound system untuk keperluan teknik pelaksanaan khutbah, adalah termasuk kontekstualisasi teks-teks hadis tentang khutbah Rasulullah Saw. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan sikat gigi sebagai alternatif dari siwak, penentuan waktu sholat dengan jam, bukan dengan melihat matahari.
2. Kepentingan substitusi, seperti zakat fitri dengan beras di Indonesia, menggantikan kurma atau gandum seperti ketentuan hadis.
3. Kepentingan pengembangan karena tuntutan kondisi obyektif, misalnya membagikan daging kurban dalam bentuk telah diolah atau telah matang, walaupun hal ini berbeda dengan tuntunan hadis yang ada.
4. Penghindaran terhadap ketimpangan pelaksanaan suatu ibadah terkait dengan konteks tertentu, seperti ketentuan nisab komoditas pertanian (75 kg) di Indonesia dengan kewajiban zakat 5 sampai 10 persen, terasa adanya ketidakadilan dibanding dengan nisab dan persentase zakat yang lain.
5. Pemahaman terhadap ibadah sesuai dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat.

Berdasarkan hal di atas berikut dirumuskan kaidah-kaidah kontekstualisasi hadis bidang ibadah :

1. Jika suatu teknik bukan merupakan bagian dari ibadah, maka kontekstualisasi dapat dilakukan untuk kepentingan efektifitas.
2. Jika tekstualisasi diterapkan, ternyata tidak dapat mencapai tujuan, maka kontekstualisasi dapat dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut.
3. Jika kontekstualisasi lebih menghasilkan tujuan suatu ibadah daripada tekstualisasi, maka kontekstualisasi dapat dilakukan.
4. Jika dapat dipahami hal-hal yang berkaitan dengan ibadah merupakan urusan keduniawian, maka kontekstualisasi dapat dilakukan.
5. Untuk kepentingan kedalaman pemahaman suatu ibadah, kontekstualisasi legitimatis dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat dapat dilakukan.

E. Kontekstualisasi Hadis-hadis Bidang Aqidah

Kontekstualisasi hadis-hadis aqidah dapat dilakukan semata-mata dalam hal :

1. Pemberian argumen ilmiah dan atau filosofis untuk mendapatkan kepuasan intelektual, disamping intuitif imani.
2. Proporsionalisasi pemahaman, misalnya keyakinan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir, adalah dalam konteks bumi kita ini, bukan dibumi yang lain.
3. Kepentingan penafsiran untuk perluasan pemahaman, misalnya hadis-hadis tentang isra’ mi’raj, ditafsirkan dengan mengkontekstualisasikan pada ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat.

F. Penutup

Berdasarkan paparan diatas disimpulkan bahwa oleh karena cetak biru Islam itu terletak pada ibadah murni dan aqidahnya, maka tekstualisasi dilakukan untuk memelihara dari segala bid’ah, khurafat, dan tahayyul. Sekalipun demikian, secara terbatas terdapat aspek-aspek yang berkaitan dengan keduanya yang memerlukan kontekstualisasi.


BAHAN BACAAN:

Bukhari, Muhammad bin Isma’il al. Tanpa Tahun. Shahih al-Bukhariy. Tanpa Tempat: al-Sya’b.

Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. 1977. Dlawabith al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islam-iyyah. Bairut: Muassasah al-Risalah.

Coulson, Noel J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago and London: The University of Chicago Press.

------------. 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: The University Press.

Departemen Agama RI. 1977. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Qur’an.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Tanpa Tahun. al-Mushtasyfa. Jilid I. Tanpa Tempat: al-Amiriyah.

Hassan, Husain Hamid. 1971. Nadhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy. Bairut: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyah.

Jauziyah, Ibn Qayyim al. 1973. A’lam al-Muwaqqi’in. Jilid III. Bairut: Dar al-Jail.

Khatib, Muhammad ‘Ajjaj al-. 1975. Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Musthalahuh. Bairut: Dar al- Fikr.

Khayyath, ‘Abd al ‘Aziz. 1977. Nadhariyyah al-‘Urf. Omman: Maktabah al-Aqsha.

Muslim. Tanpa Tahun. al-Jami’ al-Shahih. Jilid IV. Mesir: al-Babi al-Halabi.

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of and Intellectual Tradition. Chicago and London: The University of Chicago Press.

-----------. 1986. “Interpreting the Qur’an” dalam Inquiry. Mei 1986.

Ridla, Muhammad Rasyid. 1935. al- Wahy al-Muhammadiy. Mesir: Mathba’ah al-Manar.

Suyuthi, Jalal al-Din al. Tanpa tahun. al-Asybah wa al-Nadha-ir. Mesir: al-Babi al-Halabi.

Voll, John Obert. 1982. Islam: Continuity and Change in the Modern World. Colorado: Westview Press.

Yamani, Ahmad Zaki. 1970. al-Syariah al-Khalidah wa Musykilah al-‘Ashr. Saudi: al-Dar al-Sa’udiyyah li al-Nasy wa al-Tauzi’.

Zahrah, Muhammad Abu. 1974. 1974. al-‘Uqubah. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.

-------------. Tanpa Tahun. Ushul al-Fiqh. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr.

Tidak ada komentar: