Senin, 01 Oktober 2007

MENCERMATI FENOMENA AYAM KAMPUS

MENCERMATI FENOMENA AYAM KAMPUS

MASALAH pendidikan, tidak henti-hentinya menjadi wacana publik. Belum lagi masalah tuntutan perbaikan nasib guru dan dosen yang diusung oleh PGRI rampung, kualitas pendidikan kembali dipertanyakan. Pendidikan ternyata belum menghasilkan output yang bermoral. Hal ini dapat dibuktikan dengan sering terjadinya penyimpangan sosial yang dilakukan oleh remaja. Salah satu contoh, kasus dari masalah ini adalah fenomena komersialisasi seks pada kalangan mahasiswa yang lebih dikenal dengan istilah "ayam kampus".
Lebih parah lagi, ketika pelakunya berusia lebih muda dari mereka, seperti kasus "pesta seks" sejumlah siswi SMU di salah satu kota akhir-akhir ini. Fenomena adanya mahasiswa yang berprofesi ganda ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, meskipun dalam hal-hal tertentu masih bersifat terselubung. Namun, yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana fenomena tersebut ditinjau dari kacamata sosiologi?
Sebenarnya fenomena komersialisasi seks di kalangan remaja, khususnya mahasiswa dapat dijelaskan oleh banyak teori yang terdapat dalam disiplin sosiologi, terutama yang berkaitan dengan penyimpangan sosial (deviant behavior), seperti teori anomi, teori sosialisasi, dan teori pengendalian. Karena fenomena ini merupakan salah satu bentuk dari perilaku penyimpangan sosial. Menurut Horton dan Hunt, penyimpangan bukanlah kualitas dari suatu tindakan yang dilakukan orang. Akan tetapi, merupakan konsekuensi logis dari berlakunya peraturan dan penerapan sanksi dalam masyarakat. Oleh karena itu, perilaku menyimpang dapat didefinisikan sebagai setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat (Horton dan Hunt, 1987:191).
Konsep anomi dikembangkan oleh seorang sosiolog dari Prancis Emile Durkheim. Konsep tersebut dipakai untuk menggambarkan suatu masyarakat yang memiliki banyak norma dan nilai yang satu sama lainnya kontradiktif. Tidak terdapat seperangkat norma yang dipatuhi secara teguh dan diterima secara luas yang mampu mengikat masyarakat.
Pertentangan norma
Kecenderungan perilaku seks yang bebas, terutama komersialisasi seks di kalangan mahasiswa, merupakan akibat dari adanya pertentangan dan norma dalam hubungan lawan jenis. Di satu sisi, hubungan yang lebih longgar atau bebas yang sering dipertunjukkan oleh media massa kita, dianggap sebagai nilai yang up to date. Sementara di lain pihak hubungan yang lebih kaku melalui pembatasan-pembatasan moral atau agama, masih diakui secara luas sebagai nilai yang paling baik. Situasi sosial semacam ini akhirnya membuat para remaja, khususnya mahasiswa terombang-ambing dalam mencari pegangan nilai yang benar, sehingga dapat menimbulkan perilaku seksual yang menyimpang.
Sementara itu, motif yang mendorong mereka terjun ke dunia komersialisasi seks, tampaknya sangat bervariasi. Sebagian ada yang berlatar belakang ekonomi, di mana mereka melakukan hal tersebut karena kekurangan biaya untuk menutupi keperluan kuliah. Sebagian yang lain ada yang bermotif just having fun(hanya mencari kesenangan belaka) dan sebagian lagi dilatarbelakangi oleh bentuk pelarian, karena dikecewakan oleh pacarnya, padahal ia sudah memberikan sesuatu yang paling berharga kepadanya.
Sementara itu, teori sosialisasi mendasarkan pandangan bahwa ada norma-norma inti dan nilai-nilai tertentu yang disepakati oleh segenap anggota masyarakat. Perilaku sosial baik yang patuh maupun yang menyimpang dikendalikan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang dihayati. Penyimpangan norma-norma dan nilai-nilai dalam perilaku seseorang. Teori sosialisasi menyatakan bahwa seseorang biasanya menghayati nilai-nilai dan norma-norma dari beberapa orang yang dekat dan cocok dengan dirinya. Dalam kasus "ayam kampus", mahasiswa yang terjerumus ke dalam dunia prostitusi ini bisa dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, di mana tempat ia bergaul atau bersosialisasi, oleh teman misalnya.
Lebih lanjut, fenomena komersialisasi seks di kalangan remaja dapat dijelaskan juga dengan teori pengendalian. Menurut teori itu, masyarakat memiliki kesepakatan mengenai nilai-nilai tertentu yang menjadi dasar suatu perilaku dapat dikatakan menyimpang atau tidak. Orang pada dasarnya akan selalu menyesuaikan perilakunya dengan nilai-nilai yang telah disepakati atau dapat disebut nilai dominan. Dengan kata lain, perilaku seseorang sebenarnya selalu dikendalikan oleh nilai-nilai dominan tersebut.
Teori tersebut menekankan bahwa sebenarnya ada ikatan antara individu dengan masyarakat luas. Paling tidak, terdapat empat unsur dalam ikatan tersebut yakni kepercayaan, keterkaitan, ketanggapan dan keterlibatan. Semakin tinggi tingkat kesadaran orang akan salah satu unsur ikatan tersebut, semakin kecil pula kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan penyimpangan. Sebagai contoh, jika para remaja memiliki hubungan kekerabatan, lingkungan sosial, pendidikan di keluarga dan sekolah yang baik, mereka akan terbina untuk mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakatnya. Sebaliknya, jika ia mempunyai hubungan kekerabatan yang tidak harmonis, lingkungan sosial yang kacau, lembaga pendidikan yang idak terorganisasi secara baik, besar kemungkinan mereka akan melakukan tindakan yang menyimpang.
Dengan demikian, kampus sebagai sebuah lembaga pendidikan akan memiliki peranan yang signifikan dalam menumbuhkan kesadaran dan moralitas mahasiswanya, di samping keluarga dan lingkungan masyarakat. Sudah saatnya pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk menumbuhkan moralitas bangsa, bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan belaka, sebagaimana yang terjadi selama ini.
Dari femonena sosial seperti ini, bisa dipahami bahwa pendidikan agama kita “kurang berhasil”, untuk tidak dikatakan “tidak”. Di mana letak kesalahannya, dan apa solusi terbaiknya menurut saudara?

Tidak ada komentar: