Senin, 01 Oktober 2007

MEMAHAMI PERINTAH DAKWAH

MEMAHAMI PERINTAH DAKWAH DALAM QS AN-NAHL, 16: 125: Menimbang Sabab al-Nuzûl

Perintah dakwah dari Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang pesan universalnya juga merupakan perintah bagi seluruh umat Islam, dengan pesan khusus untuk meneladani sikap dan perilaku Nabi Muhammad s.a.w., ternyata sedemikian menarik untuk dikaji hingga saat ini. Perintah itu antara lain terdapat dalam QS an-Nahl, 16: 125, yang oleh para mufasir dijelaskan dalam berbagai perspektif, sehingga melahirkan berbagai kesimpulan yang beragam.

Berkaitan dengan tafsir ayat al-Quran pada QS an-Nahl, 16: 125, para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzûl (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah saw. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah. Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah saw. untuk melakukan gencatan senjata (muhâdanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, as-Suyuthi tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sabab an-nuzûl ayat tersebut.

Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab an-nuzûl -nya (andaikata ada sabab an-nuzûl-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum -- setelah kata ud‘u (serulah) -- tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslûb (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm). Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah saw., perintah ini juga berlaku untuk umat Islam.

Makna Global Ayat

Ayat di atas menerangkan tiga metode (tharîqah) dakwah, yakni cara pengemban dakwah menyerukan Islam kepada manusia. Ada cara yang berbeda untuk sasaran dakwah yang berbeda. Pertama, dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhân) atau hujjah yang jelas (qath‘i ataupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran. Cara ini tertuju kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna; seperti para ulama, pemikir, dan cendekiawan.

Kedua, dengan mau’izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan). Misalnya, dengan menyampaikan aspek targhîb (memberi dorongan/pujianjani) dan tarhîb (memberi peringatan/celaan/ancaman) ketika menyampaikan hujjah. Cara ini tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus.

Ketiga, dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar. Dari segi topik, semata terfokus pada usaha mengungkap kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan debat semata atau menyerang pribadinya. Dari segi argumentasi, dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun kebenaran. Cara ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan mau‘izhah hasanah.

Bagian akhir ayat memberikan arti, bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan selanjutnya terserah Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Allah semata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan (balâgh); Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada yang mendapat hidayah maupun yang tersesat.

Sebagian ulama seperti al-Qurthubi dan al-Baghawi berpendapat, ayat ini telah di-nasakh (dihapus) oleh ayat perang, jika yang menjadi sasaran dakwah adalah orang kafir. Namun, yang lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama, yang mengatakan ayat ini muhkam (tidak di-nasakh), dan tetap dapat diberlakukan kepada sasaran dakwah yang muslim ataupun kafir. Jika sasaran dakwahnya kaum kafir, ayat ini dipahami sebagai langkah pertama untuk mereka, yakni mengajak mereka masuk Islam. Langkah itu wajib ditempuh sebelum langkah kedua, yakni ajakan membayar jizyah dan menjadi ahl adz-dzimmah, dan langkah ketiga, yakni perang (al-qitâl) di jalan Allah.

Pendapat Para Mufasir dan Analisisnya

a. Makna Hikmah.

Sebagian mufasir seperti as-Suyuthi, al-Fairuzzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai “al-Quran”. Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan oleh Allah, berupa al-Kitab dan as-Sunnah.

Penafsiran tersebut tampaknya masih bersifat global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan aqidah yang meyakinkan. An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa al muzîl li asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).

Kesimpulannya, jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna (al-khawwâs).

b. Makna mau‘izhah hasanah.

Sebagian mufasir menafsirkan mau’izhah hasanah (nasihat/ peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawâ‘izh al-Qur’ân). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga bermakna perkataan yang lembut (al-qaul ar-raqîq).

Merinci tafsir global tersebut, para mufasir menjelaskan sifat mau‘izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (al-qalb), yang lebih bernuansa spiritual, tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal (al-‘aql), yang bernuansa rasional. Sayyid Quthub menafsirkan mau‘izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu ilâ al-qulûb bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan mau‘izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima. Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâfi‘ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan mau’izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).

Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua:

Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (indikator-indikator), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.

Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan/keyakinan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin. Seruan dengan mau’izhah hasanah ini tertuju pada umumnya masyarakat, yakni yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.

c. Makna jidâl/mujâdalah billati hiya ahsan.

Sebagian mufasir memaknai jidâl billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Misalnya Al-Fairuzzabadi, beliau menafsirkan jidâl/mujâdalah billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat lâ ilâha illâllâh. Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya.

Pada penafsiran yang lebih terinci, akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufasir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek.
Pertama, dari segi cara (uslûb), sebagian mufasir menafsirkan jidâl/mujâdalah (pada perintah: wa jâdilhum) billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in Al-Jamal.

Kedua, dari segi topik (fokus) debat, sebagian mufasir menjelaskan bahwa jidâl/mujâdalah billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidâl/mujâdalah billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardzîl) atau mencela (taqbîh) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran (Fî Zhilâl al-Qur’ân, XIII/292).

Ketiga, dari segi argumentasi, sebagian mufasir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidâl billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi (Marah Labid, I/517) menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya).23 Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz (Rûh al-Ma‘âni, V/487).

Jika kita dalami, dalam debat itu ada dua hal sekaligus: menetapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan (Lihat: QS al-Baqarah [2] : 258). Seruan dengan jidâl/mujâdalah billati hiya ahsan tertuju kepada orang yang menentang kebenaran dan cenderung untuk membantah dan mendebat.

Tidak ada komentar: